salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Minggu, 14 Februari 2010

MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSI PADA ANAK

Pendahuluan

Masa anak ibarat sehelai kain putih yang siap ditulis apa saja oleh kedua orang tua, lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, media dan sebagainya (begitu kata teori kertas putih). Anak juga ditamsilkan telah membawa sejumlah potensi yang tak dapat diganggu gugat (kata teori nativisme) . Namun teori-teori kontemporer membantah semua itu dan mengatakan bahwa anak memang memiliki sejumlah potensi yang dibawanya sejak lahir, namun ia juga peka terhadap pengalaman dan lingkungannya sehingga setiap saat anak dapat dididik, dibina, dikembangkan bahkan juga diubah.
Potensi yang ada pada diri anak meliputi potensi kognitif, pikir, rasio yang sering disimbolkan dengan keberadaan otak, potensi afektif atau rasa dan yang ketiga adalah potensi psikomotor yang lebih berorientasi pada perilaku seorang anak. Dari ketiga potensi tersebut nampaknya sudah terlalu lama kita terjebak dengan dominansi rasio, kognitif dan lucunya menjadi sempit sekali karena kita berputar-putar membicarakan inteligensi (kecerdasan intelektual) saja. Sementara potensi afektif atau rasa jarang sekali kita singgung, sehingga jangan menyalahkan siapa-siapa jika ternyata generasi kita yang lahir kemarin atau kini adalah generasi yang “mati rasa”. Generasi yang individualis , memiliki kesetiakawanan sosial yang rendah dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Emosi, Apakah itu ?
Emosi diartikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap (Oxford English Dictionary). Namun emosi juga dapat diartikan sebagai perasaan dalam intensitas yang tinggi (kekuatannya lebih dahsyat).

Para pakar psikologi banyak yang membagi emosi menjadi beberapa macam, yaitu :
1. Emosi marah dalam berbagai tingkatannya seperti beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal, berang, tersinggung, tindak kekerasan bahkan kebencian yang patologis
2. Emosi sedih dalam berbagai tingkatannya seperti pedih, sedih, muram, putus asa, kesepian bahkan depresi berat.
3. Emosi takut dalam berbagai tingkatannya seperti cemas, takut, gugup, was was, khawatir, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, phobia, panik
4. Emosi gembira dalam berbagai tingkatannya seperti puas, riang, bahagia, senanag, terhibur, kenikmatan, terpesona, mania
5. Emosi cinta dalam berbagai tingkatannya seperti akrab, kasih sayang, bakti, kasmaran, persahabatan
6. Emosi malu dalam berbagai tingkatannya seperti malu hati, kesal hati, hina, aib
Disamping yang telah disebutkan diatas ada yang menambahkan emosi lainnya seperti terkejut , jengkel dan sebagainya. Namun secara garis besar enam macam emosi diatas sudah cukup mewakili berbagai ragam emosi dalam kehidupan manusia termasuk anak-anak.

Perkembangan Emosi Pada Anak
Pada waktu sosok manusia lahir ke muka bumi telah menyandang berbagai bentuk emosi yang amat sederhana dan hampir-hampir tak terbedakan. Namun dengan bertambahnya usia emosi ini menjadi lebih komplek dan terbedakan. Ketika bayi emosi biasanya berlangsung lebih singkat, kuat disertai reaksi perilaku yang hebat terutama terhadap stimulus yang menimbulkannya. Emosi pada bayi juga amat sementara sifatnya serta cepat sekali berubah namun juga lebih mudah dibiasakan.
Pada awal masa anak, emosi diekspresikan lebih kuat . Penyebab ledakan emosi ini juga lebih komplek seperti tidak tidur siang, lelah bermain, aturan yang terlalu ketat atau faktor pikologis lain. Pada akhir masa anak, jenis situasi yang membangkitkan emosi berbeda dengan sebelumnya. Semakin luasnya interaksi sosial anak dan pengalaman
membuat situasi pembangkit emosi lebih beragam. Demikian pula ekspresi emosi anak lebih beragam, misalnya marah mungkin tidak meledak-ledak lagi namun dikemas dalam bentuk lain seperti merajuk, menggerutu , ngomel dan sebagainya. Emosi ini terus berkembang sejalan dengan bertambahnya usia seseorang, meskipun tak jarang ditemukan individu yang terfiksasi (berhenti) atau regresi (mundur) ke perkembangan sebelumnya karena tingkat kematangan individu tersebut amat terbatas.

Kecerdasan Emosi dan Komponennya
Banyak orang alergi terhadap kata emosi. Padahal menurut Aristoteles masalahnya bukan masalah emosionalitas, namun bagaimana kita menjaga keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikannya. Orang Yunani kuno sudah mengenalnya dengan kata Sophrosyne yang artinya cerdas dan hati-hati dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan kebijaksanaan yang terkendali. Adapun orang romawi kuno menyebutnya dengan kata temperantia yang artinya kendali diri, pengendalian tindakan emosional yang berlebihan. Adapun kecerdasan emosi (Goleman, 1996) diartikan sebagai kemampuan untuk memonitor, mengenali dan memahami emosi sehingga dapat digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi.
Kecerdasan emosi menentukan potensi kita untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada 5 unsur yaitu : kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi ini kemudian diterjemahkan dalam kenyataan menjadi suatu bentuk kecakapan emosi yang langsung memiliki manfaat pada kehidupan seseorang. Bagaimana emplementasi kecerdasan emosi dalam kecakan emosi adalah sebagai berikut :
1. Kecakapan pribadi (Bagaimana kita mengelola diri sendiri) , terdiri dari :
a. Kesadaran diri : mengetahui diri sendiri, kesukaan, sumber daya dan intuisi yang diujudkan dalam kesadaran emosi, penilaian diri secara utuh dan percaya diri
b. Pengaturan diri : mengelola kondisi, impuls dan sumber daya diri sendiri yang diujudkan dalam kendali diri, sifat dapat dipercaya, kewaspadaan, adaptibilitas dan inovasi
c. Motivasi : Kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan peraihan sasaran yang diujudkan dalam dorongan prestasi, komitmen, inisiatif dan sasaran kelompok



2. Kecakapan Sosial yang terdiri dari :
a. Empati yaitu kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain yang diujudkan dalam pemahaman tyerhadap orang lain, mengembangkan orang lain, memahami kebutuhan orang lain, mengatasi keragaman dan kesadaran politis
b. Ketrampilan sosial yaitu kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain yang diujudkan dalam pengaruh, komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, mengelola konflik dan kerjasama
Demikianlah beberapa komponen kecerdasan emosi yang membutuhkan kiat tersendiri untuk pengembangannya.

Mengembangkan Kecerdasan Emosi pada Anak
Walter Mischel pada tahun 1960 di TK pada kampus Stanford University melakukan studi yang dikenal dengan Marshmallow Test pada murid TK tersebut. Pada waktu itu peneliti mengatakan pada anak bahwa kalau dia ingin marshmallow sekarang maka mereka boleh mengambil 1, namun kalau mau menunggu hingga peneliti balik lagi sekitar 15 sampai 20 menit maka mereka akan memperoleh 2 bungkus marshmallow. Ternyata 1/3 anak tergoda untuk cepat mencicipi marshmallow tersebut dan ternyata setelah diamati perkembangannya menjadi anak-anak yang keras kepala, daya tahan stres rendah, peragu, mudah kecewa, mudah iri dan cemburu, menghadapi gangguan dengan cara kasar dan cenderung menjauhi hubungan sosial. Adapun 2/3 anak yang mampu menahan diri ternyata berkembang menjadi anak tegas, mampu menghadapi kekecewaan, daya tahan stres baik, pantang menyerah, dapat diandalkan dan percaya diri. Adapun skor test mereka di kemudian hari ternyata 1/3 anak mendapat skor rata-rata 524 untuk kemampuan verbal dan 528 untuk matematika. Dan 2/3 anak lainnya mendapat skor rata-rata 610 untuk verbal dan 632 untuk matematika.
Walter Mischel menggaris bawahi temuannya dengan kata-kata bahwa penundaan pemuasan yang dipaksakan kepada diri sendiri demi suatu tujuan merupakan pengaturan diri secara emosional. Dan dari temuannya pula menunjukkan kecerdasan emosi sebagai
meta ability yang menentukan seberapa baik dan seberapa buruk individu mampu memanfaatkan potensi lainnya. Sehingga dapat disimpulkan sebenarnya berfungsinya potensi lain secara efektif amat ditentukan sejauh mana individu mampu mengimplememntasikan kecerdasan emosinya.
Untuk mengembangkan kecerdasan emosi pada anak, menurut Gottman & DeClaire (1998) dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menyadari emosi anak-anak : Bagaimana agar anak mampu mengenali emosinya, mengidentifikasikannya dan peka terhadap hadirnya emosi pada orang lain. Bermain, dongeng, komunikasi, meminta anak untuk bercerita, mengekspresikan emosi merupakan beberapa cara agar anak menyadari emosinya.
2. Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar : Perhatian dan pengakuan emosi anak oleh orang tua maupun guru akan membuat anak belajar untuk empati. Demikian pula apabila orang tua maupun guru mampu menangani emosi anak secara dini akan membuat anak-anak belajar model tentang bagaimana menangani masalah dengan baik.
3. Mendengarkan dengan empati dan meneguhkan perasaan anak : Orang tua dan guru yang berperan sebagai “pendengar aktif” yang baik buat anak/muridnya akan mampu menimbulkan rasa percaya anak pada orang tua dan gurunya serta membuat anak memahami makna memperhatikan dan empati pada orang lain.
4. Menolong anak untuk memberi nama emosi dengan kata-kata : Menolong anak memberi nama emosinya ternyata mempunyai efek menentramkan perasaan anak. Selain itu anak juga dapat lebih memahami apa yang terjadi dalam dirinya.
5. Menentukan batas dan membantu anak memecahkan masalah : Menentukan batas-batas perilaku anak (mana wilayah yang boleh dan tidak boleh) akan mampu membina hubungan antara orang tua/guru dengan anak-anak menjadi hubungan yang lebih sehat. Selain itu membantu anak memecahkan masalah dengan cara bekerja sama dengannya untuk memikirkan alternatif pemecahan akan membuat anak lebih matang kemampuannya dalam memecahkan suatu masalah.




Penutup
Mengembangkan kecerdasan emosi pada anak sebenarnya merupakan titik awal para guru maupun orang tua untuk melahirkan generasi tangguh di masa yang akan datang. Milenium ketiga yang penuh tantangan akan sulit dihadapi dengan mengandalkan kecerdasan intelektual semata. Untuk itu sudah selayaknya orang tua maupun pendidik memikirkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Mengembangkan kurikulum yang bermuatan pengembangan kecerdasan emosi
2. Memasukkan kecerdasan emosi sebagai domain dalam pengembangan potensi yang perlu diperhatikan
3. Memikirkan metode mengajar yang juga berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosi
4. Memantau sejauh mana kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi anak/murid agar orang tua/guru lebih memahami anak dan pengembangan anak selanjutnya lebih terarah
Demikian makalah singkat ini semoga bermanfaat dalam membuka diskusi kita tentang pengembangan kecerdasan emosi pada anak.

Bacaan
1. Gottman, John & DeClaire, Joan . Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Edisi terjemahan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998

2. Goleman, Daniel. Emotional Intelliegence. Edisi Terjemahan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama , 1996

3. Hurlock, E.B. Developmental Psychology - A Life Span Approach. New York : Mc Graw Hill Book Company, 1980

4. Mischel, Walter et al. Predicting Adolescent Cognitive and Self Regulatory Compentencies From School Delay of Gratification. Journal of Developmental Psychology, Vol. 26, 1990.





Sebuah syair dari Khalil Gibran


Anakmu bukanlah anakmu
Mereka adalah putra putri kerinduan diri Sang Hidup
Melaluimu mereka tiba, namun bukan darimu asalnya

Meskipun mereka bersamamu, tapi mereka bukan milikmu
Berikan kasih sayangmu, tetapi jangan paksakan pikiranmu
Sebab mereka berbekal alam pikiran sendiri

Berikan rumah untuk raganya, tetapi bukan untuk jiwanya
Sebab jiwa mereka adalah penghuni masa depan
Yang tiada dapat kau gapai sekalipun dalam impian

Engkau boleh berusaha menyerupainya, tapi jangan buat dia menyerupaimu.
Sebab kehidupan tak pernah mengalir mundur
Dan hidup ini bukanlah terpancang pada hari kemarin

Engkau adalah busur
Anakmu adalah anak panah yang sedang meluncur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar