Sebuah cerita kecil oleh Nur Janah Nitura
Setiap kali pak
Yamin berdiri di podium untuk berpidato, membuka acara, peresmian gedung,
pernikahan , pelantikan atau segudang acara lainnya, setiap kali pula ia harus
menggunakan topeng. Sebagai politisi kawakan yang telah sekian kali duduk di
Dewan Perwalian Masyarakat (DPM) Pak Yamin memerlukan beribu topeng untuk
tampil pas dan wah sesuai ruang dan waktu. Bercermin dua kali, merapikan rambut
sambil memeriksa sudahkah cat rambutnya sempurna menutup warna putih uban,
mematut kacamata wibawanya dan ritual ini akan diakhiri dengan tersenyum bangga
dengan ke’sempurnaan’ penampilan dirinya.
“Bang, sudahlah
bang untuk kali ke depan abang tak usah nyaleg lagi. Kan tabungan abang sudah
banyak, tanah, rumah, apartemen, mobil belum saham-saham abang di berbagai
perusahaan itu” pinta Rieki istrinya setengah menghiba pada suami yang teramat
sangat dicintainya itu. Rieki adalah
adik dari sahabat pak Yamin yang dinikahinya lebih 20 tahun yang lalu. Rieki yang pada awalnya copy paste kepribadian
pak Yamin, tiba-tiba enam bulan yang lalu mengalami puncak kulminasi spiritual
yang membuatnya tersungkur dan terjungkit 180 derajat dari perempuan matre,
ambisius menjadi perempuan tawadhuk dan qanaah. Perubahan positif yang
menyejukkan namun menyesakkan dan mengkhawatirkan Yamin suaminya sendiri.
“Rieki, pergilah
ke Hongkong, Eropa atau mana saja bersama teman-temanmu . Berapapun aku support
sepenuhnya” pak Yamin merayu sang istri dengan iming-iming duniawi . Jika itu
terjadi 6 bulan yang lalu, tentulah Rieki , sosok ibu Gaul metropolitan akan
segera mencomot kesempatan ‘emas’ itu . Namun kini hal itu tidak dan tak akan
terjadi. Rieki kini tahu persis betapa ia harus terus
menyibukkan diri untuk beramal, menyibukkan diri untuk menuntut ilmu agama, menyibukkan
diri untuk berbuat baik dan seterusnya yang semuanya itu memang haruslah ia
yang melakukan dan tak mungkin meminjam tangan orang lain.
Tegar bagai batu
karang di tengah lautan, lembut bagaikan sapuan angin gurun pada musafir kelana
itulah Rieki . Setiap malam air mata ia teteskan
diatas sajaddah panjangnya. Setiap malam alun merdu suaranya dendangkan
ayat-ayat Illahi buktikan kecintaannya pada-Nya. Setiap malam tangannya
memainkan butiran tasbih menyebut kesucian dan kemulian-Nya. Malam bagi Rieki adalah malam penuh makna, detik demi
detik ia untai dengan perjalanan nafs amarah , nafs lawammah, nafs mulhimah dan
cita-cita mulianya menuju nafs muthmainah. Perjalanan panjang lidah api yang
panas menjadi angin yang kadang tak tentu arah . Perjalanan panjang angin
menjadi air yang menyejukkan dan selanjutnya menjadi tanah yang sentiasa
berikan manfaat dan kesuburan meski diinjak-injak.
Bagaikan berlian
yang bersinar cemerlang itulah Rieki,
sosok hamba Allah yang bergumul dalam danau pertaubatan kubra yang penuh
perjuangan. Sebagai istri ia sadar
sepenuhnya bahwa istri haruslah mengabdi pada suami , namun apakah ia akan
mengabdi jika sang suami menyeretnya ke pinggir jurang ??? . Sekali lagi Rieki istighfar, menunduk malu dan bermunajat
pada Illahi, Allah subhanawataala. Rieki
terasa melayang jiwanya , jiwa yang telah ada sejak sperma sang ayah menempel
di rahim ibundanya untuk kemudian berkembang menjadi janin, bayi, anak-anak,
remaja, dewasa seperti sosoknya sekarang ini. Jika kemudian diberi umur akan
jadi tua dan mati kembali ke asalnya. Dari berbagai pengajian yang diikutinya ,
Rieki akhirnya sadar betapa hawa-nafsu merupakan satu paket keinginan-perbuatan yang apabila tidak
dijinakkan akan menjebak kehidupan manusia di alam fana ini bagaikan terperosok
ke dalam lumpur.
“Aku gak suka
dengan penampilanmu sekarang Rieki , terlalu alim untuk bisa sejajar dengan
ibu-ibu kalangan kita” begitu keluhan suaminya. Mengganti busana minim dan modern
dengan busana muslimah ternyata membuat Yamin gerah . Rieki konsisten dengan
prinsip mengubah sesuatu harus dari diri sendiri. Ia menyadari bahwa perjalanan
pertaubatannya masih panjang, dan Allah swt memberinya cobaan yang berat yaitu
suaminya sendiri dan Bapak dari anak-anaknya masih terus berkubang dalam
keangkuhan duniawi.
“ Aku ini wakil
rakyat Rieki , gajiku besar, pendapatanku di luar gaji juga melimpah, deposito,
rumah dan hartaku yang lain tak ternilai. Mudah saja bagiku untuk mengatur ini
dan itu karena aku wakil rakyat dari partai besar yang berkuasa saat ini. Aku
juga dekat dengan kalangan orang penting negri ini , mohon sebagai istri dirimu
menyadari itu dan tak perlu berubah jadi aneh-aneh” kata-kata yang meluncur dari mulut Yamin
dengan intonasi tinggi terdengar serasa bunyi meriam di telinga Rieki .
Akhirnya Rieki terus
berdoa, berdoa dan berdoa …………………….. doa Rieki benar-benar doa tulus seorang
hamba yang sadar bahwa ia adalah mahluk-Nya. Doa Rieki jauh dari doa matematika
yang penuh angka-angka, atau doa
pedagang yang menghitung untung rugi. Rieki mencoba berdoa dengan sebenar-benarnya doa.
Ramadhan bagi Rieki
adalah sebuah oase spiritual yang sangat ia dambakan. Ia dapat mereguk
perjalanan asyik masyuk seorang hamba yang rindu dendam dengan kasih sayang
sang Khaliq melalui alunan merdu ayat-ayat suci. Ia juga berkesempatan
membangun empati pada sang papa fakir dhuafa melalui rasa lapar dahaga. Ia juga
terus belajar memberi, belajar melepaskan baju-baju kesombongan dan kemegahan
melalui berbagi rezeqi dalam zakat, infaq dan sedekah. Namun dari semua itu
bagi seorang Rieki, yang paling istimewa adalah keyakinannya bahwa di ramadhan
ini ia akan menjerit dan menangis. Rieki akan gelarkan seluruh pinta bermunajat
pada Allah azza wajala.
Di tahajudnya
yang panjang, Rieki menangis dan meminta dalam untaian doa seorang hamba yang
hina dan tunduk tersungkur di hadapan keperkasaan sang Khaliq pemberi hidup dan
kehidupan . Doa tersebut terngiang lembut :
“Ya Allah, sang maha pemberi hidup dan kehidupan
Malam ini untuk ke sekian kalinya hamba menghiba
Malam ini untuk ke sekian kalinya hamba mengemis
Hamba sadar hanya kepadaMu lah tempat hamba meminta
Hamba sadar hanya kepadaMu lah tempat hamba berserah diri
Jika titik hidayah telah Kau percikkan di sanubariku
Jika cercah hikmah telah Kau guyurkan di jiwa ragaku
Berikanlah titik hidayah dan cercah hikmah-Mu kepada suamiku
Pada laki-laki yang jadi pendamping belahan jiwa di kehidupan ini
Hamba malu meminta surga-Mu ya Allah
Namun hamba sangat takut pada api neraka-Mu
Ya Allah, sang maha pengasih dan penyayang
Curahkan rahman dan rahim-Mu kepada hamba sekeluarga
Curahkan keberkahan-Mu kepada hamba sekeluarga
Dengarkan jeritan pinta hamba-Mu yang hina ini
Dengarkan tangisan ronta mahluk-Mu yang nista ini
Allahuma ya Allah, Aamiin ya Robbal Alamiin “
Doa tersenandung, tiupan angin berdengung, awan mendung dan alam
semesta seolah menyimak senandung doa seorang hamba yang bernama Rieki.
Rieki lanjutkan
aktivitasnya dengan menyiapkan makan sahur, meskipun para asisten rumah
tangganya siap menghidangkan menu sahur. Namun Rieki sebagai seorang istri dan
ibu tetap dengan ikhlas terus melakukan tugasnya. Setelah 10 hari ramadhan,
suaminya absen. Pada sahur hari ke-11 ramadhan tiba-tiba Yamin terbangun dan
menjerit memanggil sang istri . “Rieki,
rieki, tolong kemari”. Rieki datang, mendapati suaminya menggigil. Yamin minta
dipeluk, terlihat wajah Yamin pucat ketakutan. Yamin menangis di pundak Rieki,
Yamin minta dipeluk kuat-kuat. Yamin minta dituntun membaca Istighfar. Rieki
bingung, Rieki terkejut, Rieki terpana. Ya Allah, doaku Kau dengar. Ya Allah,
doaku kau kabulkan. Ya Allah, doaku Kau tunaikan.
“Rieki, istriku
yang sholehah. Aku salah, aku banyak dosa, aku sombong, aku hina” . “Rieki, ibu yang sholehah. Bantu aku
bertaubat. Aku islam, aku muslim tai telah mengkhianati agamaku sendiri. Aku
terlalu sombong sebagai hamba. Bantu ya istriku sayang. Aku mau menjalankan
perintah Allah swt dan bersumpah untuk menjauhi larangan-Nya”.
Menjelang azan
berkumandang, di masjid terdengar suara kalam Illahi : “ Hai orang-orang yang
beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang
semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang dibawahnya sungai-sungai……………………” (Al Qur’an,
surat At-Tahrim ayat 8)
Astaghfirullah
Robbal baroya Astaghfirullah minal Khothoya
(Aku mohon ampun kepada Tuhannya manusia.
Aku mohon ampun kepada Allah dari segala kesalahan)
Robbi zidni 'ilman nafi'an wawafiq li 'amalan maqbulan
(Tuhan, tambahkan aku ilmu yang bermanfaat
dan terimalah amal yang maqbul bagiku)
Wawahab li rizqon halalan watub 'alaina taubatan nasuha
(Berilah aku rizki yang halal
dan terimalah taubat nasuhaku)
(Aku mohon ampun kepada Tuhannya manusia.
Aku mohon ampun kepada Allah dari segala kesalahan)
Robbi zidni 'ilman nafi'an wawafiq li 'amalan maqbulan
(Tuhan, tambahkan aku ilmu yang bermanfaat
dan terimalah amal yang maqbul bagiku)
Wawahab li rizqon halalan watub 'alaina taubatan nasuha
(Berilah aku rizki yang halal
dan terimalah taubat nasuhaku)