Kepada
Ra
Selalu
saja aku merasakan manisnya jeruk dari apapun yang kau sajikan. Meski baki
cinta yang kusajikan kau isi dengan ‘garam laut yang luar biasa asin’, begitu
sampai di ‘lidah hidupku’ tetap saja terasa kesegaran sebuah jeruk manis. Lain
waktu sengaja kau buatkan aku segelas ‘juice pare’ pengalaman yang teramat
sangat pahit mungkin ? Sekali lagi di
‘lidah perjalananku’ akan didaur ulang menjadi kenikmatan gurihnya ulas demi
ulas sang jeruk manis.
Kau
tentu akan bertanya mengapa ? Atau mungkin kau telah bosan melahap senyum di
bibirku yang sebenarnya tulus ikhlas, meski sering kau katakan senyum plastik.
Jiwaku telah kutempa di panasnya bara, lewat sederet noktah hitam dan putihnya
perjalanan. Setiap noktah yang kulewati selalu saja memberikanku pelajaran
berharga, sehingga aku diberikan anugerah kelenturan jiwa seperti ini.
Pertama
kali aku bertemu denganmu di sekolah ketika kita sama sama SMA. Aku paham
siapapun akan lumer hatinya mendengar renyahnya bincangmu dan meronanya pipimu,
dan itu juga perasaanku. Perasaan laki-laki normal yang tentu tak kuasa untuk
tidak jatuh di depan angkuhnya kecantikanmu.
Sederhana
saja Ra, aku kemasi cintaku dalam sebuah buku kosong kehidupan. Aku tulis
dengan tinta emas yang aku dapatkan dengan menggandaikan mimpiku sebagai anak
laki-laki satu-satunya dalam keluargaku. Jika kau kemudian menerima proposal
lamaranku , mungkin itu karena Allah swt memang menakdirkan bahwa kita
berjodoh. Kata orang aku ganteng Ra, kata orang aku ini pria yang pintar dan
punya segudang energi untuk merancang dan meraih kesuksesan hidup duniawi. Hal itu juga kudapat pada dirimu Ra. Kamu
adalah sosok perempuan pintar, cantik, ambisius dan punya visi untuk maju. Itu yang
dulu kitangkap dari sosokmu. Terus terang Ra pada saat aku memutuskan untuk
meminangmu, aku telah melaluinya dengan melewati sebuah pertimbangan yang
matang dan panjang. Beberapa kali aku shalat istikharah mohon petunjuk sang
Khaliq, aku tak tahu pasti apakah istikharahku
berhasil atau tidak namun aku tetap pada keputusanku. Aku juga telah bertanya
kesana dan kemari tentang sosokmu yang sebenarnya. Dan yang paling penting aku
juga kemudian memutuskan cintaku pada Za, sosok perempuan sholehah yang ceria
dan menyejukkan hati meski dengan kecerdasan biasa saja. Apapun dan
bagaimanapun toh kemudian aku memilihmu sebagai istri, pendamping dan belahan
jiwaku.
Ra,
akhirnya kita lalui hari hari bersama setelah kita resmi menjadi suami istri.
Aku bangga Ra, kata orang kamu cantik dan aku ganteng atau entah apalagi pujian
para tetamu undangan kepada kita. Aku merasakan tatapanmu indah, tatapan yang
aku belum pernah melihat sebelumnya. Terlalu indah, kelap kelip dan berwarna
warni bagiku. Sehingga dari tatapanmu saja, energi cintaku berlari kencang
serasa tak sabar menjemputmu untuk hampir dan menyatu dalam jiwa ragaku.
Ra,
awal kehidupan perkawinan kita aku rasakan seperti dua anak kecil yang menjadi
teman bermain. Kita bagaikan anak kecil
yang lompat kesana kemari sambil bicara, nyanyi, tertawa dan ceria. Kita bahkan
berani membentang harapan dan cita-cita
setinggi bintang dan bulan. Bagi kita saat itu rasanya tak ada yang tak bisa
kita lakukan sekalipun kita harus menyelam sangat dalam atau mendaki sangat
tinggi untuk menggapainya. Ra, jika orang bertanya apakah aku bahagia ? dengan
bangga dan gagah aku jawab dengan teriak lantang bahwa aku bahagia dan mmang
bahagia.
Ra,
anak kecil yang lompat ceria kesana kemari ternyata bisa lelah juga. Aku mulai
rasakan tahun tahun sesudahnya kau mulai berubah. Bagiku secara fisik kau tetap
cantik Ra, bahkan kini kau lebih anggun dan pandai berdandan. Jika dulu wajahmu
yang ayu cukup kau lumuri dengan bedak merek murahan yang terjangkau dengan
kantong kita, kini kau rasanya tak percaya diri jika belum membubuhkan kosmetik
mahal merek nomor satu. Tak apa Ra, kau punya uang aku juga punya uang, beli
saja sekeranjang kosmetik buat kecantikanmu. Yang aku rasakan berubah adalah
jati dirimu Ra. Kau tak lagi Ra ku yang
dulu, kau tak lagi jiwa putih berselempangkan pelangi ceria. Kau tak lagi
symphoni indah yang merdu penuh canda dan tawa. Kau tak lagi harumnya aroma
ketumbar dan cengkeh dari dapur rumah kita. Kau kini orang asing Ra, aku makin
tak kenal siapa engkau sebenarnya.
Ra,
perkenalanmu dengan Ji membuat segalanya berubah. Kau profesional Ra di ilmumu
di bidangmu, tapi kau paksakan dirimu jadi bintang layar putih. Jika dulu kau
bicara dengan anggun dan tulus, kini kau bicara berkibar dan berbinar dengan
bungkus topeng kepalsuan. Kau kemas setiap episode tampilmu di layar putih
untuk sebuah pajak gadai kemunafikan. Aku mual Ra, Aku mules. Ijinkan aku ke
toilet dulu untuk lemparkan dan setorkan kotoran perut dan lambungku karena
membicarakan dirimu.
Ra,
aku masih mau tegar sebagai laki-laki sehat yang normal. Aku masih ingin
ekspresikan emosi positif atau negatifku secara wajar. Aku tak mau seperti
penderita sindrom Moebius[1]. Aku marah Ra, apalagi kau begitu dekat dengan
Ji. Ji adalah laki-laki sepertiku, ia juga punya nafsu dan aku paham itu. Kau
bilang aku jadikan kau komoditi, itu salah Ra. Aku hanya ingin kau
beraktualisasi diri, aku bahkan tak pernah menuntutmu untuk bekerja. Sebagai
istri, kau kuberi kebebasan untuk memilih jalanmu. Namun kau benar-benar nekat
Ra, kau lari ke pelukan Ji. Kau cabik-cabik kanvas lukisan cinta kita yang
telah kita poles bersama dengan aneka cat warna kehidupan. Dalam kanvas cinta kita telah hadir beberapa
bocah cilik polos yang tak berdaya. Bocah bocah itu adalah anak kita Ra, buah
cinta kita. Kau campakkan jiwa kasih sayangmu padaku dan pada anak anak kita, kau ganti dengan ekspresi sadis
psikopat yang tak pernah kusangka. Cantikmu tak ubahnya seperti cantiknya Elizabeth Bathory[2]. Kau tinggalkan aku dan anak-anak Ra, kau
ceraikan aku. Aku kalah Ra, aku pecundang, hatiku patah Ra hancur berkeping
seperti arang.
Ra,
aku cuma bisa saksikan sepak terjangmu di layar putih. Kau poles tebal wajahmu,
kau patut dan balut tubuhmu dengan warna warni. Kau nikahi Ji diam-diam, tak
banyak yang tahu . Kau jual cerita duka palsumu pada para sahabatmu, mereka
trenyuh mereka ikut sedu sedanmu. Mereka simpati padamu Ra. Kau lengkapi
supermarketmu dengan wajah-wajah orang susah agar banyak orang makin menyanjung
dirimu bahwa kau hebat, kau sosial, kau peduli. Ra, nikmati saja duniamu. Aku
doakan Ji tak jadi korbanmu berikutnya. Larilah yang kencang Ra, rauplah kertas
kertas merah pundi pundimu. Gapailah deru mesin mewah impianmu, dakilah istana
indah citamu. Aku laki-laki Ra, anak anakku juga akan kusiapkan jadi manusia
sejati. Manusia yang jujur dan setia serta taqwa pada Illahi , aamiin (Batoh,
03102017)
[1] Moebius Syndrome adalah sebuah kondisi
kelumpuhan wajah yang tragis dimana penderita tak dapat lagi tersenyum atau
sebaliknya. Wajah mereka datar tanpa ekspresi
[2] Countess Elizabeth Baathory de Esced adalah
bangsawan Hungaria yang hidup di abad 16. Ia memiliki wajah yang cantik namun
dibalik itu ia terkenal sadis, gemar memukul, membakar, menyiksa bahkan
memutilasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar