salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Jumat, 08 Juli 2016

MAWAR KUNING BUAT DIKA Sebuah Cerpen oleh Nur Janah Al Sharafi





Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui,“ (QS. Al-Baqarah: 216).
SATU
            Menyayangi  atau membenci hanya setipis kulit padi, itu baru kusadar setelah semua terjadi. Keluar  dengan paksa dari istana yang kubangun bersama mas Dan & dipisahkan dari ketiga buah hatiku sudah lebih dari penjara seumur hidup. Aku tak menyangka laki-laki yang menikahiku selama 15 tahun akhirnya menyerah seperti prajurit tak bersenjata, ketika aku istrinya dilanda badai dalam karir. Lima belas tahun yang lalu aku menerima lamarannya karena aku yakin ia adalah imam sejati yang kurindukan , bahunya tetap kuat untukku bersandar walau ada badai dan topan. Namun hatiku benar-benar hancur terpuruk ketika cobaan itu datang, mas Dan justru mengusirku dari rumah dan memisahkanku dengan ketiga buah hatiku.
            15 tahun aku meniti karir di perusahaan sekelas PT. Maju Internasional dengan karir yang berkibar ternyata tak menjamin perjalanan karirku akan semulus pipiku yang rajin ku facial. Aku terpeleset dengan tuduhan berat merugikan perusahan, meski demi Tuhan semua itu hanyalah kesalahan administratif namun tetaplah aku harus ambil tanggung jawab. Ketika semua rekan kerja dan sahabat berpaling dariku, membenciku yang sedang jatuh aku masih berharap mas Dan suamiku akan tangguh dan memberikanku energi untuk bangkit. Harapanku hanya seperti kapas terbang tak tentu arah, mas Dan dengan keras dan tegas mengusirku dari rumah. Aku hanya berjalan dengan pakaian yang melekat di badan, satu hal yang masih membuatku kuat adalah bahwa aku punya Allah swt, tempatku berkeluh dan mengaduh.
            Kapal hidupku berlabuh di pesantren Al Makmur, Pak Kyai dan bu Nyai menebar damai dan senyum pada siapa saja yang hadir. Aku berusaha menghapus memoriku tentang mas Dan dan ketiga anakku. Aku percaya Decay Theory ( teori Atropi) yang beranggapan bahwa memori menjadi semakin aus dengan berlalunya waktu bila tidak pernah diulang kembali (rehearsal).  Teori itu menganggap bahwa informasi yang disimpan dalam memori akan meninggalkan jejak (memory trace) dan jika dalam jangka waktu lama tidak dipanggil kembali ke alam kesadaran, akan rusak atau menghilang. Teori ini aku pegang erat dengan usaha yang keras bahwa aku harus menutup buku hidup pertamaku bersama mas Dan dan ketiga anakku ( Dika, Dall & Dell). Segenap ustadh, ustadhah , santri dan karyawan pesantren Al Makmur tak ada yang tahu persis latarbelakangku. Aku hanya menempatkan diri sebagai musafir kelana yang membutuhkan oase sejuk untuk rehat di kefanaan dunia. Aku datang juga membawa ketrampilanku dalam seni rupa, aku dipercaya oleh pak Kyai dan bu Nyai untuk menjadi salah satu ustadhah bidang seni rupa. Aku melukis, santriku melukis. Aku melukis kehidupan, santriku melukis kehidupan. Pak Kyai sudah memberikanku rambu-rambu agar tidak melukis binatang atau manusia dan aku menghormati itu. Lukisan alam, lukisan sawah ladang, lukisan kebun, lukisan hutan, lukisan bunga, lukisan buah dan lukisan abstrak spiritual mulai kurintis dan kuasah.
            Ini adalah tepat tahun  kelima belas aku di pesantren, aku bersyukur pada Allah swt yang telah menuntunku ke jalan putih. Ketika limbung jiwaku diarahkan dekat denganNya. Ketika limbung badanku diarahkan ke tempat suci ini yaitu masjid dan pesantren. Aku melangkah ke Galleri , aku simak lukisan santriku satu persatu. Lukisan yang indah dan berjiwa. Aku bahagia diberi karuniaNya untuk mengajarkan para santri melukis. Melukis tak sekedar menorehkan kuas diatas kanvas, namun aku diberi karuniaNya untuk mampu mengajarkan mereka menoreh ruh dalam kehidupan lukisan tersebut. Aku tersenyum, aku lega namun entah mengapa aku jadi limbung melihat lukisan mawar kuning itu.
“Siapa yang melukis mawar kuning itu” tanyaku
“Siti Aishah ustadhah” jawab salah satu santriku
Aku memintanya untuk memanggil Siti Aishah dan menanyakan padanya secara langsung. Sepuluh tahun ini tak satupun pernah ada dan aku berharap jangan ada lukisan mawar kuning. Selalu saja sebagai contoh akan kulukis mawar merah, merah jambu , putih atau biru.
DUA
Mawar kuning bagi Dika amatlah istimewa. Istimewa karena memiliki kisah tersendiri betapa bahagianya membucah ketika bocah gara-gara si mawar kuning tersebut. Mawar kuning adalah kisah bros indah hadiah sang ibu ketika Dika genap usia 5 tahun. Dika bangga mengenakan bros mawar kuning tersebut, selanjutnya Dika pun menunjuk pohon mawar di taman, selanjutnya ibu menanam mawar kuning di pot kembang teras belakang rumahnya. Mawar kuning mampu menghadirkan energi positif di benak Dika ketika ia penat dan jenuh. Melihat ujud mawar kuning tak hanya menenangkan kedua bola matanya, namun aura mawar kuning itu mampu menembus gelombang otaknya sejak gelombang betha , alpha  dan  tetha . Di tiap gelombang otaknya, aura sang mawar kuning mampu menancapkan kesan yang dalam dan rapi sehingga mengisi folder memory indahnya setiap jejak waktu.
Sejak ibu pergi 15 tahun yang lalu, hanya doa pada Allah swt dan mawar kuninglah yang membangkitkan energy hidup buatnya. Saat ibu pergi Dika masih 14  tahun, sebagai anak tertuapun ia tak paham apa yang terjadi. Ia hanya tahu kemudian ayahnya mengusir ibu, membakar seluruh foto ibu dan melarang Dika dan kedua adik laki-lakinya untuk sekedar bertanya tentang ibu apalagi bertemu. Ibu hilang seperti ditelan malam. Mawar kuninglah yang mampu menjadi mediasi menghadirkan wajah ibunya.  Di teras belakang rumah ada 10 pot mawar kuning, di teras depan rumah ada 10 pot mawar kuning. Di meja belajar hingga kini meja kerjanya juga ada setangkai mawar kuning imitasi yang wangi. Bagi Dika mawar kuning  adalah rajutan sel-sel hidup ibu yang menyembul dalam rona kuning yang indah. Sejak 4 tahun lalu Dika bekerja di sebuah lembaga pendidikan, Dika yang pintar dan kreatif cukup cepat dan sukses karirnya .
“Bu Dika, ini balasan dari pesantren Al Makmur. Mereka bersedia menerima kunjungan ibu dan  segenap staf Yayasan Al Fitri. Dan sesuai dengan list jenis lukisan di web Al Makmur, ibu mengisi dengan Mawar Kuning yang sebenarnya tidak tersedia. Tapia da 1 santri yang bersedia melukisnya buat ibu Dika. Nanti akan ada upacara penyerahan dana bantuan dari Yayasan Al Fitri dan disitu Bu Nyai akan menyerahkan lukisan Mawar Kuning sebagai cindera mata buat lembaga kita bu”  penjelasan Aziz staf Yayasan secara rinci.  Dika dan segenap manajemen Yayasan AlFitri memang memilih pesantren ini untuk studi banding, karena pendidikan di pesantren Al Makmur sangat memperhatikan keseimbangan otak kanan & kiri. Selain program unggulan berupa Hafizh Al Qur’an, agrobisnis, entrepreneur . Program unggulan seni rupa serta gallery lukisan merupakan nilai tambah tersendiri.
TIGA
“Aishah, mengapa kamu melukis mawar kuning” Tanyaku
“Aishah  melukis untuk rombongan Yayasan AlFitri yang insyaaAllah senin tanggal 11 Juli 2016 ini akan berkunjung ke pesantren kita ustadhah” jawab Aishah tegas
“Mengapa harus kuning ?” aku selidik sekali lagi
“Apa salahnya ustadhah, toh kuning juga warna ciptaan Allah swt, Spektrum warna yang sama-sama punya hak untuk eksis di kefanaan dunia. Iya kan ustadhah, ustadhah justru yang megajariku” tegas Aishah sekali lagi.
Aku tertohok dengan jawan Siti Aishah, hafizhah 20 juz yang cerdas dan punya jiwa seni yang kuat. Aku tertohok sekali lagi setelah membaca  surat dari yayasan Alfitri. Tertohok bukan karena kedatangan mereka, namun karena nama pemimpin rombongannya. Ibu Dika Nabila Dannuandri . Iya pemimpin rombongan itu adalah Dika, putri sulungku. Buah hatiku bersama mas Dan, mas Dannuandri mantan suamiku. Aku baru paham bahwa mawar kuning adalah pilihan bu Dika, mawar kuning adalah pilihan Dika putriku. Ternyata Dika tetap sayang dan cinta pada mawar kuning, aku berharap Dika tetap sayang dan cinta padaku sebagai ibunya. Aku deg-degan menunggu hari senin, hari bersejarah pertemuanku dengan Dika. Aku berdoa masih diber umur oleh Allah swt, agar bisa puas menatap wajahnya, jika boleh dan bisa menyalami tangannya yang tentu sangat lembut. Aku juga ingin mengintip ekspresinya ketika menerima bingkisan lukisan mawar kuning.  Entah sanggup atau tidak aku menemui Dika, namun mata, kuping dan tanganku akan  puas sekedar mengintip ruang cinta di matanya yang bening. Mengintip ruang cinta di matanya yang bening buat si mawar kuning atau mungkin buat aku ibunya ?
Angin semilir , 09072016


  

Minggu, 03 Juli 2016

KACA & LEBARAN (Sebuah cerpen oleh Nur Janah Al Sharafi)



                Benda apa yang paling akrab dengan perempuan, kamu akan setuju jika jawabannya adalah kaca. Bagi perempuan kaca adalah teman akrab yang baik sekaligus bisa menyesatkan . Baik karena di kacalah aku bisa menemukan berapa black spot dan white spot di wajahku agar dapat kumusnahkan. Di kaca pula aku bisa menemukan berapa jerawat atau garis wajah sehingga cepat-cepat aku bisa menyiapkan cream ini dan cream itu untuk kemudian kusamarkan. Menyesatkan karena di kacalah aku kadang senang ditipu, ditipu oleh tebalnya make up yang membuatku tersenyum-senyum seolah aku cantik. Ditipu karena di kaca lah tebalnya make up membuatku terpesona oleh penampilanku sendiri yang sebenarnya biasa biasa saja. Namun terus terang jika kau tanya lebih sayang  mana antara gaun, tas, sepatu atau kaca , aku tetap akan memilih kaca.
            Suatu hari aku berdiri di depan kaca, kupandangi sosok fisik jati diriku. Kaca ini adalah kaca yang setia menemaniku dalam 20 tahun terakhir, aku ingat ketika membeli lemara kaca ini. Aku dan mas Bram harus puasa dulu menabung hampir setahun agar mampu membeli lemari kayu berkaca yang kuidamkan sejak lama. Hanya  20 tahun yang lalu kaca ini masih segar, bau kayunya masih sesegar bau kayu hutan. Bau kacanya pun masih sesegar potongan kaca dari toko. Kali ini adalah kaca 2 dekade yang penuh sejarah, kaca yang menjadi saksi  cintaku dengan mas Bram. Kaca yang sering kugunakan berkaca bersama manakala kami menumpahkan rasa kangen. Kaca yang sering kugunakan berkaca ketika aku menggendong si sulung, si tengah maupun si ragil. Kali ini aku pandangi sekali lagi setelah 20 tahun bersama. 22 tahun bersama mas Bram  dan 20 tahun lemari kaca ini hadir di rumah kami.
Tiba-tiba kaca itu berwarna-warni, tiba-tiba kaca itu seperti teater hidup yang bergerak, tiba-tiba aku mendengar suara dari dalam kaca, tiba-tiba aku melihat gradasi sinar dari dalam kaca, tiba-tiba aku merasakan udara panas dan dingin menghembus dari kaca. Aku terseret masuk ke dalam kaca, kaca mengajakku berkaca lebih dalam.  Berkaca tentang jati diriku. Aku seperti melihat aku bayi , minum asi dibelai emak disayang bapak. Aku seperti melihat diri kanak-kanakku di kerumunan para orang tua idola seperti emak dan bapak di satu sisi. Aku juga melihat diri kanak-kanakku yang koyak di kerumunan para orang dewasa yang mengoyak kemurnian kebocahanku. Di kaca itu aku juga melihat aku yang luka, lara merangkak terseok-seok di jam, di hari, di minggu, di tahun. Disitu aku melihat wajah emak yang sedih, disitu aku melihat wajah bapak yang susah. Aku ingin lari memeluk mereka berdua, namun tak bisa. Sekali lagi aku hanya bisa melihat namun tak bisa meraih apalagi memeluknya.

Warna warni kaca itu membawaku berjalan menyusuri dan menguliti sejarah hidupku, aku menangis kadang juga tertawa. Terlalu banyak warna warni kesadaran yang kualami sejak aku merasa malu dengan taqdirku, aku merasa bersalah dengan keadaanku, aku yang terpuruk duka, aku takut dengan keadaan hingga aku marah dengan taqdirku. Warna-warni panas membuatku sedih, takut, marah hingga aku tak berdaya. Aku melihat diriku terpuruk jatuh terjerembab peluh. Aku seperti tiada, aku bukanlah siapa-siapa.
Di kaca itu aku melihat kekuatan yang membuatku bangkit. Kekuatan Allah swt sang maha pencipta, kekuatan orang orang terbaik seperti emak bapak guru dan para sahabat. Aku melihat warna warna kaca menjadi adem, seadem es cendol kegemaranku. Aku melihat senyuman tersungging di wajah-wajah mereka. Aku melihat tangan-tangan mereka menuntunku. Menuntun jati diriku agar bersyukur dan bangga dengan karuniaNya. Menuntun jati diriku agar berani, bersyukur, cinta, bahagia dan damai. Aku bisa bangkit kembali . Aku melihat aku berjalan, melalui bening kaca itu aku melihat senyumku yang damai. Aku melihat aku berkerudung melafalkan ayat demi ayat Al Qur’anul karim. Aku melihat aku sholat, aku puasa, aku berbagi, aku berhaji. Aku seperti diterbangkan lembut di langit yang tinggi. Kaca itu masih berwarna warni, namun kali ini warna itu jadi lembut dan sejuk masuk ke kulit tulangku. Perjalanan kesadaran yang panjang dari terpuruk malu hingga bercumbu dengan kedamaian. Aku melihat warna kaca itu bening,  aku terhempas lembut di sebuah peraduan merah jambu. Tubuhku dibalut baju putih yang adem, kerongkonganku juga adem. Mulutku komat kamit  berzikir menyebut asmaNya , malafalkan kalimat tauhid . Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah....... aku pasrah, aku tak sadarkan diri. ‘Pulang nak’  begitu kata bapak.  ‘Pulanglah nak’  begitu kata emak. ‘Tugasmu belum selesai,  anak dan suamimu menunggu. Teruslah dalam kebaikan anakku, smoga kelak dirimu husnul khatimah ’  begitu kata emak dan bapak. Mataku terbuka,  jarum infus di tanganku, warna putih rumah sakit di sekelilingku. Suami dan kedua anakku tersenyum, nampak rasa bahagia terpancar di wajah mereka.   ‘ Bunda, sudah 2 hari bunda koma. Alhamdulillah Allah swt berikan kesembuhan buat bunda’ . ‘ Besok lebaran bunda, aku sudah minta bantu tante Susi masak lontong opor buat bunda’ kata anakku.
Allah adalah wali/penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya........ (Al Baqarah : 257)