Benda
apa yang paling akrab dengan perempuan, kamu akan setuju jika jawabannya adalah
kaca. Bagi perempuan kaca adalah teman akrab yang baik sekaligus bisa
menyesatkan . Baik karena di kacalah aku bisa menemukan berapa black spot dan
white spot di wajahku agar dapat kumusnahkan. Di kaca pula aku bisa menemukan
berapa jerawat atau garis wajah sehingga cepat-cepat aku bisa menyiapkan cream
ini dan cream itu untuk kemudian kusamarkan. Menyesatkan karena di kacalah aku
kadang senang ditipu, ditipu oleh tebalnya make up yang membuatku
tersenyum-senyum seolah aku cantik. Ditipu karena di kaca lah tebalnya make up
membuatku terpesona oleh penampilanku sendiri yang sebenarnya biasa biasa saja.
Namun terus terang jika kau tanya lebih sayang
mana antara gaun, tas, sepatu atau kaca , aku tetap akan memilih kaca.
Suatu
hari aku berdiri di depan kaca, kupandangi sosok fisik jati diriku. Kaca ini
adalah kaca yang setia menemaniku dalam 20 tahun terakhir, aku ingat ketika
membeli lemara kaca ini. Aku dan mas Bram harus puasa dulu menabung hampir
setahun agar mampu membeli lemari kayu berkaca yang kuidamkan sejak lama. Hanya
20 tahun yang lalu kaca ini masih segar,
bau kayunya masih sesegar bau kayu hutan. Bau kacanya pun masih sesegar
potongan kaca dari toko. Kali ini adalah kaca 2 dekade yang penuh sejarah, kaca
yang menjadi saksi cintaku dengan mas
Bram. Kaca yang sering kugunakan berkaca bersama manakala kami menumpahkan rasa
kangen. Kaca yang sering kugunakan berkaca ketika aku menggendong si sulung, si
tengah maupun si ragil. Kali ini aku pandangi sekali lagi setelah 20 tahun
bersama. 22 tahun bersama mas Bram dan
20 tahun lemari kaca ini hadir di rumah kami.
Tiba-tiba kaca itu
berwarna-warni, tiba-tiba kaca itu seperti teater hidup yang bergerak,
tiba-tiba aku mendengar suara dari dalam kaca, tiba-tiba aku melihat gradasi
sinar dari dalam kaca, tiba-tiba aku merasakan udara panas dan dingin
menghembus dari kaca. Aku terseret masuk ke dalam kaca, kaca mengajakku berkaca
lebih dalam. Berkaca tentang jati
diriku. Aku seperti melihat aku bayi , minum asi dibelai emak disayang bapak.
Aku seperti melihat diri kanak-kanakku di kerumunan para orang tua idola
seperti emak dan bapak di satu sisi. Aku juga melihat diri kanak-kanakku yang
koyak di kerumunan para orang dewasa yang mengoyak kemurnian kebocahanku. Di
kaca itu aku juga melihat aku yang luka, lara merangkak terseok-seok di jam, di
hari, di minggu, di tahun. Disitu aku melihat wajah emak yang sedih, disitu aku
melihat wajah bapak yang susah. Aku ingin lari memeluk mereka berdua, namun tak
bisa. Sekali lagi aku hanya bisa melihat namun tak bisa meraih apalagi
memeluknya.
Warna warni kaca itu
membawaku berjalan menyusuri dan menguliti sejarah hidupku, aku menangis kadang
juga tertawa. Terlalu banyak warna warni kesadaran yang kualami sejak aku
merasa malu dengan taqdirku, aku merasa bersalah dengan keadaanku, aku yang
terpuruk duka, aku takut dengan keadaan hingga aku marah dengan taqdirku.
Warna-warni panas membuatku sedih, takut, marah hingga aku tak berdaya. Aku
melihat diriku terpuruk jatuh terjerembab peluh. Aku seperti tiada, aku
bukanlah siapa-siapa.
Di kaca itu aku melihat
kekuatan yang membuatku bangkit. Kekuatan Allah swt sang maha pencipta,
kekuatan orang orang terbaik seperti emak bapak guru dan para sahabat. Aku
melihat warna warna kaca menjadi adem, seadem es cendol kegemaranku. Aku
melihat senyuman tersungging di wajah-wajah mereka. Aku melihat tangan-tangan
mereka menuntunku. Menuntun jati diriku agar bersyukur dan bangga dengan
karuniaNya. Menuntun jati diriku agar berani, bersyukur, cinta, bahagia dan
damai. Aku bisa bangkit kembali . Aku melihat aku berjalan, melalui bening kaca
itu aku melihat senyumku yang damai. Aku melihat aku berkerudung melafalkan
ayat demi ayat Al Qur’anul karim. Aku melihat aku sholat, aku puasa, aku
berbagi, aku berhaji. Aku seperti diterbangkan lembut di langit yang tinggi.
Kaca itu masih berwarna warni, namun kali ini warna itu jadi lembut dan sejuk
masuk ke kulit tulangku. Perjalanan kesadaran yang panjang dari terpuruk malu
hingga bercumbu dengan kedamaian. Aku melihat warna kaca itu bening, aku terhempas lembut di sebuah peraduan merah
jambu. Tubuhku dibalut baju putih yang adem, kerongkonganku juga adem. Mulutku
komat kamit berzikir menyebut asmaNya ,
malafalkan kalimat tauhid . Laa
ilaaha illallah Muhammad Rasulullah....... aku pasrah, aku tak sadarkan diri. ‘Pulang
nak’ begitu kata bapak. ‘Pulanglah nak’ begitu kata emak. ‘Tugasmu belum selesai, anak dan suamimu menunggu. Teruslah dalam
kebaikan anakku, smoga kelak dirimu husnul khatimah ’ begitu kata emak dan bapak. Mataku terbuka, jarum infus di tanganku, warna putih rumah
sakit di sekelilingku. Suami dan kedua anakku tersenyum, nampak rasa bahagia
terpancar di wajah mereka. ‘ Bunda,
sudah 2 hari bunda koma. Alhamdulillah Allah swt berikan kesembuhan buat bunda’
. ‘ Besok lebaran bunda, aku sudah minta bantu tante Susi masak lontong opor
buat bunda’ kata anakku.
Allah adalah
wali/penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan
menuju cahaya........ (Al Baqarah : 257)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar