salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Sabtu, 04 November 2017

DOA (A Psycho-Story by Nur Janah Al-Sharafi) - CERPEN

            Doa , biasanya didendangkan dengan penuh harapan yang indah. Positif, optimis, mengharap hasil yang baik dan sederet hal hal baik lainnya terangkai dalam sebuah doa. Namun ketika doa dibungkus dengan amarah, kebencian dan  dendam,  maka doa tersebut jadi luntur. Seperti kain tenun yang dicelup pewarna murahan, sehingga sang warna pun lenyap ketika tenun dicuci dengan sabun deterjen, meski deterjen mahal sekalipun. Sayangnya doa itulah yang masuk ke telinga Suci, doa yang justru keluar dari mulut suaminya. Laki-laki yang menikahinya selama 10  tahun.
“ Sembuhkanlah kakinya, jika ia berjalan di jalanMu ya Allah”
“Tegakkanlah langkahnya, jika ia menegakkan agamamu”
“Lumpuhkanlah kakinya, jika ia melangkah ke tempat maksiat”
“Lemahkanlah langkahnya, jika ia melangkah di jalan selain urusanMu dan urusan keluarga”
Air mata Suci mengalir deras, sesenggukan ia mendengar kalimat doa yang keluar dari mulut sang suami, ia tak percaya namun berkali-kali ia buka telinga dengan penuh konsentrasi tetap saja kalimat itu yang ia dengar berulang-ulang. Suci beranikan dirinya bertanya pada sang suami.
“Mas, doanya kog aneh. Apa maksud mas dengan maksiat tadi? Apakah aku istrimu ini sudah kau curigai mas? Apakah mas pikir aku melakukan maksiat”  , pertanyaan Suci untuk Ardi suaminya terkesan bertubi-tubi.
“Aku tak mau istriku mengurus orang lain, bagiku mengurus selain keluarga itu maksiat”
“Aku mau istriku hanya beribadah dan melayani suami serta anak-anak. Itu saja mauku”
Istighfar Suci, Istighfar seluruh dinding rumah, Istighfar bunga-bunga kecil di polibag, Istighfar kelinci dan kucing di rumah itu. Bahkan jikapun putra-putrinya mendengar dan semua seisi jagad raya mendengar akan mendendangkan istighfar berulang kali.
            Suci, seperti namanya. Ia perempuan suci. Tak sekecil benihpun ia simpan untuk melangkah kaki ke kiri, jika nawaitu dari rumah ia ijin melangkahkan kakinya ke kanan. Suci yang cerdas dan anggun sudah teramat sangat mengalah. Ia yang selagi muda penuh cita menyala-nyala merelakan menggandaikan cita-citanya demi menyelamatkan keutuhan berkeluarga. Pilihannya untuk menikahi Ardi memang sudah suratan taqdir. Suci dan Ardi jatuh cinta dan mereka menikah .
            Suci bukan perempuan biasa, ia perempuan yang penuh  talenta. Sehingga seribu kurungan yang diciptakan Ardi untuknya tetap saja tak mampu membelenggu seluruh talentanya. Pikiran-pikiran Suci sering ia torehkan diam-diam melalui sajak-sajaknya. Diam-diam ia menulis puisi dan mengirimkannya ke media. Pernah ia mengirim puisinya ke radio, pernah pula ia mengirim puisinya ke Koran atau majalah. Dengan nama pena  “ Sang Biru ” . Jika itu dikatakan pengkhianatan, maka itulah pengkhianatan Suci, diam diam roh nya melayang lepas dari dinding kamar dan rumahnya mengunjungi para pembaca.
            Gemetar tangan Suci ketika ia menerima undangan dari sebuah lembaga Sastra ternama di luar negri untuk diberikan penghargaan. Ia tak menyangka pergolakan batinnya sebagai seorang perempuan melalui kata mampu menembus cakrawala dunia.  Surat asli ia simpan rapi  dan ia hanya menunjukkan fotocopy surat tersebut pada Ardi . Namun Ardi meresponnya berbeda, respon tersakitnya ia ungkapkan dalam sebuah “Doa yang amat menyakitkan”.
            Suci dingin dalam kesendiriannya yang kelam, ia menggigil  dalam tahajudnya yang panjang. Ia malu kepada Allah swt, mengapa puisi-puisi yang ia tulis dengan cinta , mengapa puisi puisi yang ia tulis dengan ikhlas ternyata diterjemahkan menjadi sebuah maksiat oleh seorang hamba-Nya yaitu sang suaminya sendiri “Ardi”.  Masih menggigil dalam doanya, ia lanjutkan dengan membaca salah satu puisinya yang berjudul  “Belah”
BELAH
Belahlah jantungku
Disana hanya kusimpan nama-Mu
Kuukir dengan emas tinta cinta
Kugosok dengan permata tawaqal
Allahu  Allahu  Allahu  Akbar
Besar nama-Mu
Kerdilnya aku
Sang maha penuh cinta
Tetap Kau guyur aku dengan embun cinta
Hingga si kerdil berdaya
                  (Sang Biru,  01102017)
            Matanya menerawang menyusuri detik demi detik kebersamaannya bersama Ardi. Benang waktu berjalan ia untai dengan cinta. Cinta dalam mata, cinta dalam belaian, cinta dalam gelas, cinta dalam piring, cinta dalam sapu bahkan cinta dalam minyak angin. Bagi Suci, cinta tak mengenal arti takaran matematika. Kerna cinta itu tulus, sebagaimana ia menanamkan rasa cinta dan tulus pada putra-putrinya.
“Anakku, berikan apa yang kau miliki. Kerna sesungguhnya itu semua hanya titipan Illahi. Tebarkan cinta pada sesama lewat senyum, lewat karya, lewat keringat bahkan lewat setiap hela nafas kalian. Jiwa kalian akan tulus, bening dan insyaAllah lapang dada terhadap setiap guratan taqdir-Nya” , itu salah satu kalimat yang di ucapkan di depan putra –putrinya”.
Suci makin tak paham jenis cinta[1] yang mana yang Ardi berikan untuknya.  Benarkah cinta sejati yang didapat ? Apakah  komponen cinta sejati  itu ada ?  Ia sendiri tak paham meskipun tetap penuh harap. Ketika cinta dibungkus dengan topeng, segalanya bisa berubah. Cinta yang awalnya bening bisa saja kemudian tersangkut debu dan kotoran dalam perjalanannya . Hal itu membuat beningnya cinta menjadi keruh dan berwarna. Tak mudah menetralkan kembali warna kusam maupun keruh di mata air cinta. Ia akan menjadi mata air kehidupan yang senantiasa  mengalir pilu bercampur bulir air mata. Mata air dan Air mata bagi sebuah cinta terasa seperti dua sisi mata uang, ia terpisah namun tak mungkin dipisahkan. Suci tak mau kehilangan kesucian cintanya, ia masih saja menyimpan sebongkah optimisme di hati. Optimisme itu adalah doa dan harapan. Ia yakin selalu saja ada esok yang cerah maupun mendung.  Baginya cerah-mendung, bening-keruh, putih-hitam, halus-berduri atau apapun sisi cinta dan kehidupannya tetap saja membawa makna bagi kehidupannya.
 Bagi Suci , derita dan bahagia sama indahnya tergantung bagaimana cara kita memaknainya. Bahagia acapkali hadirkan tawa, yang sering dianggap orang sebagai sejatinya senang yang hakiki. Bahagia sering dianggap hadirkan energi positif jiwa maupun raga. Lain halnya dengan derita, derita sering dihakimi sebagai terdakwa penyebab gagalnya kehidupan. Derita  yang hadir satu paket dengan air mata dianggap lahirkan energi negatif jiwa maupun raga. Padahal bukan itu, bahagia dan derita sama sama punya makna membangun hakekat diri yang sebenarnya.  Lalu mengapa jalan ini yang harus kutempuh ? begitu pertanyaan yang acapkali hadir di benak Suci. Taqdirkah ini ? itu yang kadang memenuhi benaknya.  Suci tetap senyum, bahkan senyum yang sama tetap ia tebarkan ketika bertemu sobatnya yang bertanya “ Suci,  mengapa kau tak mengejar karir?”  . Seperti biasanya, ia  hanya menjawab dengan senyum sambil bergumam “ inilah karirku”.  Suci tersenyum ranum, deru ombak dan suara burung gagak ikut tersenyum.           
 Pantai Iboih, 01112017







[1] Psikolog Robert Sternberg mengemukakan bahwa cinta sejati hendaknya dibangun dari 3 komponen yaitu keintiman, kegairahan dan komitmen.  

Kamis, 12 Oktober 2017

TRANSFORMASI DARI "GADA" MENJADI "CINTA"


           KDRT atau Kekerasan dalam rumah tangga adalah dua dikotomi yang bertentangan satu dengan yang lain namun dipaksakan untuk bersanding. Persandingan yang sumir karena kekerasan yang berkonotasi  destruktif, merusak yang satu menjadi berkeping-keping disandingkan dengan istilah rumah tangga yang bermakna harmoni, konstruktif dan menyatukan yang berkeping menjadi satu. Apa dan bagaimana KDRT marilah kita cari jawabannya bersama .
          Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadapseseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraanatau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaranrumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkuprumah tangga (Pasal 1 ayat 1, UU 23 PKDRT, 2004) . Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa korban adalah perempuan, meskipun ada diantara korban tersebut adalah anak-anak dan sedikit laki-laki.
         
          Bentuk kekerasan dalam KDRT ada beberapa antara lain adalah kekerasan verbal . Kekerasan verbal adalah peristiwa dimana pelaku menggunakan kata-kata ditujukan untuk mendefinisikan seseorang secara negatif, dan hal ini menimbulkan tekanan mental dan penderitaan emosional bagi korbannya (Evans, 2006). Dalam kekerasan verbal ini kata-kata yang meluncur dari mulut pelaku dapat beruba bentakan, pelecehan, sindiran dan sebagainya. Hal itu digunakan sebagai ekspresi kekuasaan yang dimilikinya untuk menekan korban. Pelaku berusaha menguasai pikiran korban melalui sugesti verbal yang dilakukannya .
          Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat sepertidipukul/ditinju, dicakar, diinjak, dibanting, ditampar, digigit, dijambak,  ditedang, didorong secara kasar , disekap, disundut rokok, diikat, disiksa dengan senjata (senjata tajam, senjata api, benda tumpul, api, setrika) dan sebagainya  . Dalam kekerasan fisik , pelaku memperlakukan korban sebagai objek seolah ‘benda mati’ yang dapat diperlakukan sesuka hatinya. Penderitaan korban dalam kekerasan jenis ini benr-benar merupakan penderitaan lahir batin sekaligus.    
          Bentuk kekerasan lainnya adalah Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang seperti : diancam akan dicerai, diancam akan ditinggal pergi, dipisahkan dari anak serta  tidak boleh menemui keluarganya.
           Kekerasan dan penelantaran ekonomi adalah tindakan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi, seperti pembatasan dan/atau melarang bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendalinya, tidak diberi nafkah, bekerja tidak dibayar, dibatasi secara ketat tidak boleh bekerja dan sebagainya. Pada bentuk kekerasan dan penelantaran ekonomi, korban diposisikan sebagai sosok yang tergantung sepenuhnya kepada pelaku bukan berdasarkan tanggung jawab atau kasih sayang melainkan semata berdasarkan ego kekuasaan yang diekspresikan pelaku sebagai bentuk penguasaan atau penjajahan terhadap korban.        Kekerasan seksual adalah kekerasan yang bernuansa seksual termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual dan berbagai bentuk pemaksaan hubungan seks yang tidak dikehendaki salah satu pihak, seperti pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, paksaan melakukan hubungan seks dengan cara yang tidak disukai,  pemaksaan menggunakan alat bantu seks , menjual istri/anak sebagai penjaja seks.  Relasi seksual yang dibangun oleh pelaku kepada korban merupakan relasi seksual yang sakit dan tak seimbang. Hal ini karena istri sebagai korban diposisikan hanya sebagai objek pemuas nafsu saja.
          Demikian bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak.
   
Kapal keluarga yang mengarungi lautan kehidupan mestinya berlayar secara indah dan harmonis. Jika pun ada gelombang dan badai tentu akan disiasati secara apik. Namun jika gelombang dan badai kehidupan disikapi dengan konflik , kemarahan, kekerasan tentu saja akan jatuh korban dari anggota keluarga itu sendiri. KDRT terjadi melalui beberapa penyebab, penyebabnya oleh Murray  (1999)  diidentifikasi dalam beberapa hal antara lain :  a). Pembelaan atas kekuasaan laki-laki, dimana laki-laki dianggap sumber daya superior yang mampu mengatur dan mengendalikan perempuan , b). Diskriminasi & pembatasan bidang ekonomi, dimana perempuan diposisikan tergantung pada suami sehingga ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan, c). Beban pengasuhan anak, Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.  Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga (bukankah anak tersebut adalah anak ayah & bunda ? ),  d). Perempuan diposisikan sebagai ’anak-anak’ , konsep bahwa perempuan sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban perempuan.  Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib. Bahkan untuk mencapai ’tertib’ seringkali suami melakukan kekerasan kepada istri.
Penyebab lainnya yang perlu dikaji lebih mendalam adalah media . Media dalam hal ini adalah internet, televisi, audio bahkan media cetak (surat kabar, majalah, buku-buku ) dan sebagainya. Posisi media dapat pada posisi traumatic event, conditioning event & precipitating event[2] . Ekspose kekerasan di media merupakan menu indera yang menstimulasi indera pemirsanya baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu penyebab meningkatnya karakter agresif pada manusia antara lain adalah konsumsi agresivitas yang diperolehnya dari berbagai tayangan baik  cetak maupun elektronik. Sajian agresif tidak serta merta langsung berpengaruh pada pemirsanya, namun tergantung dari frekuensi dan intensitasnya. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan adanya kausalitas terbalik yang menyatakan bahwa tipe pemirsa agresif cenderung akan mencari dan menikmati tayangan agresif. Meskipun demikian kita tak bisa memandang sebelah mata bahwa ternyata anak-anak kita ’belajar agresif’ dari tokoh idolanya yang diambil dari film , kartun bahkan game yang dinikmatinya sehari-hari [3]

          Jangan dibayangkan pelaku KDRT itu sosok yang seram dan kejam membawa gada untuk memukul  bahkan hingga membunuh. Bayangan anda tersebut bisa jadi persis namun bisa jadi jauh bertolak belakang. Kita tak habis pikir mengapa seorang laki-laki santun, alim, lembut, berpendidikan tinggi (Doktor) dan berprofesi sebagai pendidik ternyata mampu menyakiti dan membunuh istrinya sendiri (kasus pembunuhan pegawai BRI Padang  , april 2015)        
          Saparinah Sadli  (dalam Panani, 2013) mengemukakan beberapa tipologi pelaku KDRT , tipe tersebut adalah sebagai berikut : 1). Tipe pencemburu  yang posesif dan sangat tergantung pada pasangan , 2). Tipe agresif yang setiap bertengkar selalu diselesaikan dengan kekerasan, 3).  Tipe dominan dan tidak menyukai apabila istri terlihat independen, mandiri, karena dianggap tidak menghormati suami. Pada tipe ini jika dominansinya terusik maka kekerasan akan mudah terjadi, 4).  Tipe yang dependen dan pasif menerima apa saja yang dilakukan istri, suatu saat bisa berubah dengan tidak kekerasan pada istri, 5).  Tipe depresi yang inferior, berpikir negatif dan tertekan. Tipe ini awalnya menjalin relasi yang baik dengan pasangan namun bisa saja tiba-tiba melakukan kekerasan. , 6). Tipe temperamental  yang merasa berhak untuk melakukan apa saja, termasuk hilang kontrol melakukan kekerasan baik fisik maupun emosional. Ketika ia sadar ia akan minta maaf menghibah-hibah pada istri. Sifat temperamental ini akan berulang terus menerus.
          Tipologi Pelaku KDRT oleh Holtzworth-Munroe dan Stuart (dalam Margaretha, 2015), dimana dijelaskan ada 3 tipe pelaku: 1) pelaku kekerasan hanya terbatas dalam keluarga (family only), biasanya memiliki kepribadian pasif-tergantung ,  2) pelaku kekerasan disforia/ambang (dysphoric/borderline),  tipe ini menunjukkan gejala depresi, frustrasi dan sangat mudah terpancing emosinya, beberapa pelaku menunjukkan gangguan kepribadian serta mengkonsumsi narkoba atau zak addiktif lainnya,   dan 3) Tipe antisocial, yang memiliki kepribadian antisocial, mereka melakukan kekerasan di dalam maupun di luar rumah tangga.        Topeng kewarasan (The mask of sanity)  yang digunakan oleh  pelaku memungkinkannya menampilkan diri sebagai pribadi yang sehat, waras, sukses dan mempesona. Bahkan tak jarang ia dapat dengan baik memerankan diri sebagai sosok yang alim dan ‘sholeh’. Topeng yang ‘sempurna’ mampu menjungkirbalikkan fakta seorang ‘korban’ yang berubah menjadi ‘pelaku’  Selain itu topeng ini juga dapat mengecoh masyarakat bahkan polisi sekalipun sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan intens untuk dapat membuka topeng tersebut.
           Metamorfosa : dari ’gada’ menjadi ’cinta’
     Jika ulat yang  gatal & menjijikkan dapat bermemorfosa menjadi kupu-kupu yang indah & menarik, mengapa tidak sosok manusia pelaku KDRT yang dimetaforakan sebagai ’gada’ (pemukul) bermetamorfosa menjadi sosok yang penuh ’cinta’. Untuk mengubah ’ulat’ menjadi ’kupu-kupu’ , ’loyang’ menjadi ’emas’ , ’gada’ menjadi ’cinta’ , perlu perhatian khusus terhadap beberapa hal berikut : 1). Pemrograman kembali (re-programming) , pada proses ini akan diuraikan ”sesuatu yang telah dicetak” (imprint) sejak lama (apalagi sejak dini) diuraikan kembali . Walaupun imprint seolah tak dapat diubah, namun ternyata oleh  Timothy Leary  dapat dilakukan  pemrograman kembali (Wikipedia). Sehingga perlu suatu optimisme untuk membumikan paradigma kesetaraan tersebut [4]. Pemrograman kembali pola pikir, emosi dan perilaku korban maupun pelaku menjadi suatu keniscayaan jika memang kita sepakat untuk menekan angka KDRT sekecil mungkin. Proses ini dapat dilakukan dalam bentuk  intervensi individu , kelompok maupun massa, 2). Penguatan keluarga ,  pada proses ini dilakukan penguatan terhadap makna dan hakekat keluarga itu sendiri kepada para anggotanya. Sehingga sinergi antar anggota keluarga terjalin untuk secara bersama melangkah mencapai tujuan [5], 3). Membangun kesehatan raga & jiwa  dalam rumah tangga sangatlah perlu untuk mencegah terjadinya KDRT. Raga yang sehat dibangun dengan asupan kebiasaan raga yang positif seperti makanan yang halal & thayib serta olah raga secara teratur. Raga yang sehat akan  mendukung terjadinya sirkulasi energi yang lancar sehingga mudah mencapai kesehatan secara utuh. Tidur nyenyak dan cukup juga salah satu kunci agar seseorang sehat [6].  Adapun kesehatan jiwa yang perlu dibangun adalah karakter atau jati diri anggota keluarga yang meneladani karakter para rasul utusan Allah swt khususnya Rasulullah Muhammad saw merupakan uswatun hasanah kita dalam berkeluarga.  Membangun karakter sehat mental yang islami dapat berpola pada rukun islam                                                                                   
4). Membangun iklim non agresif , secara jujur kita akui bahwa model perilaku non agresif semakin langka di zaman ini. Penelitian Donnerstein &  Donnerstein pada tahun 1976 (dalam Hanurawan, 2004) ditemukan bahwa individu yang mengamati perilaku model non agresif menunjukkan tingkat agresi yang lebih rendah daripada individu yang tidak mengamati perilaku model non agresif. Utuk itu orang tua dan masyarakat secara luas dapat mensosialisasikan kembali pentingnya hidup tentram , damai dan non agresif untuk mendukung hal ini  , 5). Membangun ‘ Caring Society ‘ dengan  iklim Cerdas Emosi & Cerdas Spiritual (reeligí, agama) : Memasukkan variabel kepedulian secara psikologis maupun sosial dalam pembangunan desa. Memberdayakan institusi yang ada baik yang bersifat umum atau keagamaan  untuk membangun masyarakat yang peduli. Aparatur desa dan perangkatnya dapat lebih proaktif terhadap anggota masyarakatnya sehingga dapat memotret lebih awal segala situasi dan kondisi yang mungkin terjadi. Dialog yang cerdas emosi dan spiritual (keterpaduan kesalehan individu & sosial), 6). Memahami akses informasi & melakukan pelaporan  jika terjadi KDRT atau kekerasan lainnya.


…………………………………………………………………
Berkeluarga itu mencari bahagia,
Sehingga sejak awal benang & jarum yang kita pilih karena cinta
Memintal tenun perjalanan kehidupan
Menebar karya dan ceria
Untuk selanjutnya  menuju kesana
REFERENSI

Undang-undang Nomor 23  tahun 2004  tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 95.


Save M. Dagun, Psikologi Keluarga, Renika Cipta, Jakarta, 2002

Evans, P. (2006). The Verbally Abusive Man, Can He Change: A Guide for Women to Deciding to Stay or Go. Adams Media: Massachusetts.

Menguak sebab Laki-Laki melakukan KDRT, Sri Yulita Pramulia Panani, Rifka Annisa, Februari 2013

Murray A. Straus . (1999) Violence in Intimate Relationships. Saduran dari website
Nur Janah Yazid Asyarafi, Face book


Hare, Robert D. Dr. Robert Hare's Page for the Study of Psychopaths. January 29, 2002 (cited April 5, 2002.)

Tipologi pelaku KDRT, Margaretha, 2015, psikologi forensic.com

Cahyadi Takariawan, ", 10 ciri keluarga sakinah,  Kompasiana , april 2015

 ( http://www.stanford.edu/~ dement /childapnea.html)







[2] Traumatic event peristiwa yang membekas
   Precipitating event peristiwa pencetus yang munculnya simtom-simtom kritis
   Conditioning event pristiwa yang terus terjadi dalam kehidupan (yang tidak diharapkan)

[3] Tokoh-tokoh dalam film keras biasanya digambarkan sebagai orang yang kuat, agresif dalam meraih kesuksesan dan memecahkan persoalan itu diperolehnya dengan jalan kekerasan. Tokoh inilah yang dalam kehidupan anak & remaja dikagumi yang kemudian dijadikan model identifikasi (Gunarsa, 1983)
[4] Imprint adalah kejadian penting di masa lalu yang membentuk keyakinan seseorang. Istilah Imprinting (membekas, menjejak, terprogram) dikenalkan oleh Konrad Lorenz ketika mempelajari perilaku bebek ketika menetas. Anak bebek  mengikuti kemana induknya bergerak. Dan lucunya  dalam eksperimen tersebut ia mengikuti apa saja yang bergerak dan ia anggap seolah ”induknya” (fenomena salah cetak yang jadi ”permanen”)
[5] Ciri keluarga sakinah : 1). Berdiri diatas fondasi keimanan yang kokoh, 2). Menunaikan misi ibadah dalam kehidupan, 3). Mentaati ajaran agama , 4). Saling menyintai & menyayangi, 5). Saling menjaga & menguatkan , 6). Saling memberikan yang terbaik untuk pasangan , 7). Mudah menyelesaikan permasalahan, 8). Membagi peran berkeadilan, 9). Kompak mendidik anak, 10). Berkontribusi untuk kebaikan masyarakat, bangsa & negara
[6] Salah satu gangguan tidur yang ditengarai menjadi pemicu agresivitas adalah  Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA  ditandai oleh dua gejala utama: mendengkur dan kantuk berlebihan (hipersomnia). Penderitanya mengalami henti nafas berulang kali selama tidur akibat saluran nafas yang melemas dan menyempit selama tidur. Hasilnya proses tidur akan terpotong-potong. Gelombang otak tidur akan terbangun-bangun singkat berulang kali, tanpa si penderita sadari (perubahan dari gelombang betha / sadar dan gelombang delta/tidur secara berulang-ulang) .

Jumat, 06 Oktober 2017

PASHMINA MERAH BUAT MUNAH (A Psycho-Story by Nur Janah Al-Sharafi) - Cerpen



            Pagar besi itu terlalu tinggi buat ukuran sebuah kantor pelayanan buat warganya yang merantau di negri orang. Jangankan senyum dan ramah, setiap batang besi di pagar itu melambangkan kokohnya raksasa kekuasaan yang hendak menelan dan mengunyah bulat-bulat siapapun yang mendekat. Entah mengapa aku tak tahu persis tiba-tiba saja aku ingin memarkirkan mobil rentalku di luar pagar gedung itu. Ini bukan yang pertama aku datang kesini, namun kedatanganku kali ini dan kebetulanku melewati gedung ini menyuarakan bisikan keras di kuping jiwaku agar aku datang ke gedung ini. Gedung angkuh dengan tulisan besar tegak yang berbunyi : Gedung Pelayanan Anak Rantau Nuswantara.
            Bajuku cukup necis dan rapi untuk bertamu sejenak di gedung itu. Bagaimana tidak necis dan rapi, dua jam ke depan aku harus meeting formal dengan sejumlah orang di gedung yang letaknya tak jauh dari gedung ini. Disini aku  ingin shalat di suraunya, dan tentu saja suasana luar gedung itu yang menarik naluriku sebagai psikolog dan penulis untuk mampir . Jika gedung itu memang hanya dibangun untuk melayani anak rantau negri Nuswantara,  bukankah aku juga anak negri Nuswantara. Meski aku tak merantau di negri ini, namun kunjungan singkatku untuk sebuah urusan boleh saja kan jika aku mampir kesini.
“Tinggalkan pasport ibu”
“Jangan lupa kenakan ID Card selama berada di komplek gedung ini”
Aku kenakan ID Cardku yang berwarna biru.  Aku dipersilahkan dengan ramah, senyum dan diantar ke arah surau yang kutuju.
“Silakan ibu masuk saja ke pintu itu lurus, disanalah surau nya berada”
Aku berharap keramahan petugas ini adalah keramahan yang terpatri. Terpatri dalam jiwa pelayanannya paling hakiki bahwa sesungguhnya yang dihadapi adalah anak-anak negri yang merantau. Anak anak negri yang galau di negrinya sendiri, kebanyakan datang dari kampung pelosok yang lapar dan miskin untuk kemudian mengadu nasib di negri orang. Tentu saja aku bahagia dengan keramahan petugas disini. Dengan harap harap cemas smoga anak anak rantau setidaknya mendapat siraman sejuknya senyum dan merdunya suara petugas di gedung ini.
            Berjajar rapi Rest Room , penampilan wajah yang bersih tak terdukung dengan aroma pesing yang menyengat. Aku berusaha memaafkan aroma ini, bukankah barisan antrian anak rantau yang sedang mengurus surat menyurat keijinan disini memaksa menyikat habis aroma wangi di pagi berubah menjadi pesing tak terperi. Satu pun aku tak melihat petugas Cleaning Service yang bertugas disini. Berapalah dana alokasi buat petugas pelayanan di kantor ini, sehingga tak sanggup menggaji petugas agar  Rest Room (toilet) senantiasa bersih dan wangi. Dinding kandung kemihku penuh tak mau diajak kompromi, aku mengalah. Kuusap sedikit olesan minak kayu putih di hidung agar aku sanggup masuk ke area Rest Room ini.
            Selanjutnya kulangkahkan kakiku ke tempat berwudhu, masih bercampur tempat wudhu perempuan dan laki-laki.  Aku sengaja duduk sejenak di kursi sambil menunggu sepinya lelaki yang lalu lalang disini. Pada akhirnya sepi itu hadir juga tinggal beberapa perempuan di area ini termasuk diriku. Wudhu untuk kemudian sholat, berdoa dan zikir sejenak setelah itu aku akan berpamitan meninggalkan gedung ini. Surau yang bersih, sejuk dan nyaman alhamdulillah kudapatkan. Terbayar sudah rasa kecewa di Rest Room  dengan kenyamanan surau ini. Aku kenakan kembali  alas kakiku untuk kemudian hendak bergegas meninggalkan gedung ini. Bunyi langkah sepatuku dan nyaring beberapa kali suara handphoneku kalah oleh hiruk pikuk para anak rantau yang semakin ramai datang ke gedung ini. Langkahku tertahan sejenak, kuintip jam tangan bukankah meeting masih 1 jam ke depan. Harusnya  kugunakan waktu untuk makan siang agar pikir dan rasa ku lebih siap untuk diskusi dalam meeting. Namun itu kuurungkan, jiwaku memanggil, jiwaku menjerit. Jiwaku meronta seperti anak balita minta dibelikan mainan oleh emaknya. Jiwaku kemudian memaksa ragaku untuk mengambil posisi strategis berdiri di sudut gedung agar mata dan telingaku bebas leluasa mengamati apa dan bagaimana anak-anak negri yang makin berjubel di gedung ini.
            Ada yang berpenampilan rapi tentulah membuat lega kerna ini cerminan anak negri yang intelek dan berpendidikan yang bekerja di negri orang. Siapapun yang melihat mereka atau mendengar percakapan mereka pastilah melegakan dan membanggakan. Namun teman, jumlah mereka tak banyak disini. Nun di sebelah sana kulihat lebih banyak yang berpenampilan lusuh tak terurus. Nun di sebelah sana kulihat ada yang bermata kosong hampa, ada yang memaksa gaya dengan pakaian sok eropa dibalut percakapan vulgar membuat shock pendengarnya. Ada yang kekar bak algojo membentak barisan perempuan tak berdaya. Beberapa sosok kekar bermata lebar ada juga yang mengkernyit sipit menjaga barisan perempuan perempuan muda itu. Warna-warna baju merah kuning hijau atau biru, aku makin shock teringat perjuangan para politi partai negri nuswantara. Warna warni partainya dipakai oleh para gadis muda ini, gadis muda yang bekerja malam di negri orang. Gadis muda berpendidikan pas-pasan nekad berlayar atau terbang untuk meraup lembaran dolar. Wajah wajah yang lelah bekerja semalaman, mata mata kosong tak melihat masa depan. Aku tersentak tiba-tiba disampingku berdiri salah satu sosok perempuan muda itu.
“Ada apa dik, kog meninggalkan barisan” tanyaku
“Mau cari kain buat penutup sejenak, agar bisa difoto untuk perpanjangan surat ijin bu” jawabnya
Aku trenyuh melihat lebih dekat tampilannya, baju berbelah dada rendah sehingga menampilkan belahan gunung ranum. Lengan minim dan paha nyaris tampil semuanya. Gadis malam yang nyaris tak punya pilihan, jika perempuan muda yang dihalalkan dengan nikah merasakan indahnya cinta dan nikmatnya seksual dalam pernikahan. Gadis malam nyaris tak punya hak untuk enggan, sekalipun dyspareunia[1] atau bahkan depresi[2] menyerangnya. Nurut dan manut dengan agen atau germo penampungnya
Jilbab berbunga masih aman menutup auratku. Pashmina merah yang kulilit  di leher sebagai asesoris penampilan aku ulurkan buatnya.  
“Pakailah dan tutupkan di pahamu dik”
Gadis muda itu senyum mengangguk dan mengucapkan trimakasih
“Kanalkan nama saya Munah”
Senyum gadis itu tulus , matanya sedikit berbinar. Aku cuma bisa berdoa agar Allah swt memberikan hidayah dan taufiqNya pada Munah. Ada sepuluh Munah, ada seratus Munah, ada seribu Munah  yang terjebak, yang sengaja, yang terpaksa atau apapun alasannya menjual jengkal demi jengkal tubuhnya untuk menghasilkan devisa. Astaghfirullahaladziim
Sepang, 06092017


           






[1] Dyspareunia adalah nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan seksual. Kondisi ini dapat menyerang pria, namun lebih sering ditemukan pada wanita. Wanita yang memiliki dyspareunia mungkin mengalami rasa sakit superfisial dalam vagina, klitoris, atau labia (bibir vagina), atau rasa sakit yang lebih melumpuhkan saat penetrasi semakin dalam atau dorongan penis.

[2] Gangguan mood yang terjadi ketika perasaan yang diasosiasikan dengan kesedihan dan keputusasaan terus terjadi berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama hingga mengganggu pola pikir sehat.

Senin, 02 Oktober 2017

OKTOBER SWEET ORANGES ( Sebuah Psycho-Story oleh Nur Janah AlSharafi) ---Cerpen


Kepada Ra
Selalu saja aku merasakan manisnya jeruk dari apapun yang kau sajikan. Meski baki cinta yang kusajikan kau isi dengan ‘garam laut yang luar biasa asin’, begitu sampai di ‘lidah hidupku’ tetap saja terasa kesegaran sebuah jeruk manis. Lain waktu sengaja kau buatkan aku segelas ‘juice pare’ pengalaman yang teramat sangat pahit mungkin ?  Sekali lagi di ‘lidah perjalananku’ akan didaur ulang menjadi kenikmatan gurihnya ulas demi ulas sang jeruk manis.
Kau tentu akan bertanya mengapa ? Atau mungkin kau telah bosan melahap senyum di bibirku yang sebenarnya tulus ikhlas, meski sering kau katakan senyum plastik. Jiwaku telah kutempa di panasnya bara, lewat sederet noktah hitam dan putihnya perjalanan. Setiap noktah yang kulewati selalu saja memberikanku pelajaran berharga, sehingga aku diberikan anugerah kelenturan jiwa seperti ini.
Pertama kali aku bertemu denganmu di sekolah ketika kita sama sama SMA. Aku paham siapapun akan lumer hatinya mendengar renyahnya bincangmu dan meronanya pipimu, dan itu juga perasaanku. Perasaan laki-laki normal yang tentu tak kuasa untuk tidak jatuh di depan angkuhnya kecantikanmu.
Sederhana saja Ra, aku kemasi cintaku dalam sebuah buku kosong kehidupan. Aku tulis dengan tinta emas yang aku dapatkan dengan menggandaikan mimpiku sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluargaku. Jika kau kemudian menerima proposal lamaranku , mungkin itu karena Allah swt memang menakdirkan bahwa kita berjodoh. Kata orang aku ganteng Ra, kata orang aku ini pria yang pintar dan punya segudang energi untuk merancang dan meraih kesuksesan hidup duniawi.  Hal itu juga kudapat pada dirimu Ra. Kamu adalah sosok perempuan pintar, cantik, ambisius dan punya visi untuk maju. Itu yang dulu kitangkap dari sosokmu. Terus terang Ra pada saat aku memutuskan untuk meminangmu, aku telah melaluinya dengan melewati sebuah pertimbangan yang matang dan panjang. Beberapa kali aku shalat istikharah mohon petunjuk sang Khaliq,  aku tak tahu pasti apakah istikharahku berhasil atau tidak namun aku tetap pada keputusanku. Aku juga telah bertanya kesana dan kemari tentang sosokmu yang sebenarnya. Dan yang paling penting aku juga kemudian memutuskan cintaku pada Za, sosok perempuan sholehah yang ceria dan menyejukkan hati meski dengan kecerdasan biasa saja. Apapun dan bagaimanapun toh kemudian aku memilihmu sebagai istri, pendamping dan belahan jiwaku.
Ra, akhirnya kita lalui hari hari bersama setelah kita resmi menjadi suami istri. Aku bangga Ra, kata orang kamu cantik dan aku ganteng atau entah apalagi pujian para tetamu undangan kepada kita. Aku merasakan tatapanmu indah, tatapan yang aku belum pernah melihat sebelumnya. Terlalu indah, kelap kelip dan berwarna warni bagiku. Sehingga dari tatapanmu saja, energi cintaku berlari kencang serasa tak sabar menjemputmu untuk hampir dan menyatu dalam jiwa ragaku.
Ra, awal kehidupan perkawinan kita aku rasakan seperti dua anak kecil yang menjadi teman bermain.  Kita bagaikan anak kecil yang lompat kesana kemari sambil bicara, nyanyi, tertawa dan ceria. Kita bahkan berani membentang harapan dan  cita-cita setinggi bintang dan bulan. Bagi kita saat itu rasanya tak ada yang tak bisa kita lakukan sekalipun kita harus menyelam sangat dalam atau mendaki sangat tinggi untuk menggapainya. Ra, jika orang bertanya apakah aku bahagia ? dengan bangga dan gagah aku jawab dengan teriak lantang bahwa aku bahagia dan mmang bahagia.
Ra, anak kecil yang lompat ceria kesana kemari ternyata bisa lelah juga. Aku mulai rasakan tahun tahun sesudahnya kau mulai berubah. Bagiku secara fisik kau tetap cantik Ra, bahkan kini kau lebih anggun dan pandai berdandan. Jika dulu wajahmu yang ayu cukup kau lumuri dengan bedak merek murahan yang terjangkau dengan kantong kita, kini kau rasanya tak percaya diri jika belum membubuhkan kosmetik mahal merek nomor satu. Tak apa Ra, kau punya uang aku juga punya uang, beli saja sekeranjang kosmetik buat kecantikanmu. Yang aku rasakan berubah adalah jati dirimu Ra. Kau tak lagi  Ra ku yang dulu, kau tak lagi jiwa putih berselempangkan pelangi ceria. Kau tak lagi symphoni indah yang merdu penuh canda dan tawa. Kau tak lagi harumnya aroma ketumbar dan cengkeh dari dapur rumah kita. Kau kini orang asing Ra, aku makin tak kenal siapa engkau sebenarnya.
Ra, perkenalanmu dengan Ji membuat segalanya berubah. Kau profesional Ra di ilmumu di bidangmu, tapi kau paksakan dirimu jadi bintang layar putih. Jika dulu kau bicara dengan anggun dan tulus, kini kau bicara berkibar dan berbinar dengan bungkus topeng kepalsuan. Kau kemas setiap episode tampilmu di layar putih untuk sebuah pajak gadai kemunafikan. Aku mual Ra, Aku mules. Ijinkan aku ke toilet dulu untuk lemparkan dan setorkan kotoran perut dan lambungku karena membicarakan dirimu.
Ra, aku masih mau tegar sebagai laki-laki sehat yang normal. Aku masih ingin ekspresikan emosi positif atau negatifku secara wajar. Aku tak mau seperti penderita sindrom Moebius[1].  Aku marah Ra, apalagi kau begitu dekat dengan Ji. Ji adalah laki-laki sepertiku, ia juga punya nafsu dan aku paham itu. Kau bilang aku jadikan kau komoditi, itu salah Ra. Aku hanya ingin kau beraktualisasi diri, aku bahkan tak pernah menuntutmu untuk bekerja. Sebagai istri, kau kuberi kebebasan untuk memilih jalanmu. Namun kau benar-benar nekat Ra, kau lari ke pelukan Ji. Kau cabik-cabik kanvas lukisan cinta kita yang telah kita poles bersama dengan aneka cat warna kehidupan.  Dalam kanvas cinta kita telah hadir beberapa bocah cilik  polos yang tak berdaya.  Bocah bocah itu adalah anak kita Ra, buah cinta kita. Kau campakkan jiwa kasih sayangmu padaku dan pada anak  anak kita, kau ganti dengan ekspresi sadis psikopat yang tak pernah kusangka. Cantikmu tak ubahnya seperti cantiknya Elizabeth Bathory[2].  Kau tinggalkan aku dan anak-anak Ra, kau ceraikan aku. Aku kalah Ra, aku pecundang, hatiku patah Ra hancur berkeping seperti arang.
Ra, aku cuma bisa saksikan sepak terjangmu di layar putih. Kau poles tebal wajahmu, kau patut dan balut tubuhmu dengan warna warni. Kau nikahi Ji diam-diam, tak banyak yang tahu . Kau jual cerita duka palsumu pada para sahabatmu, mereka trenyuh mereka ikut sedu sedanmu. Mereka simpati padamu Ra. Kau lengkapi supermarketmu dengan wajah-wajah orang susah agar banyak orang makin menyanjung dirimu bahwa kau hebat, kau sosial, kau peduli. Ra, nikmati saja duniamu. Aku doakan Ji tak jadi korbanmu berikutnya. Larilah yang kencang Ra, rauplah kertas kertas merah pundi pundimu. Gapailah deru mesin mewah impianmu, dakilah istana indah citamu. Aku laki-laki Ra, anak anakku juga akan kusiapkan jadi manusia sejati. Manusia yang jujur dan setia serta taqwa pada Illahi , aamiin (Batoh, 03102017)





                                                                                                                



[1] Moebius Syndrome adalah sebuah kondisi kelumpuhan wajah yang tragis dimana penderita tak dapat lagi tersenyum atau sebaliknya. Wajah mereka datar tanpa ekspresi
[2] Countess Elizabeth Baathory de Esced adalah bangsawan Hungaria yang hidup di abad 16. Ia memiliki wajah yang cantik namun dibalik itu ia terkenal sadis, gemar memukul, membakar, menyiksa bahkan memutilasi

Senin, 24 Juli 2017

TOPENG SANG RAJA (Sebuah Cerpen oleh Nur Janah AlSharafi)

I
            Raja lalim di negri seribu derita sangatlah apik dan elok akting dan panggungnya. Bak aktor kawakan lulusan akademi seni nomer wahid , sang raja senantiasa mematut senyum dan polah tingkahnya agar elok dan adem dipandang mata. Memimpin kerajaan Merdeka dengan penduduk beribu laksa, bukanlah sesuatu yang mudah. Ini disadari oleh sang raja, oleh karena itu Raja Lalim mencari dukungan ke berbagai kerajaan di antero bumi agar kekuasaannya sukses dan langgeng.
            Raja lupa jika bukan hanya dirinya yang memakai topeng[1], raja raja kerajaan lainnya juga bertopeng bahkan ada yang topengnya lebih lentur dan cantik dibandingkan topeng sang raja Lalim. Bicara soal topeng  bagi sang raja cukuplah mudah. Wajah raja yang naif, ‘tulus’, sederhana, jelata amatlah pas dengan wajah yang ingin dijual dan ditampilkan tentang sosok raja baru. Rakyat negri Merdeka terbuai dengan pariwara ini, beberapa kandidat raja baru tersungkur. Beberapa kandidat raja baru terlalu lugas dan terus terang, sehingga terkesan kurang cantik tampilannya. Raja lalim beda, ia tampil cantik, apa adanya, ‘tulus’ dan mewakili potret para jelata kerajaan. ‘Suara jelata adalah suara Tuhan’ yang dalam bahasa aslinya adalah ‘Vox Populi Vox Dei’ menjadi nyata....Raja Lalim menang telak, negri Merdeka bahagia....jelata mengukir asanya di pundak raja.
II
            Gegap gempita seantero kerajaan Merdeka, puja puji dan sanjungan hampir bergema di seluruh sudut negri. Doa-doa menggema dari mulut mulut suci bahwa kerajaan telah terberkahi dengan hadirnya raja baru . Sang raja pun dengan wajah lugunya memulai peran baru, peran yang sama sekali tak pernah terpikir olehnya.
“Bagaimana sang raja dengan modal yang telah kami kucurkan untuk mendukung paduka hingga duduk di singgasana ini ?” ungkap perwakilan negri Bakmoy
“Bagaimana sang raja dengan modal yang telah kami gelontorkan untuk mempublikasikan paduka lewat layar cetak dan layar kaca?” celetuk perwakilan negri Siomay
“ Bagaimana paduka dengan modal yang telah kami keluarkan untuk menyewa para pakar propaganda ?” timpa perwakilan negri Fuyunghay
Raja Lalim tercekat, raja Lalim terperangah, raja Lalim shock ketika didera beribu kalimat di kuping kiri dan kanannya.
“Itulah kanda, tak ada yang gratis di dunia ini “ tegas sang permaisuri
“Itulah ananda, tak ada’“makan siang’ cuma-cuma”  timpa ibu suri
“ Lalu bagaimana kakanda wahai adinda”
“Lalu bagaimana ananda wahai ibunda”
Dalam kondisi seperti itu, seisi negri akan malu melihat junjungannya yang wauw dan flamboyan itu tiba-tiba terpuruk  seperti anak kecil kehilangan botol susunya. Ekspresi wajah lugu tanpa dosa itu tiba-tiba meringkuk memelas memohon belas kasih orang-orang terdekatnya.
III
Raja Lalim duduk di singgasananya. Sebuah kursi yang ditempah khusus dari kayu ebony, diberi sentuhan permata mutiara yang dihasilkan di senatero negri. Alas singgasana  berupa kasur empuk yang khusus dirancang dari kapas terbaik yang pernah ada. Jelata  di luar sana mulai kasak-kusuk oleh kinerja sang Raja. Rasa kecewa mulai menghampiri hati sanubari jelata. Ketika ekonomi jelata makin tak tertata, ketika pendidikan jelata mahal membumbung luar biasa, ketika utang negri berlaksa-laksa, ketika kejahatan merebak dimana-mana, ketika moral dan etika makin jarang dan langka, ketika topeng-topeng cantik laris dimana-mana, ketika itulah prestasi jeblok sang raja makin terbuka.
Raja makin sibuk berkaca, memeriksa kembali apakah topengnya masih cukup indah dipandang mata.
“Dinda, kau pakai saja baju dari kain  belacu supaya sama dengan jelata”
“Dinda, kau pakai saja tas dari kulit kayu supaya tampil bersahaja”
“Dinda, singkirkan lispstick dan bedak importmu, ganti saja dengan gincu dan bedak bengkoang ala jelata”
Sang permaisuri bersungut-sungut ngambek  dengan tuntutan suami tercinta. Permaisuri perlu belajar lagi cara berperan dan berakting seperti sang raja, agar selamat di mata jelata meskipun prestasi jeblok namun tak boleh kentara.
“Baginda raja, kita harus mengedit ulang strategi perjuangan kita. Kerajaan Bakmoy, Siomay dan Fuyunghay sudah siap menggelontorkan sejumlah dana untuk mendukung megaproyek paduka raja” ungkap sang patih istana
“Sumprit, aku masih bisa nangis lho pak Patih. Melihat jelata sudah makin susah beli beras, melihat jelata makin susah beli garam, melihat jelata makin sudah masuk sekolah, belum lagi sinetron kejahatan buatan atau kejahatan beneran marak dimana-mana” ungkap paduka raja
“Ah ...baginda jangan lebay lah, jangan sentimentil. Ini proyek jangka panjang lho. Menyangkut ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Kesuksesan proyek ini sangat tergantung dari topeng baginda, jadi mohon lah baginda kesampingkan dulu emosi itu. Realistis saja lah baginda , sukses nya kan anda juga salah satu penikmatnya” tegas sang patih istana.
Cepat-cepat baginda membasuh muka dan setel kembali topengnya, dengan topeng wibawa tanpa rasa.
IV
Jelata makin berjatuhan korban, kelaparan dan bunuh diri menjadi menu berita koran negri. Kelaparan karena tak bisa beli makanan, bunuh diri bukan karena putus cinta tapi bunuh diri karena putus harapan. Ulama berdakwah agar jelata sadar dan insaf bahwa dunia hanya singgahan sesaat semata. Sebagian jelata sadar dapat taufiq dan hidayah Allah azzawajalla, sebagian lagi tak sempat tersentuh dakwah lembut menyejuk jiwa.
Baginda raja makin nanar dan curiga, siapapun dia yang menentang akan disikat dan disikutnya. Penjara penuh sesak oleh tahanan yang tak jelas pasalnya, sementara orang yang sudah jelas dan berdosa makin bebas berpesta pora.
“Akan datang jaman dimana raja Cuma jadi boneka, jelata tak jelas lagi teladan cerminnya” begitu ceramah para ulama
“Akan datang jaman kejahatan, kebejatan moral dipuji puja. Sementara kebaikan dan ketulusan dicerca dan dihina “ sambungnya
“Akan datang jaman, bahwa jelata jadi tersangka. Sehingga negri yang gagal adalah karena jelata bukan karena raja” sambungnya
“ Akan datang jaman jelata harus berpuasa sepanjang masa, karena harga barang makin tinggi membumbung di angkasa” tegasnya
Tiba-tiba jelata kerajaan makin mual dengan kondisi ini. Perut jelata melilit menatap gambar-gambar raja Lalim di koran-koran negri. Seramnya senyum dan seringai raja ..................racun yang dikemas dalam botol madu ternyata lebih pahit dan menyeramkan. Sssssttttt..................mana topeng, mana topeng, awas ketahuan aslinya.  Topeng kewarasan sang raja telah menutup keasliannya, sebuah topeng tanpa jiwa, topeng tanpa rasa . Nauzubillah min zalik
Batoh, 26072017







[1] Topeng kewarasan atau The Mask of Sanity, dari buku karya Harvey Cleckley yang ditulis di tahun  1941, tentang kecenderungan sosok manusia psikopat yang bertopeng cantik  dan indah meskipun perilaku sebenarnya berkebalikan dengan itu