VIRUSNYA
SANG PENGUASA
Suatu sore di pinggir pantai, sambil menikmati segarnya air kelapa
muda. Saya dan suami bertemu seorang rekan yang bertahun-tahun hidupnya
dihabiskan di negri orang. Banyak cerita mengalir tentang pengalaman
hidupnya, namun dari segudang cerita tersebut saya tertarik dengan sebuah
kalimatnya yang cukup menyentak. “ Orang baik dan kebaikan yang makin langka di
negri kita ini”. Kalimat ini tak hanya benar dalam pikiran, jika kita gunakan
perasaan kita yang paling halus kata-kata rekan ini memang sulit untuk
dipungkiri betapa langka dan makin mahalnya sebuah kebaikan di negri ini.
Terlalu banyak panggung sandiwara dipentaskan di dunia nyata, sehingga para
seniman yang semestinya mementaskan di panggung
makin tipis saja lahannya.
Berbagai sendi negara baik itu eksekutif, legislatif
maupun yudikatif makin atraktif dalam fragmen sandiwaranya. Sehingga rakyat tak
ubahnya seperti penonton yang bergegas menunggu serial lakon-lakon berikutnya.
Namun ada juga sebagian rakyat yang menjadi penonton apatis sehingga membiarkan
pelakon-pelakon “ eleyu” (eksekutif, legislative dan yudikatif) jungkir balik
diatas panggung. Ini memang sebuah ironi, namun ini tetap harus dilakoni. Kekuasaan itu seperti candu dan memabukkan
(Mahfud MD), kalimat ini sulit dipungkiri jika kita telaah dengan realita negri
ini. Kekuasaan mayoritas diposisikan sebagai
entitas yang memiliki efek addiksi, seolah siapapun yang mereguknya akan
ketagihan serta cenderung meminta dosis yang lebih tinggi. Kekuasaan juga
tampil seperti virus yang kadang menggerogoti karakter positif yang
menyandangnya hingga kronis. Kog bisa begitu ya ? pertanyaan yang sering
mengusik hati tentang mengapa terjadi pembonsaian karakter sosok yang sedang
berkuasa. Mengapa penguasa yang arif dan bijaksana dan penuh dengn kebaikan
makin langka ? (Masih berbangga dengan sosok pemimpin atau pimpinan yang
berjiwa pemimpin, sebut saja urut abjad :
Anis baswedan, Jokowi, Mahfud MD, Risma walkot Surabaya …………….. silakan
lanjutkan daftarnya dan semoga semakin banyak).
Apakah para “eleyu” yang terkena virus karakter negatif
itu juga dilahirkan dalam keadaan suci ? Ya jelas iya bahkan “2000” persen iya. Mereka adalah bayi yang suci
bersih tak bernoda. Semoga para orang tuanya juga menunggu kehadiran mereka ke
dunia dengan penuh cinta. Dimana konsletnya ya ? Barbara Fredrickson (1998)
mengemukakan pentingnya emosi positif dan memiliki dampak yang luas dan
mendalam, tak hanya sekedar perasaan kita menjadi senang. Secara rinci dinyatakan sebagai berikut
: 1. Emosi positif ternyata
memiliki tujuan yang mulia dalam evolusi . Potensi manusia terasah lebih luas
dn tajam melalui emosi positif, sebut saja aspek intelektual seperti inteligensi dan kreatif , aspek fisik bahkan aspek sosial
–kepribadian.
2. Salah satu studi
eksperimen yang dilakukan oleh Fredrickson terhadap anak-anak maupun orang
dewasa adalah tentang proses melejit dan meluasnya kapasitas intelektual
responden dalam suasana emosi positif.
3. Emosi positif ternyata
berenergi tinggi sehingga berdampak pada keceriaan, kesehatan, daya tahan tubuh
dan melindungi diri dari kondisi buruk proses penuaan
4. Emosi positif juga
meningkatkan produktivitas kerja
seseorang
Emosi positif pada diri
seorang anak akan menghadirkan efek spiral yang antara lain terbentuknya sifat
dan karakter yang positif. Bagaimana mungkin membangun karakter positif dalam
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, tayangan televise, siaran radio,
internet , berita di media cetak yang sarat dengan peragaan dan kemasan negatif
?
Si “Berat” yang kini di hukum berat karena tindak pidana
korupsi, tentunya dulu adalah si “Berat” yang putih bersih, lahir dengan berat
badan sekian kg dan panjang badan sekian cm . Dalam riwayatnya si “ Berat”
mengalami hal sebagai berikut :
1. Ia lucu, tampan dan ceria
2. Sejak kecil sering
menyaksikan bapak dan ibunya bertengkar
3. Sejak kecil ia sering
menyaksikan tayangan sinetron yang isinya agresivitas verbal maupun perilaku
4. Ia belajar agama , dan
diminta oleh orang tuanya agar menjalankan perintah gama. Namun ia sering menyaksikan orang-orang dewasa di
sekitarnya hanya pandai mengatakan namun tidak melakukan
5. Ia sering membaca tokoh
penting yang ternyata perilakunya negatif, serta ditulis sangat besar, atraktif
dan mencolok di media cetak
6. Di sekolah, di tempat kerja ,
di lingkungan sekitarnya ternyata ia juga sering menyaksikan orang-orang yang tidak
satu kata dengan perbuatan.
7. Si “berat” tumbuh menjadi
sosok yang arogan, Machiavellian (halalkan segala cara untuk mendapat hasil),
tamak dan segudang karakter negatif lainnya.
Virus-virus negatif secara
bertahap namun pasti masuk ke dalam dirinya, akhirnya si “berat” nekad menjadi
sosok yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Jadilah ia koruptor
dan kini meringkuk di balik jeruji besi. Si “berat” lupa bahwa setiap titik perilakunya akan dimintai
pertanggungjawaban tak hanya oleh rakyat yang mestinya ia layani namun juga memiliki dimensi spiritual
pertanggung jawaban kepada sang Khaliq. Si “berat” lupa dengan firman Allah swt : “Dan
tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka, dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kalian memahaminya (QS :Al An'am 32)
(Batoh, 01012014)