Membaca
sepucuk surat dari Ibu
Ana , terus terang saya tersentak. Dalam suratnya Ibu Ana mengeluhkan putra semata wayangnya yang masuk
kelas B karena menurut para guru yang melakukan seleksi siswa, kapasitas putra
ibu Ana biasa-biasa saja dan bahkan tergolong dibawah rata-rata. Untuk masuk kelas A jelas
tidak mungkin kata tim seleksi karena kelas A ditujukan untuk anak-anak yang
unggul dan superior. Ibu Ana agak bingung juga melihat papan pengumuman ,
karena seingatnya waktu di play group dulu
putranya termasuk Top Five dan
boleh dibilang bintang diantara teman-temannya. Meskipun rasa percaya dirinya
semakin menurun ketika ia duduk di bangku Taman Kanak-Kanak . Peristiwa yang
membuat kemampuan Boy (Putra Ibu Ana)
menurun adalah ketika ia dibentak oleh salah seorang guru praktek di TK
tersebut. Setelah itu Boy 3 hari tak masuk sekolah dan
selanjutnya ia semakin kurang percaya diri.
Boy sering
curhat pada sang ibu...............”Bunda, Boy ini anak bodoh ya
bunda?” Kata ibu guru anak kelas A yang
cerdas dan pandai bunda, sedang kami anak B ini adalah anak yang bodoh. Ibu Ana
tersentak mendengar hal ini ? Benarkah pandai atau bodoh itu takdir ? Atau kita
yang mengkotak-kotakkan anak-anak sehingga mereka terperangkap dalam ”takdir
buatan manusia” dalam hal ini berupa kelas pandai dan kelas bodoh ?
Menyimak
pengalaman Ibu Ana, saya jadi teringat sebuah fenomena yang
dinamakan Efek Pygmalion. Fenomena ini
pertama kali diperkenalkan oleh Robert Merton tahun 1957. Fenomena yang hendak mengkomunikasikan
bahwa ” Harapan terhadap orang lain
dapat menjadi sebuah kenyataan”. Pada penelitiannya, Merton melibatkan seorang
guru yang diminta untuk mengajar kelas baru yang terdiri dari anak-anak
berbakat (gifted children). Sang guru
tidak tahu bahwa sebenarnya anak-anak tsb merupakan anak-anak yang memiliki
inteligensi rendah dan memiliki masalah cukup serius dalam perilakunya
sehari-hari.
Pada saat pertama kali guru masuk kelas,
anak-anak tersebut mulai berperilaku tidak baik, tidak konsentrasi , tidak mau
belajar bahkan tak mau memberikan respon yang berarti. Namun karena guru merasa yakin bahwa
anak-anak ini adalah anak-anak berbakat yang berinteligensi tinggi maka ia
terus mengembangkan gambaran bahwa
anak-anak ini kreatif dan pandai
hanya dia saja yang mungkin belum pas metode mengajarnya sehingga dia merasa
agak kewalahan. Sang guru merasa amat peduli dan bertanggung jawab terhadap
metode belajar dan metode pendekatan yang ia berikan kepada para siswa/anak
tersebut. Akhirnya ia merasa tertantang dengan situasi ini.
Sang guru melakukan modifikasi metode
belajar mengajar dan pendekatan dengan penuh variasi. Disisip dengan berbagai
permainan dan kasus yang menantang agar anak-anak ”cerdas” ini mau kooperatif
terhadapnya. Dinamika yang terjadi sungguh luar biasa................semakin
diperlakukan sebagai anak cerdas, maka anak-anak ini responnya semakin kuat dan
prestasi serta perilakunya semakin positif. Pada akhir tahun ajaran ternyata
nilai mereka rata-rata meningkat sangat signifikan dan luar biasa ternyata anak-anak ini
benar-benar telah menjadi anak berbakat. Sang guru akhirnya dikatakan telah Menciptakan anak-anak berbakat !
Bagaimana Ibu Ana ? Andai baik anak kelas A, B atau apapun namanya
sama-sama diperlakukan sebagai anak yang special, cerdas, berbakat tentu mereka akan tumbuh dan berkembang
menjadi bintang, menjadi anak yang benar-benar berbakat nantinya. Bukankah
banyak orang sukses yang dulunya ternyata anak yang dianggap biasa-biasa saja di kelas maupun di
lingkungannya. Coba ibu komunikasikan hal ini dengan Bapak dan Ibu Guru di
sekolah Boy. Dan tentu saja harapan kita para Bapak dan Ibu Guru membaca
tulisan kecil ini. Salam buat Ibu
sekeluarga
(Kasus Boy , putra Ibu Ana – Nama asli dan lokasi/tempat tinggal dirahasiakan)
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Aceh , Maret 2008)