salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Sabtu, 04 November 2017

DOA (A Psycho-Story by Nur Janah Al-Sharafi) - CERPEN

            Doa , biasanya didendangkan dengan penuh harapan yang indah. Positif, optimis, mengharap hasil yang baik dan sederet hal hal baik lainnya terangkai dalam sebuah doa. Namun ketika doa dibungkus dengan amarah, kebencian dan  dendam,  maka doa tersebut jadi luntur. Seperti kain tenun yang dicelup pewarna murahan, sehingga sang warna pun lenyap ketika tenun dicuci dengan sabun deterjen, meski deterjen mahal sekalipun. Sayangnya doa itulah yang masuk ke telinga Suci, doa yang justru keluar dari mulut suaminya. Laki-laki yang menikahinya selama 10  tahun.
“ Sembuhkanlah kakinya, jika ia berjalan di jalanMu ya Allah”
“Tegakkanlah langkahnya, jika ia menegakkan agamamu”
“Lumpuhkanlah kakinya, jika ia melangkah ke tempat maksiat”
“Lemahkanlah langkahnya, jika ia melangkah di jalan selain urusanMu dan urusan keluarga”
Air mata Suci mengalir deras, sesenggukan ia mendengar kalimat doa yang keluar dari mulut sang suami, ia tak percaya namun berkali-kali ia buka telinga dengan penuh konsentrasi tetap saja kalimat itu yang ia dengar berulang-ulang. Suci beranikan dirinya bertanya pada sang suami.
“Mas, doanya kog aneh. Apa maksud mas dengan maksiat tadi? Apakah aku istrimu ini sudah kau curigai mas? Apakah mas pikir aku melakukan maksiat”  , pertanyaan Suci untuk Ardi suaminya terkesan bertubi-tubi.
“Aku tak mau istriku mengurus orang lain, bagiku mengurus selain keluarga itu maksiat”
“Aku mau istriku hanya beribadah dan melayani suami serta anak-anak. Itu saja mauku”
Istighfar Suci, Istighfar seluruh dinding rumah, Istighfar bunga-bunga kecil di polibag, Istighfar kelinci dan kucing di rumah itu. Bahkan jikapun putra-putrinya mendengar dan semua seisi jagad raya mendengar akan mendendangkan istighfar berulang kali.
            Suci, seperti namanya. Ia perempuan suci. Tak sekecil benihpun ia simpan untuk melangkah kaki ke kiri, jika nawaitu dari rumah ia ijin melangkahkan kakinya ke kanan. Suci yang cerdas dan anggun sudah teramat sangat mengalah. Ia yang selagi muda penuh cita menyala-nyala merelakan menggandaikan cita-citanya demi menyelamatkan keutuhan berkeluarga. Pilihannya untuk menikahi Ardi memang sudah suratan taqdir. Suci dan Ardi jatuh cinta dan mereka menikah .
            Suci bukan perempuan biasa, ia perempuan yang penuh  talenta. Sehingga seribu kurungan yang diciptakan Ardi untuknya tetap saja tak mampu membelenggu seluruh talentanya. Pikiran-pikiran Suci sering ia torehkan diam-diam melalui sajak-sajaknya. Diam-diam ia menulis puisi dan mengirimkannya ke media. Pernah ia mengirim puisinya ke radio, pernah pula ia mengirim puisinya ke Koran atau majalah. Dengan nama pena  “ Sang Biru ” . Jika itu dikatakan pengkhianatan, maka itulah pengkhianatan Suci, diam diam roh nya melayang lepas dari dinding kamar dan rumahnya mengunjungi para pembaca.
            Gemetar tangan Suci ketika ia menerima undangan dari sebuah lembaga Sastra ternama di luar negri untuk diberikan penghargaan. Ia tak menyangka pergolakan batinnya sebagai seorang perempuan melalui kata mampu menembus cakrawala dunia.  Surat asli ia simpan rapi  dan ia hanya menunjukkan fotocopy surat tersebut pada Ardi . Namun Ardi meresponnya berbeda, respon tersakitnya ia ungkapkan dalam sebuah “Doa yang amat menyakitkan”.
            Suci dingin dalam kesendiriannya yang kelam, ia menggigil  dalam tahajudnya yang panjang. Ia malu kepada Allah swt, mengapa puisi-puisi yang ia tulis dengan cinta , mengapa puisi puisi yang ia tulis dengan ikhlas ternyata diterjemahkan menjadi sebuah maksiat oleh seorang hamba-Nya yaitu sang suaminya sendiri “Ardi”.  Masih menggigil dalam doanya, ia lanjutkan dengan membaca salah satu puisinya yang berjudul  “Belah”
BELAH
Belahlah jantungku
Disana hanya kusimpan nama-Mu
Kuukir dengan emas tinta cinta
Kugosok dengan permata tawaqal
Allahu  Allahu  Allahu  Akbar
Besar nama-Mu
Kerdilnya aku
Sang maha penuh cinta
Tetap Kau guyur aku dengan embun cinta
Hingga si kerdil berdaya
                  (Sang Biru,  01102017)
            Matanya menerawang menyusuri detik demi detik kebersamaannya bersama Ardi. Benang waktu berjalan ia untai dengan cinta. Cinta dalam mata, cinta dalam belaian, cinta dalam gelas, cinta dalam piring, cinta dalam sapu bahkan cinta dalam minyak angin. Bagi Suci, cinta tak mengenal arti takaran matematika. Kerna cinta itu tulus, sebagaimana ia menanamkan rasa cinta dan tulus pada putra-putrinya.
“Anakku, berikan apa yang kau miliki. Kerna sesungguhnya itu semua hanya titipan Illahi. Tebarkan cinta pada sesama lewat senyum, lewat karya, lewat keringat bahkan lewat setiap hela nafas kalian. Jiwa kalian akan tulus, bening dan insyaAllah lapang dada terhadap setiap guratan taqdir-Nya” , itu salah satu kalimat yang di ucapkan di depan putra –putrinya”.
Suci makin tak paham jenis cinta[1] yang mana yang Ardi berikan untuknya.  Benarkah cinta sejati yang didapat ? Apakah  komponen cinta sejati  itu ada ?  Ia sendiri tak paham meskipun tetap penuh harap. Ketika cinta dibungkus dengan topeng, segalanya bisa berubah. Cinta yang awalnya bening bisa saja kemudian tersangkut debu dan kotoran dalam perjalanannya . Hal itu membuat beningnya cinta menjadi keruh dan berwarna. Tak mudah menetralkan kembali warna kusam maupun keruh di mata air cinta. Ia akan menjadi mata air kehidupan yang senantiasa  mengalir pilu bercampur bulir air mata. Mata air dan Air mata bagi sebuah cinta terasa seperti dua sisi mata uang, ia terpisah namun tak mungkin dipisahkan. Suci tak mau kehilangan kesucian cintanya, ia masih saja menyimpan sebongkah optimisme di hati. Optimisme itu adalah doa dan harapan. Ia yakin selalu saja ada esok yang cerah maupun mendung.  Baginya cerah-mendung, bening-keruh, putih-hitam, halus-berduri atau apapun sisi cinta dan kehidupannya tetap saja membawa makna bagi kehidupannya.
 Bagi Suci , derita dan bahagia sama indahnya tergantung bagaimana cara kita memaknainya. Bahagia acapkali hadirkan tawa, yang sering dianggap orang sebagai sejatinya senang yang hakiki. Bahagia sering dianggap hadirkan energi positif jiwa maupun raga. Lain halnya dengan derita, derita sering dihakimi sebagai terdakwa penyebab gagalnya kehidupan. Derita  yang hadir satu paket dengan air mata dianggap lahirkan energi negatif jiwa maupun raga. Padahal bukan itu, bahagia dan derita sama sama punya makna membangun hakekat diri yang sebenarnya.  Lalu mengapa jalan ini yang harus kutempuh ? begitu pertanyaan yang acapkali hadir di benak Suci. Taqdirkah ini ? itu yang kadang memenuhi benaknya.  Suci tetap senyum, bahkan senyum yang sama tetap ia tebarkan ketika bertemu sobatnya yang bertanya “ Suci,  mengapa kau tak mengejar karir?”  . Seperti biasanya, ia  hanya menjawab dengan senyum sambil bergumam “ inilah karirku”.  Suci tersenyum ranum, deru ombak dan suara burung gagak ikut tersenyum.           
 Pantai Iboih, 01112017







[1] Psikolog Robert Sternberg mengemukakan bahwa cinta sejati hendaknya dibangun dari 3 komponen yaitu keintiman, kegairahan dan komitmen.