I
Raja lalim di negri seribu derita
sangatlah apik dan elok akting dan panggungnya. Bak aktor kawakan lulusan
akademi seni nomer wahid , sang raja senantiasa mematut senyum dan polah
tingkahnya agar elok dan adem dipandang mata. Memimpin kerajaan Merdeka dengan
penduduk beribu laksa, bukanlah sesuatu yang mudah. Ini disadari oleh sang
raja, oleh karena itu Raja Lalim mencari dukungan ke berbagai kerajaan di
antero bumi agar kekuasaannya sukses dan langgeng.
Raja lupa jika bukan hanya dirinya
yang memakai topeng[1],
raja raja kerajaan lainnya juga bertopeng bahkan ada yang topengnya lebih
lentur dan cantik dibandingkan topeng sang raja Lalim. Bicara soal topeng bagi sang raja cukuplah mudah. Wajah raja
yang naif, ‘tulus’, sederhana, jelata amatlah pas dengan wajah yang ingin
dijual dan ditampilkan tentang sosok raja baru. Rakyat negri Merdeka terbuai
dengan pariwara ini, beberapa kandidat raja baru tersungkur. Beberapa kandidat
raja baru terlalu lugas dan terus terang, sehingga terkesan kurang cantik
tampilannya. Raja lalim beda, ia tampil cantik, apa adanya, ‘tulus’ dan
mewakili potret para jelata kerajaan. ‘Suara jelata adalah suara Tuhan’ yang
dalam bahasa aslinya adalah ‘Vox Populi Vox Dei’ menjadi nyata....Raja Lalim
menang telak, negri Merdeka bahagia....jelata mengukir asanya di pundak raja.
II
Gegap gempita seantero kerajaan
Merdeka, puja puji dan sanjungan hampir bergema di seluruh sudut negri. Doa-doa
menggema dari mulut mulut suci bahwa kerajaan telah terberkahi dengan hadirnya
raja baru . Sang raja pun dengan wajah lugunya memulai peran baru, peran yang
sama sekali tak pernah terpikir olehnya.
“Bagaimana
sang raja dengan modal yang telah kami kucurkan untuk mendukung paduka hingga
duduk di singgasana ini ?” ungkap perwakilan negri Bakmoy
“Bagaimana
sang raja dengan modal yang telah kami gelontorkan untuk mempublikasikan paduka
lewat layar cetak dan layar kaca?” celetuk perwakilan negri Siomay
“
Bagaimana paduka dengan modal yang telah kami keluarkan untuk menyewa para
pakar propaganda ?” timpa perwakilan negri Fuyunghay
Raja
Lalim tercekat, raja Lalim terperangah, raja Lalim shock ketika didera beribu
kalimat di kuping kiri dan kanannya.
“Itulah
kanda, tak ada yang gratis di dunia ini “ tegas sang permaisuri
“Itulah
ananda, tak ada’“makan siang’ cuma-cuma”
timpa ibu suri
“
Lalu bagaimana kakanda wahai adinda”
“Lalu
bagaimana ananda wahai ibunda”
Dalam
kondisi seperti itu, seisi negri akan malu melihat junjungannya yang wauw dan flamboyan
itu tiba-tiba terpuruk seperti anak
kecil kehilangan botol susunya. Ekspresi wajah lugu tanpa dosa itu tiba-tiba
meringkuk memelas memohon belas kasih orang-orang terdekatnya.
III
Raja
Lalim duduk di singgasananya. Sebuah kursi yang ditempah khusus dari kayu
ebony, diberi sentuhan permata mutiara yang dihasilkan di senatero negri. Alas
singgasana berupa kasur empuk yang
khusus dirancang dari kapas terbaik yang pernah ada. Jelata di luar sana mulai kasak-kusuk oleh kinerja
sang Raja. Rasa kecewa mulai menghampiri hati sanubari jelata. Ketika ekonomi
jelata makin tak tertata, ketika pendidikan jelata mahal membumbung luar biasa,
ketika utang negri berlaksa-laksa, ketika kejahatan merebak dimana-mana, ketika
moral dan etika makin jarang dan langka, ketika topeng-topeng cantik laris dimana-mana,
ketika itulah prestasi jeblok sang raja makin terbuka.
Raja
makin sibuk berkaca, memeriksa kembali apakah topengnya masih cukup indah
dipandang mata.
“Dinda,
kau pakai saja baju dari kain belacu
supaya sama dengan jelata”
“Dinda,
kau pakai saja tas dari kulit kayu supaya tampil bersahaja”
“Dinda,
singkirkan lispstick dan bedak importmu, ganti saja dengan gincu dan bedak
bengkoang ala jelata”
Sang
permaisuri bersungut-sungut ngambek
dengan tuntutan suami tercinta. Permaisuri perlu belajar lagi cara berperan
dan berakting seperti sang raja, agar selamat di mata jelata meskipun prestasi
jeblok namun tak boleh kentara.
“Baginda
raja, kita harus mengedit ulang strategi perjuangan kita. Kerajaan Bakmoy,
Siomay dan Fuyunghay sudah siap menggelontorkan sejumlah dana untuk mendukung
megaproyek paduka raja” ungkap sang patih istana
“Sumprit,
aku masih bisa nangis lho pak Patih. Melihat jelata sudah makin susah beli
beras, melihat jelata makin susah beli garam, melihat jelata makin sudah masuk
sekolah, belum lagi sinetron kejahatan buatan atau kejahatan beneran marak
dimana-mana” ungkap paduka raja
“Ah
...baginda jangan lebay lah, jangan sentimentil. Ini proyek jangka panjang lho.
Menyangkut ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Kesuksesan proyek ini sangat tergantung dari topeng baginda, jadi mohon lah
baginda kesampingkan dulu emosi itu. Realistis saja lah baginda , sukses nya
kan anda juga salah satu penikmatnya” tegas sang patih istana.
Cepat-cepat
baginda membasuh muka dan setel kembali topengnya, dengan topeng wibawa tanpa
rasa.
IV
Jelata
makin berjatuhan korban, kelaparan dan bunuh diri menjadi menu berita koran
negri. Kelaparan karena tak bisa beli makanan, bunuh diri bukan karena putus
cinta tapi bunuh diri karena putus harapan. Ulama berdakwah agar jelata sadar
dan insaf bahwa dunia hanya singgahan sesaat semata. Sebagian jelata sadar
dapat taufiq dan hidayah Allah azzawajalla, sebagian lagi tak sempat tersentuh
dakwah lembut menyejuk jiwa.
Baginda
raja makin nanar dan curiga, siapapun dia yang menentang akan disikat dan
disikutnya. Penjara penuh sesak oleh tahanan yang tak jelas pasalnya, sementara
orang yang sudah jelas dan berdosa makin bebas berpesta pora.
“Akan
datang jaman dimana raja Cuma jadi boneka, jelata tak jelas lagi teladan
cerminnya” begitu ceramah para ulama
“Akan
datang jaman kejahatan, kebejatan moral dipuji puja. Sementara kebaikan dan
ketulusan dicerca dan dihina “ sambungnya
“Akan
datang jaman, bahwa jelata jadi tersangka. Sehingga negri yang gagal adalah
karena jelata bukan karena raja” sambungnya
“
Akan datang jaman jelata harus berpuasa sepanjang masa, karena harga barang
makin tinggi membumbung di angkasa” tegasnya
Tiba-tiba
jelata kerajaan makin mual dengan kondisi ini. Perut jelata melilit menatap gambar-gambar
raja Lalim di koran-koran negri. Seramnya senyum dan seringai raja
..................racun yang dikemas dalam botol madu ternyata lebih pahit dan
menyeramkan. Sssssttttt..................mana topeng, mana topeng, awas
ketahuan aslinya. Topeng kewarasan sang
raja telah menutup keasliannya, sebuah topeng tanpa jiwa, topeng tanpa rasa . Nauzubillah
min zalik
Batoh,
26072017
[1] Topeng
kewarasan atau The Mask of Sanity, dari buku karya Harvey Cleckley yang ditulis
di tahun 1941, tentang kecenderungan
sosok manusia psikopat yang bertopeng cantik
dan indah meskipun perilaku sebenarnya berkebalikan dengan itu