Tetap
bersyukur dengan setiap noktah langkah
hidup kita , membuat jiwa kita indah menari
menyambut hari-hari yang kita lalui (Nur Janah Al-Sharafi)
Sore itu jalan Sabang terasa lengang, entah karena bukan akhir pekan
atau karena terbawa perasaanku yang lengang. Kuparkir mobil pas di depan salah
satu kedai kopi favoritku ‘Kopi Oey’ dengan langkah santai aku masuk kedai kopi
tersebut dan sengaja memilih duduk di kursi pojok bagian depan. Pilihan tempat
duduk tersebut kulakukan dengan tujuan agar aku bisa cepat melihat kedatangan
Witna sobatku. 32 Tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah perpisahan 2
orang sahabat yang pernah bersama selama 3 tahun dalam suka dan duka di SMA.
Witna dibesarkan oleh kedua orang tua yang
sama-sama berpendidikan tinggi, sementara aku adalah anak bakul atau pedagang
atau dengan bahasa kekiniannya anak seorang pengusaha atau enterpreneur. Witna
yang sejak kecil sangat teratur hidupnya selepas SMA pun memilih melanjutkan
pendidikan tinggi yang telah pasti. Pendidikan yang seolah sudah dirancang
sebagai jembatan untuk mencapai masa depannya. Hal ini beda sekali denganku,
yang masih meraba mau kemana dan hendak kemana selepas SMA. Namun itu semua
bagi Witna benar-benar bagaikan sebuah kamus besar yang bertengger di lemari.
Witna dengan segenap cerita manis kehidupan masa lalunya seolah memang hanya
indah dipajang di lemari. Dan lemari kehidupan indahnya tertutup rapat
sementara kuncinya entah hilang kemana. Dan aku merasa terpukul mendengar hal
itu . Aku yang konon adalah salah satu sahabatnya tak bisa menolong
apa-apa karena benar-benar telah kehilangan jejak Witna . Baru 5 bulan
yang lalu aku ketemu dengan Sri yang menceritakan tragedi yang dialami Witna.
Aku
masih ingat betapa Sri terbata-bata menceritakan tragedi kehidupan Witna. Kata
demi kata yang meluncur dari mulutnya benar-benar seperti kertas fotocopy yang
nyangkut. Sri sepertinya ingin menguras kisah itu namun disisi lain seolah ada
rem yang menahannya. Hal ini membuatku hanya memahami kisah Witna dari satu
sisi. Dan sisi tersebut adalah sisi
hancur, sisi lebur, sisi nasi yang terpaksa jadi bubur. “Boleh aku minta nomor
hp Witna, aku kangen Sri sama Witna sudah lama banget aku kehilangan jejaknya”
pintaku pada Sri. Sri berbaik hati memberikan nomor hp Witna dengan pesan bahwa Witna sering ganti nomor
hp untuk alasan kenyamanan dirinya.
Aku Cuma
diam, pasrah dan hanya berharap semoga pesan yang kukirim ke nomor tersebut
sampai dan dibaca oleh Witna. Dan benar Witna akhirnya membalas hingga kemudian
akupun menelponnya. “Aku sebenarnya mencarimu Nung, tapi aku kehilangan nomor
kontakmu dan aku tahu kamu tinggal di Aceh sehingga bagiku sangat jauh dan
tak mungkin aku lari kesana ketika
cobaan itu datang” jelas Witna. Witna yang sukses di karir, mendapat cobaan,
kemudian jatuh terpuruk bahkan terusir dari rumahnya sendiri. “Witna, boleh aku
tulis cerpen tentang dirimu? Tentu nama dan beberapa setting tempat akan aku
samarkan” tanya dan pintaku pada Witna.
Witna bahkan merasa senang jika aku mau menulis cerpen tentangnya dengan
pesan “ Kirim aku ya nung link-nya, aku ingin membaca dan aku berharap lebih lega setelah curhat
denganmu dan membaca kisahku sendiri di cerpen itu” sahut Witna. Aku jadi
teringat hasil riset James W. Pennebaker,
guru besar psikologi University of Texas. Selama 15 tahun ia meneliti dan menuangkannya dalam buku “Opening Up :
The Healing Power of Expressing Emotions” . Di buku tersebut disebutkan setidaknya ada tiga manfaat penting menulis,
yakni :
1. Menulis dapat meningkatkan
kekebalan tubuh,
2. Bercerita, juga lewat tulisan, dapat menyelesaikan separuh masalah
psikis,
3. Menulis sebagai katarsis (pelepasan emosi/ketegangan).
Witna akhirnya membaca cerpenku ‘ Mawar
Kuning buat Dika’. Witna akhirnya tak tahan menelponku dan mengungkapkan : “ aku
nangis nung tapi aku lega. Akhirnya aku jumpa dengan putriku Dika, meski ia
diam, meski ia tak paham benar tentang taqdir ibunya namun aku bahagia banget
telah melihat Dika, mencium wangi parfumnya dan memegang jari lembutnya “. Telpon itu juga yang akhirnya membuat kami
janjian untuk ketemu, 2 sahabat lama yang selama lebih 30 tahun memoles kanvas
kehidupan dengan kuas dan warna cat pilihan masing-masing.
Masih
duduk di kursi sudut bagian depan kedai Kopi Oey jalan Sabang sambil sesekali melirik
layar WA : “ aku otw ke Kopi Oey ya nung” tulisnya. Akhirnya Witna datang, perempuan ayu sebayaku
dengan jilbab Syar’i hijau muda dan gaun panjang berbunga-bunga. Aku kehabisan
kata, Witna kehabisan kata. Kami berdua berpelukan selayaknya saudara kandung
yang lama tak bersua. “Jangan menangis nung, kita harus senyum bahagia dengan
taqdir Allah swt yang mempertemukan kita kembali” tegas Witna.
Aku memang menangis, lha aku ini dari dulu memang cengeng gambang banjir
air mata. “Maaf ya Witna jika cerpen itu kurang berkenan buatmu” kataku. Witna
sekali lagi mempertegas bahwa ia justru berterima kasih dengan cerpen itu,
menurutnya cerpen itu menjadi salah satu semangat yang membuatnya kuat untuk
benar-benar ketemu Dika putrinya. “Biarpun Dika hanya diam dan senyum, bagiku diamnya putriku dan
senyumnya putriku seperti selimut hangat yang menutup jiwaku yang menggigil”
ujar Witna. Aku pun tersenyum ikut
merasakan aliran bahagianya Witna di hatiku. Kami berdua akhirnya sepakat untuk
tidak ngopi, kami pesan Coklat Panas . Witna pesan Lumpia dan aku pesan ubi rebus. Azan maghrib bergema dari Asus-ku, kami
berdua menyeberang dan bejalan menyusuri gang kecil untuk mencapai Masjid guna
menunaikan sholat Maghrib. Berwudhu bersama, shalat maghrib bersama dan melanjutkan sepenggal cerita tawa atau lara. Aku dan Witna bertukar cindera mata kecil
sambil menikmati tarian ondel-ondel yang mulai beraksi di jalan Sabang ini. Aku dan Witna akhirnya berpisah dengan saling doa semoga Allah swt melindungi
kami. Aku pulang bertemu suami dan anak-anakku, Witna pulang di rumah
kontrakannya sendiri. Aku sedih melihat langkah kakinya, namun aku bangga
karena Witna perempuan yang tangguh dan tetap tegar dengan apapun suratan
taqdir untuknya. Tetap bersyukur dengan setiap noktah langkah hidup kita
membuat jiwa kita indah menari menyambut
hari-hari yang kita lalui. Witna, kamu
masih punya sahabat-sahabat yang sayang padamu. Senyumlah sobatku, dendangkan
doa dan tadarusmu, smoga Allah swt makin sayang padamu.
Jl. Sabang - Jakarta, 03082016
(Nama
asli sahabatku ini telah kusamarkan demi kenyamanannya)