Doa , biasanya didendangkan dengan
penuh harapan yang indah. Positif, optimis, mengharap hasil yang baik dan
sederet hal hal baik lainnya terangkai dalam sebuah doa. Namun ketika doa dibungkus
dengan amarah, kebencian dan dendam, maka doa tersebut jadi luntur. Seperti kain
tenun yang dicelup pewarna murahan, sehingga sang warna pun lenyap ketika tenun
dicuci dengan sabun deterjen, meski deterjen mahal sekalipun. Sayangnya doa
itulah yang masuk ke telinga Suci, doa yang justru keluar dari mulut suaminya.
Laki-laki yang menikahinya selama 10 tahun.
“
Sembuhkanlah kakinya, jika ia berjalan di jalanMu ya Allah”
“Tegakkanlah
langkahnya, jika ia menegakkan agamamu”
“Lumpuhkanlah
kakinya, jika ia melangkah ke tempat maksiat”
“Lemahkanlah
langkahnya, jika ia melangkah di jalan selain urusanMu dan urusan keluarga”
Air
mata Suci mengalir deras, sesenggukan ia mendengar kalimat doa yang keluar dari
mulut sang suami, ia tak percaya namun berkali-kali ia buka telinga dengan
penuh konsentrasi tetap saja kalimat itu yang ia dengar berulang-ulang. Suci
beranikan dirinya bertanya pada sang suami.
“Mas,
doanya kog aneh. Apa maksud mas dengan maksiat tadi? Apakah aku istrimu ini
sudah kau curigai mas? Apakah mas pikir aku melakukan maksiat” , pertanyaan Suci untuk Ardi suaminya
terkesan bertubi-tubi.
“Aku
tak mau istriku mengurus orang lain, bagiku mengurus selain keluarga itu
maksiat”
“Aku
mau istriku hanya beribadah dan melayani suami serta anak-anak. Itu saja mauku”
Istighfar
Suci, Istighfar seluruh dinding rumah, Istighfar bunga-bunga kecil di polibag,
Istighfar kelinci dan kucing di rumah itu. Bahkan jikapun putra-putrinya
mendengar dan semua seisi jagad raya mendengar akan mendendangkan istighfar
berulang kali.
Suci, seperti namanya. Ia perempuan
suci. Tak sekecil benihpun ia simpan untuk melangkah kaki ke kiri, jika nawaitu
dari rumah ia ijin melangkahkan kakinya ke kanan. Suci yang cerdas dan anggun
sudah teramat sangat mengalah. Ia yang selagi muda penuh cita menyala-nyala
merelakan menggandaikan cita-citanya
demi menyelamatkan keutuhan berkeluarga. Pilihannya untuk menikahi Ardi memang
sudah suratan taqdir. Suci dan Ardi jatuh cinta dan mereka menikah .
Suci bukan perempuan biasa, ia
perempuan yang penuh talenta. Sehingga
seribu kurungan yang diciptakan Ardi untuknya tetap saja tak mampu membelenggu
seluruh talentanya. Pikiran-pikiran Suci sering ia torehkan diam-diam melalui
sajak-sajaknya. Diam-diam ia menulis puisi dan mengirimkannya ke media. Pernah
ia mengirim puisinya ke radio, pernah pula ia mengirim puisinya ke Koran atau
majalah. Dengan nama pena “ Sang Biru ”
. Jika itu dikatakan pengkhianatan, maka itulah pengkhianatan Suci, diam diam
roh nya melayang lepas dari dinding kamar dan rumahnya mengunjungi para
pembaca.
Gemetar tangan Suci ketika ia menerima
undangan dari sebuah lembaga Sastra ternama di luar negri untuk diberikan
penghargaan. Ia tak menyangka pergolakan batinnya sebagai seorang perempuan
melalui kata mampu menembus cakrawala dunia.
Surat asli ia simpan rapi dan ia
hanya menunjukkan fotocopy surat tersebut pada Ardi . Namun Ardi meresponnya
berbeda, respon tersakitnya ia ungkapkan dalam sebuah “Doa yang amat
menyakitkan”.
Suci dingin dalam kesendiriannya
yang kelam, ia menggigil dalam
tahajudnya yang panjang. Ia malu kepada Allah swt, mengapa puisi-puisi yang ia
tulis dengan cinta , mengapa puisi puisi yang ia tulis dengan ikhlas ternyata
diterjemahkan menjadi sebuah maksiat oleh seorang hamba-Nya yaitu sang suaminya
sendiri “Ardi”. Masih menggigil dalam
doanya, ia lanjutkan dengan membaca salah satu puisinya yang berjudul “Belah”
BELAH
Belahlah
jantungku
Disana
hanya kusimpan nama-Mu
Kuukir
dengan emas tinta cinta
Kugosok
dengan permata tawaqal
Allahu Allahu
Allahu Akbar
Besar
nama-Mu
Kerdilnya
aku
Sang
maha penuh cinta
Tetap
Kau guyur aku dengan embun cinta
Hingga
si kerdil berdaya
(Sang Biru, 01102017)
Matanya menerawang menyusuri detik
demi detik kebersamaannya bersama Ardi. Benang waktu berjalan ia untai dengan
cinta. Cinta dalam mata, cinta dalam belaian, cinta dalam gelas, cinta dalam
piring, cinta dalam sapu bahkan cinta dalam minyak angin. Bagi Suci, cinta tak
mengenal arti takaran matematika. Kerna cinta itu tulus, sebagaimana ia
menanamkan rasa cinta dan tulus pada putra-putrinya.
“Anakku,
berikan apa yang kau miliki. Kerna sesungguhnya itu semua hanya titipan Illahi.
Tebarkan cinta pada sesama lewat senyum, lewat karya, lewat keringat bahkan
lewat setiap hela nafas kalian. Jiwa kalian akan tulus, bening dan insyaAllah
lapang dada terhadap setiap guratan taqdir-Nya” , itu salah satu kalimat yang
di ucapkan di depan putra –putrinya”.
Suci makin tak paham jenis cinta[1] yang mana yang Ardi
berikan untuknya. Benarkah cinta sejati
yang didapat ? Apakah komponen cinta
sejati itu ada ? Ia sendiri tak paham meskipun tetap penuh
harap. Ketika cinta dibungkus dengan topeng,
segalanya bisa berubah. Cinta yang awalnya
bening bisa saja kemudian tersangkut debu dan kotoran dalam perjalanannya . Hal
itu membuat beningnya cinta menjadi keruh dan berwarna. Tak mudah menetralkan
kembali warna kusam maupun keruh di mata air cinta. Ia akan menjadi mata air
kehidupan yang senantiasa mengalir pilu
bercampur bulir air mata. Mata air dan Air mata bagi sebuah cinta terasa
seperti dua sisi mata uang, ia terpisah namun tak mungkin dipisahkan. Suci tak
mau kehilangan kesucian cintanya, ia masih saja menyimpan sebongkah optimisme
di hati. Optimisme itu adalah doa dan harapan. Ia yakin selalu saja ada esok
yang cerah maupun mendung. Baginya
cerah-mendung, bening-keruh, putih-hitam, halus-berduri atau apapun sisi cinta
dan kehidupannya tetap saja membawa makna bagi kehidupannya.
Bagi Suci , derita
dan bahagia sama indahnya tergantung bagaimana cara kita memaknainya. Bahagia
acapkali hadirkan tawa, yang sering dianggap orang sebagai sejatinya senang
yang hakiki. Bahagia sering dianggap hadirkan energi positif jiwa maupun raga.
Lain halnya dengan derita, derita sering dihakimi sebagai terdakwa penyebab
gagalnya kehidupan. Derita yang hadir
satu paket dengan air mata dianggap lahirkan energi negatif jiwa maupun raga. Padahal
bukan itu, bahagia dan derita sama sama punya makna membangun hakekat diri yang
sebenarnya. Lalu mengapa jalan ini yang
harus kutempuh ? begitu pertanyaan yang acapkali hadir di benak Suci. Taqdirkah
ini ? itu yang kadang memenuhi benaknya.
Suci tetap senyum, bahkan senyum yang sama tetap ia tebarkan ketika
bertemu sobatnya yang bertanya “ Suci,
mengapa kau tak mengejar karir?”
. Seperti biasanya, ia hanya
menjawab dengan senyum sambil bergumam “ inilah karirku”. Suci tersenyum ranum, deru ombak dan suara
burung gagak ikut tersenyum.
Pantai Iboih, 01112017
[1] Psikolog Robert Sternberg mengemukakan bahwa cinta sejati hendaknya
dibangun dari 3 komponen yaitu keintiman, kegairahan dan komitmen.