salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Senin, 15 Februari 2010

REMAJA KITA

SATU
Teka-teki sang remaja dalam keluarga tentu ada sejuta tanda Tanya yang perlu dijawab. Tanda Tanya itu kita mulai dengan bertanya pada diri anda, saya, kita atau siapapun pernah, sedang, akan mengalami masa remaja. Masa yang justru dianggap sebagai “diadakan” , karena beberapa suku pedalaman di dunia ini justru tak pernah tahu tentang masa remaja ini. Hal itu karena beberapa suku pedalaman tersebut tidak mengenal tradisi penundaan sosial. Remaja ada di tengah keluarga, tentu saja memerlukan suatu rangkaian harmoni interaksi sehingga kebersamaan dalam keluarga tetap terjaga.
Csikzentimihalyi & Larson (2004) mengemukakan bahwa perkembangan manusia sebenarnya merupakan proses restrukturisasi kesadaran. Puncak perkembangan jiwa seseorang ditandai dengan proses perubahan dari entropy ke kondisi negentropy. Kondisi entropy merupakan keadaan dimana kondisi kesadaran masih belum terususun rapi (acak-acakan) dan belum saling mengisi. Adapun kondisi negentropy merupakan kondisi dimana kesadaran telah tersusun dengan baik, utuh,memiliki tujuan yang jelas, memiliki tanggung jawab dan semangat kerja yang tinggi.
Masa remaja dipandang sebagai masa gelombang dan badai (Storm & Stress) yang dideklarasikan dengan menghadirkan sejumlah problema yang kerap dialami oleh remaja. Problema tentang perkembangan fisik & seksual, perkembangan konsep diri & kepribadiannya maupun perkembangan sosialnya. Sebagian pakar menyitir tentang status interim yang sebagian merupakan status pemberian (ascribed) dan sebagian merupakan status pencapaian (achieved)
Adapun keluarga dimaknakan lebih kepada sebuah komitmen antara dua orang berlawanan jenis untuk membentuk sebuah ikatan suci yang sah serta bersama-sama mengarungi kehidupan. Keluarga terbentuk melalui sebuah pernikahan dengan tujuan antara lain mencari ridha Allah Swt (QS Al An’am : 162) , Mawaddah warrahmah ( QS Ar Ruum: 21) , menjaga diri dari dosa dan mengikuti sunnah rasul (Hadist), melanjutkan keturunan (An Nisaa: 1), silaturrahmi (QS Al Hujurat : 13) , memperoleh rizqi (QS An Nahlu: 72).

DUA
Teka-teki tentang perkembangan seksual remaja ditandai dengan awalan terjadinya masa pubertas. Pubertas atau pemasakan seksual sendiri berlangsung antara masa kanak-kanak akhir dengan masa remaja awal. Pubertas ditandai dengan menarche (menstruasi) pada remaja putri dan pollution (mimpi basah) pada remaja putra. Perkembangan seksual ini apabila diawali dengan persiapan psikologis yang cukup dan diikuti dengan bimbingan positif dari orang tua, maka akan dilalui dengan baik. Namun jika pemasakan seksual ini tidak dibarengi dengan kematangan psikologis akan berakibat fatal.
Libido remaja yang meletup-letup apabila dimanajemeni dengan baik akan disalurkan menjadi sebuah energi positif untuk berkembang. Seperti berolah raga, berkesenian, berorganisasi, beraktivitas keagamaan serta aktivitas positif dan konstruktif lainnya. Namun apabila libido seksual yang meletup-letup ini distimulasi dengan SEM (sexual explicit material) seperti CD film biru, buku stensilan, lagu cinta yang cengeng serta tampilan pornografi lainnya dibumbui dengan peer-group yang mendukung, maka libido tersebut akan semakin liar (Kasus perek, remaja putra tingkat SMA yang menjadi pelanggan PSK, bintang flm biru, kasus hamil pra nikah dll)

TIGA
Teka-teki berikut tentang perkembangan sosialnya. Secara sosial, seorang remaja mulai melangkah ke dunia di luar rumah. Affective Others yang dulunya seputar rumah kini mulai meluas pada orang-orang di luar rumah khususnya teman sebaya. Keberadaan teman sebaya (peer group) amatlah kuat dalam diri remaja, sehingga tak jarang remaja mengambil keputusan justru bukan karena pertimbangan diri pribadi namun lebih pada pertimbangan kelompoknya.
Horrock & Benimoff (dalam Hurlock, 2001) mengemukakan pentingnya peran kelompok sebaya ini sebagai panggung dunia nyata remaja. Disinilah remaja mendapatkan suatu nilai-nilai baru yang dirumuskan oleh kelompoknya. Bahkan disini pula remaja menciptakan kultur tersendiri (kultur remaja) baik dari cara berpakaian, bahasa, hobi, jenis bacaan maupun aktivitas lainnya.
Kelompok sebaya yang positif dan mendukung akan merupakan modal bagi remaja untuk membangun konsep diri . kemampuan resiliensi serta dirinya secara utuh. Namun kelompok sebaya yang negative akan menjerumuskan remaja ke lembah kehancuran (Berbagai kasus penyimpangan seksual, narkoba & kriminalitas justru diawali dengan pengaruh kelompok sebaya).

EMPAT
Teka-teki berikut : Emosi yang meletup-letup seolah melekat pada diri remaja, padahal emosi yang labil tak selalu harus ada pada dunia remaja. Perkembangan emosi remaja ditandai dengan adanya suatu garis perubahan dari emosi entropy menuju negentropy, dari lamban emosi menjadi cerdas emosi. Ketrampilan dan kecerdasan untuk menggali siapa dirinya dengan segenap kelebihan dan kekurangannya menjadi awal sebuah perkembangan kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi yang baik bukan hanya tanggung jawab amygdala di otak namun kecerdasan emosi remaja amat erat kaitannya dengan dukungan keluarga, teman sebaya, media yang dikonsumsi , makanan dan faktor lainnya. Kecerdasan emosi yang baik akan merupakan bekal dan modal bagi remaja untuk mengembangkan kecerdasan majemuknya secara positif (termasuk kecerdasan spiritual) . Namun demikian realita menunjukkan bahwa tak jarang kasus kriminalitas yang dilakukan remaja ternyata sebagian ada yang dipicu oleh musik, acara TV, dorongan teman sebaya dan sebagainya. Oleh karena tantangan eksternal begitu kuat, perlu dipikirkan penguatan benteng internal remaja antara lain melalui keluarga.
LIMA
Remaja berada di tengah keluarganya yang menuntut keharmonisan interaksi antar anggotanya. Suami dan istri, Orang tua dan anak (termasuk remaja) , Anggota keluarga inti dengan anggota keluarga lainnya (nenek, paman, bibi, pramuwisma dan sebagainya). Interaksi harmonis didasari dengan niat yang tulus, cinta kasih,berpikir dan berperasaan positif sehingga mampu menepiskan berbagai riak gelombang konflik, pikiran dan perasaan negatif maupun berbagai dinamika yang ada didalamnya.
Eric Berne mengemukakan teori tentang Analisis Transaksional dimana manusia memiliki 3 status ego yaitu :
1. Child Ego
2. Adult Ego
3. Parent Ego
Hubungan dan komunikasi yang sehat menurut Berne dibangun dengan memfungsikan ketiga status ego tersebut secara tepat. Oleh karena itu komunikasi antara orang tua dengan remaja hendaknya dapat dibangun dan diujudkan hubungan dan komunikasi yang sehat berdasar ketiga status ego tersebut.
ENAM
Teka-teki tentang remaja dan cinta = seolah 2 kata yang tak terpisahkan. Cinta seolah merupakan sesuatu yang tabu padahal dalam Islam pun cinta menjadi bahasan yang menarik dan penting bahkan Islam juga dapat dikatakan sebagai Dinnul Mawaddah wa Mahabbah. Cinta sejati antara laki-laki dan perempuan idealnya memiliki 3 ciri utama sebuah cinta romantis :
1. Attachment, adanya keinginan untuk selalu bersama
2. Caring, adanya kepedulian dan keinginan untuk menyenangkan hati pasangannya
3. Intimacy, adanya keakraban dan keintiman dengan pasangan
Namun persoalannya adalah bahwa cinta romantis pada remaja kadang terpeleset dalam sisi gelap cinta sehingga layu dan luntur dan timbul riak-riak. Namun cinta romantis (Romantic Love) dalam perkawinan dalam banyak akan tumbuh dan berkembang menjadi sebuah Conjugal Love yang ditandai dengan saling percaya, rasa hormat, saling menghargai, saling memiliki, setia dan kesediaan berkorban untuk pasangannya. Conjugal Love ini biasanya akan lebih langgeng dan bertahan karena telah mampu mendaur ulang segala bentuk perasaan negatif seperti benci, cemburu, curiga, kecewa dan sebagainya menjadi perasaan positif yang lebih konstruktif (cinta, percaya, ikhlas dan sebagainya).

TUJUH
Pemahaman terhadap remaja menjadi sebuah agenda penting dalam suatu keluarga. Bagaimana tidak ??!! remaja membutuhkan segenap perhatian fisik maupun psikologis dari kedua orang tuanya agar amanah Allah swt ini benar-benar dapat tumbuh kembang secara optimal. Meskipun dewasa ini banyak faktor lingkungan yang berperan termasuk lingkungan sosial bahkan hingga teknologi informasi.
Setiap fase perkembangan yang dilalui tentu saja diinginkan dapat dijalani dengan sukses dan bahagia. Namun bahagia itu sendiri kadang menjadi sebuah wacana abstrak yang sulit untuk dijelaskan. Hurlock menyitir adanya beberapa faktor yang merupakan hal penting dalam membangun kebahagiaan dalam keluarga . Faktor tersebut antara lain adalah :
1. Kesehatan
2. Daya tarik fisik
3. Tingkat otonomi
4. Kesempatan interaksi di luar keluarga
5. Jenis pekerjaan/aktivitas
6. Status kerja
7. Kondisi kehidupan keluarga dan lingkungan
8. Harta
9. Keseimbangan harapan dan pencapaian
10. Sikap tehadap usia
11. Realisme konsep diri
12. Realisme konsep peran
Persoalannya adalah keluarga seringkali tidak semulus yang direncanakan. Riak gelombang dan dinamika yang terjadi menghadirkan problema yang menuntut kebijakan dalam mengantisipasinya. Persoalan ini antara lain hadir dalam hubungan antara orang tua dan anak, suami dan istri atau anggota keluarga lainnya . Persoalan tersebut antara lain adalah persoalan psikologis emosional, financial bahkan seksual hingga ke persolan antar orang tua dan anak seperti persoalan generation gap yang melahirkan perbedaan yang amat fundamental.
Setiap persoalan dapat dihadapi dengan 2 mekanisme utama yaitu :
1. Emotional Focused Coping , penyelesaian masalah yang berfokus pada emosi yang berkembangang dalam permasalahan tersebut.
2. Problem Focused Coping, penyelesaian masalah yang berfokus pada hakekat persoalan itu sendiri.
Dalam hal ini persoalan keluarga pada umumnya dituntut untuk menggunakan Problem Focused Coping agar persoalan tidak melebar.
DELAPAN
Manusia lahir ke dunia dengan tugas sebagai khalifah. Berjuta potensi manusia yang tersembunyi dalam sirkuit jaringan otak secara realita konsekuentual ternyata masih banyak belum difungsikan secara optimal. Sehingga konsekuensi tragis yang terjadi adalah sedemikian kecilnya yang teraktualisasikan . Keluarga sebagai institusi strategis memiliki peran penting dalam hal ini yaitu peran untuk menstimulasi potensi anggotanya (termasuk remaja) dalam mengambangkan kecerdasan majemuknya (IESQ – Intellectual, Emotional & Spiritual Quotient). Selain itu keluarga hendaknya juga mampu menstimulasi anggotanya mencapai 6 kebajikan yaitu :
1. Kearifan dan pengetahuan yang meliputi : keingin tahuan, cinta belajar, pertimbangan, kecerdikan, kecerdasan social, perspektif
2. Keberanian : Kepahlawanan, keuletan, integritas
3. Kemanusiaan dan Cinta : Kebaikan hati, Mencintai dan dicintai
4. Keadilan : bermasyarakat, keadilan, kepeimpinan
5. Kesederhanaan : pengendalian diri, kehati-hatian, kebersahajaan
6. Transendensi : Apresiasi terhadap keindahan, bersyukur, harapan, spiritualitas, pemaaf, rasa humor, semangat
Keenam kebajikan ini menjadi amat penting bagi remaja dan keluarganya untuk aktualisasi dalam menempuh kehidupan. Sudahkah kita jawab teka-teki tadi ??? semoga kita terus mencari jawabannya.

Minggu, 14 Februari 2010

MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSI PADA ANAK

Pendahuluan

Masa anak ibarat sehelai kain putih yang siap ditulis apa saja oleh kedua orang tua, lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, media dan sebagainya (begitu kata teori kertas putih). Anak juga ditamsilkan telah membawa sejumlah potensi yang tak dapat diganggu gugat (kata teori nativisme) . Namun teori-teori kontemporer membantah semua itu dan mengatakan bahwa anak memang memiliki sejumlah potensi yang dibawanya sejak lahir, namun ia juga peka terhadap pengalaman dan lingkungannya sehingga setiap saat anak dapat dididik, dibina, dikembangkan bahkan juga diubah.
Potensi yang ada pada diri anak meliputi potensi kognitif, pikir, rasio yang sering disimbolkan dengan keberadaan otak, potensi afektif atau rasa dan yang ketiga adalah potensi psikomotor yang lebih berorientasi pada perilaku seorang anak. Dari ketiga potensi tersebut nampaknya sudah terlalu lama kita terjebak dengan dominansi rasio, kognitif dan lucunya menjadi sempit sekali karena kita berputar-putar membicarakan inteligensi (kecerdasan intelektual) saja. Sementara potensi afektif atau rasa jarang sekali kita singgung, sehingga jangan menyalahkan siapa-siapa jika ternyata generasi kita yang lahir kemarin atau kini adalah generasi yang “mati rasa”. Generasi yang individualis , memiliki kesetiakawanan sosial yang rendah dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Emosi, Apakah itu ?
Emosi diartikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap (Oxford English Dictionary). Namun emosi juga dapat diartikan sebagai perasaan dalam intensitas yang tinggi (kekuatannya lebih dahsyat).

Para pakar psikologi banyak yang membagi emosi menjadi beberapa macam, yaitu :
1. Emosi marah dalam berbagai tingkatannya seperti beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal, berang, tersinggung, tindak kekerasan bahkan kebencian yang patologis
2. Emosi sedih dalam berbagai tingkatannya seperti pedih, sedih, muram, putus asa, kesepian bahkan depresi berat.
3. Emosi takut dalam berbagai tingkatannya seperti cemas, takut, gugup, was was, khawatir, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, phobia, panik
4. Emosi gembira dalam berbagai tingkatannya seperti puas, riang, bahagia, senanag, terhibur, kenikmatan, terpesona, mania
5. Emosi cinta dalam berbagai tingkatannya seperti akrab, kasih sayang, bakti, kasmaran, persahabatan
6. Emosi malu dalam berbagai tingkatannya seperti malu hati, kesal hati, hina, aib
Disamping yang telah disebutkan diatas ada yang menambahkan emosi lainnya seperti terkejut , jengkel dan sebagainya. Namun secara garis besar enam macam emosi diatas sudah cukup mewakili berbagai ragam emosi dalam kehidupan manusia termasuk anak-anak.

Perkembangan Emosi Pada Anak
Pada waktu sosok manusia lahir ke muka bumi telah menyandang berbagai bentuk emosi yang amat sederhana dan hampir-hampir tak terbedakan. Namun dengan bertambahnya usia emosi ini menjadi lebih komplek dan terbedakan. Ketika bayi emosi biasanya berlangsung lebih singkat, kuat disertai reaksi perilaku yang hebat terutama terhadap stimulus yang menimbulkannya. Emosi pada bayi juga amat sementara sifatnya serta cepat sekali berubah namun juga lebih mudah dibiasakan.
Pada awal masa anak, emosi diekspresikan lebih kuat . Penyebab ledakan emosi ini juga lebih komplek seperti tidak tidur siang, lelah bermain, aturan yang terlalu ketat atau faktor pikologis lain. Pada akhir masa anak, jenis situasi yang membangkitkan emosi berbeda dengan sebelumnya. Semakin luasnya interaksi sosial anak dan pengalaman
membuat situasi pembangkit emosi lebih beragam. Demikian pula ekspresi emosi anak lebih beragam, misalnya marah mungkin tidak meledak-ledak lagi namun dikemas dalam bentuk lain seperti merajuk, menggerutu , ngomel dan sebagainya. Emosi ini terus berkembang sejalan dengan bertambahnya usia seseorang, meskipun tak jarang ditemukan individu yang terfiksasi (berhenti) atau regresi (mundur) ke perkembangan sebelumnya karena tingkat kematangan individu tersebut amat terbatas.

Kecerdasan Emosi dan Komponennya
Banyak orang alergi terhadap kata emosi. Padahal menurut Aristoteles masalahnya bukan masalah emosionalitas, namun bagaimana kita menjaga keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikannya. Orang Yunani kuno sudah mengenalnya dengan kata Sophrosyne yang artinya cerdas dan hati-hati dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan kebijaksanaan yang terkendali. Adapun orang romawi kuno menyebutnya dengan kata temperantia yang artinya kendali diri, pengendalian tindakan emosional yang berlebihan. Adapun kecerdasan emosi (Goleman, 1996) diartikan sebagai kemampuan untuk memonitor, mengenali dan memahami emosi sehingga dapat digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi.
Kecerdasan emosi menentukan potensi kita untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada 5 unsur yaitu : kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi ini kemudian diterjemahkan dalam kenyataan menjadi suatu bentuk kecakapan emosi yang langsung memiliki manfaat pada kehidupan seseorang. Bagaimana emplementasi kecerdasan emosi dalam kecakan emosi adalah sebagai berikut :
1. Kecakapan pribadi (Bagaimana kita mengelola diri sendiri) , terdiri dari :
a. Kesadaran diri : mengetahui diri sendiri, kesukaan, sumber daya dan intuisi yang diujudkan dalam kesadaran emosi, penilaian diri secara utuh dan percaya diri
b. Pengaturan diri : mengelola kondisi, impuls dan sumber daya diri sendiri yang diujudkan dalam kendali diri, sifat dapat dipercaya, kewaspadaan, adaptibilitas dan inovasi
c. Motivasi : Kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan peraihan sasaran yang diujudkan dalam dorongan prestasi, komitmen, inisiatif dan sasaran kelompok



2. Kecakapan Sosial yang terdiri dari :
a. Empati yaitu kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain yang diujudkan dalam pemahaman tyerhadap orang lain, mengembangkan orang lain, memahami kebutuhan orang lain, mengatasi keragaman dan kesadaran politis
b. Ketrampilan sosial yaitu kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain yang diujudkan dalam pengaruh, komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, mengelola konflik dan kerjasama
Demikianlah beberapa komponen kecerdasan emosi yang membutuhkan kiat tersendiri untuk pengembangannya.

Mengembangkan Kecerdasan Emosi pada Anak
Walter Mischel pada tahun 1960 di TK pada kampus Stanford University melakukan studi yang dikenal dengan Marshmallow Test pada murid TK tersebut. Pada waktu itu peneliti mengatakan pada anak bahwa kalau dia ingin marshmallow sekarang maka mereka boleh mengambil 1, namun kalau mau menunggu hingga peneliti balik lagi sekitar 15 sampai 20 menit maka mereka akan memperoleh 2 bungkus marshmallow. Ternyata 1/3 anak tergoda untuk cepat mencicipi marshmallow tersebut dan ternyata setelah diamati perkembangannya menjadi anak-anak yang keras kepala, daya tahan stres rendah, peragu, mudah kecewa, mudah iri dan cemburu, menghadapi gangguan dengan cara kasar dan cenderung menjauhi hubungan sosial. Adapun 2/3 anak yang mampu menahan diri ternyata berkembang menjadi anak tegas, mampu menghadapi kekecewaan, daya tahan stres baik, pantang menyerah, dapat diandalkan dan percaya diri. Adapun skor test mereka di kemudian hari ternyata 1/3 anak mendapat skor rata-rata 524 untuk kemampuan verbal dan 528 untuk matematika. Dan 2/3 anak lainnya mendapat skor rata-rata 610 untuk verbal dan 632 untuk matematika.
Walter Mischel menggaris bawahi temuannya dengan kata-kata bahwa penundaan pemuasan yang dipaksakan kepada diri sendiri demi suatu tujuan merupakan pengaturan diri secara emosional. Dan dari temuannya pula menunjukkan kecerdasan emosi sebagai
meta ability yang menentukan seberapa baik dan seberapa buruk individu mampu memanfaatkan potensi lainnya. Sehingga dapat disimpulkan sebenarnya berfungsinya potensi lain secara efektif amat ditentukan sejauh mana individu mampu mengimplememntasikan kecerdasan emosinya.
Untuk mengembangkan kecerdasan emosi pada anak, menurut Gottman & DeClaire (1998) dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menyadari emosi anak-anak : Bagaimana agar anak mampu mengenali emosinya, mengidentifikasikannya dan peka terhadap hadirnya emosi pada orang lain. Bermain, dongeng, komunikasi, meminta anak untuk bercerita, mengekspresikan emosi merupakan beberapa cara agar anak menyadari emosinya.
2. Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar : Perhatian dan pengakuan emosi anak oleh orang tua maupun guru akan membuat anak belajar untuk empati. Demikian pula apabila orang tua maupun guru mampu menangani emosi anak secara dini akan membuat anak-anak belajar model tentang bagaimana menangani masalah dengan baik.
3. Mendengarkan dengan empati dan meneguhkan perasaan anak : Orang tua dan guru yang berperan sebagai “pendengar aktif” yang baik buat anak/muridnya akan mampu menimbulkan rasa percaya anak pada orang tua dan gurunya serta membuat anak memahami makna memperhatikan dan empati pada orang lain.
4. Menolong anak untuk memberi nama emosi dengan kata-kata : Menolong anak memberi nama emosinya ternyata mempunyai efek menentramkan perasaan anak. Selain itu anak juga dapat lebih memahami apa yang terjadi dalam dirinya.
5. Menentukan batas dan membantu anak memecahkan masalah : Menentukan batas-batas perilaku anak (mana wilayah yang boleh dan tidak boleh) akan mampu membina hubungan antara orang tua/guru dengan anak-anak menjadi hubungan yang lebih sehat. Selain itu membantu anak memecahkan masalah dengan cara bekerja sama dengannya untuk memikirkan alternatif pemecahan akan membuat anak lebih matang kemampuannya dalam memecahkan suatu masalah.




Penutup
Mengembangkan kecerdasan emosi pada anak sebenarnya merupakan titik awal para guru maupun orang tua untuk melahirkan generasi tangguh di masa yang akan datang. Milenium ketiga yang penuh tantangan akan sulit dihadapi dengan mengandalkan kecerdasan intelektual semata. Untuk itu sudah selayaknya orang tua maupun pendidik memikirkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Mengembangkan kurikulum yang bermuatan pengembangan kecerdasan emosi
2. Memasukkan kecerdasan emosi sebagai domain dalam pengembangan potensi yang perlu diperhatikan
3. Memikirkan metode mengajar yang juga berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosi
4. Memantau sejauh mana kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi anak/murid agar orang tua/guru lebih memahami anak dan pengembangan anak selanjutnya lebih terarah
Demikian makalah singkat ini semoga bermanfaat dalam membuka diskusi kita tentang pengembangan kecerdasan emosi pada anak.

Bacaan
1. Gottman, John & DeClaire, Joan . Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Edisi terjemahan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998

2. Goleman, Daniel. Emotional Intelliegence. Edisi Terjemahan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama , 1996

3. Hurlock, E.B. Developmental Psychology - A Life Span Approach. New York : Mc Graw Hill Book Company, 1980

4. Mischel, Walter et al. Predicting Adolescent Cognitive and Self Regulatory Compentencies From School Delay of Gratification. Journal of Developmental Psychology, Vol. 26, 1990.





Sebuah syair dari Khalil Gibran


Anakmu bukanlah anakmu
Mereka adalah putra putri kerinduan diri Sang Hidup
Melaluimu mereka tiba, namun bukan darimu asalnya

Meskipun mereka bersamamu, tapi mereka bukan milikmu
Berikan kasih sayangmu, tetapi jangan paksakan pikiranmu
Sebab mereka berbekal alam pikiran sendiri

Berikan rumah untuk raganya, tetapi bukan untuk jiwanya
Sebab jiwa mereka adalah penghuni masa depan
Yang tiada dapat kau gapai sekalipun dalam impian

Engkau boleh berusaha menyerupainya, tapi jangan buat dia menyerupaimu.
Sebab kehidupan tak pernah mengalir mundur
Dan hidup ini bukanlah terpancang pada hari kemarin

Engkau adalah busur
Anakmu adalah anak panah yang sedang meluncur