salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Kamis, 03 Oktober 2013

SANG PROFESOR



Sebuah Cerpen oleh  Nur Janah Nitura
SANG PROFESOR
1
            Sejak kecil cita-citanya memang jadi pendidik, Abdal begitu yakin bersepeda menempuh hampir   9   kilometer perjalanan dari rumah gubuknya ke sekolah demi merebut cita-citanya. Baginya pematang sawah dan lumpur adalah suguhan lumrah dari sebuh perjuangan. Terpeleset di lumpur hingga baju dan tasnya kotor adalah hal yang sangat biasa dan tak lagi ia anggap sebagai masalah. Lumpur itu sahabatku, padi dan sawah adalah teman-temanku begitu ia selalu yakinkan dirinya. Abdal kecil lulus SD sebagai juara umum SD Negeri 1 Kecamatan Semerbakwangi , senyum cerah merekah di wajah. Langkah gagah ia ayunkan ke depan puluhan pasang mata orang tua siswa yang berdecak kagum memandang prosesi yang paling bergengsi yaitu penganugerahan piagam dan piala dari Ibu Kepala Sekolah SD Negeri 1 Kecamatan Semerbakwangi.
“Abdal, perjuanganmu masih panjang”
“Abdal, langkahmu masih lebar”
“Abdal, tekadmu bulatkan”
“Abdal, lenganmu singsingkan”
Bisikan itu begitu menghentam gendangan telinganya, kekuatan nadanya serasa mengoyak-ngoyak setiap lapis otot-otot tubuhnya  sehingga ia menyaksikan  dengan mata kepalanya sendiri seolah bayangan dirinya ingin maju dan lari menjemput profesi idaman hatinya “seorang guru”.
Es em pe, Es em a…………………bagi Afdal adalah sebuah perkelanaan jiwa dan raga yang penuh peluh . Setiap peluh yang menetes dari tubuhnya terasa menciprati setiap golakan nafsu yang menggebu. Setiap peluh yang mengalir di kulitnya terasa membasahi kekeringan hasrat yang teramat sangat. Nafsu ingin segera terbang tinggi di awan pendidikan, hasrat ingin segera melumat tiap sisi pembelajaran. Abdal berpikir ia akan keren dan gagah disapa sebagai “Pak guru Abdal” .
“Abdal, kamu cepatlah bangkit jika suatu hari terpuruk jatuh karena pelajaranmu turun nilainya” , begitu sering masuk ke telinganya petitah petitih sang Abu yang merupakan sosok Tengku di Gampong yang disegani.
“Abdal, sebelum tercapai impianmu tahankan dulu jatuh cinta. Mak yakin kamu akan bertemu jodoh pilihan Allah swt yang terbaik” begitu sering nasehat mak nya yang juga sosok perempuan desa yang lugu.
Kalimat-kalimat sakti dari kedua orang tua bagi Abdal jauh lebih berharga dari mutu manikam. Oleh karena itu ketika ia lulus undangan sebagai mahasiswa FKIP Universitas  Lam Karuna, ia berjiwa besar ketika sang abu hanya sanggup membayar ongkos bus sekali jalan plus uang makan yang hanya cukup untuk keperluan 3 hari.
“Abdal, kamu boleh bawa beras ke Kutaraya. Setidaknya dengan membawa beras kamu akan lebih lama bertahan” sang abu menegaskan kembali bentuk lain dukungannya.  Abdal pun melangkah ke Kutaraya, sebagai mahasiswa, sebagai kernet bangunan membantu bang Lem tetangganya di Gampong yang merantau ke Kutaraya sebagai tukang ahli. Abdal mengaduk semen, Abdal mengikat bata, Abdal mengecat……. Apapun asal halal dan mampu menghasilkan lembar-lembar rupiah untuk bertahan hidup. Beasiswa yang diterimanya adalah beasiswa pendidikan saja, sedangkan makan, minum, buku, transport……………..Abdal harus mandi peluh untuk meraihnya.
2
            Cum Laude adalah predikat yang diidamkan setiap mahasiswa ketika ia lulus. Tak mudah mendapatkannya, namun ada yang mampu meraihnya. Abdal termasuk salah satunya, ia lulus dari program studi bahasa Perancis dengan predikat Cum Laude. Sejak semester 3, Abdal telah mulai merangkai bunga impiannya, di sebuah jambang bunga kehidupan yang indah.  Rangkaian bunga yang suatu saat dia idamkan sebagai sebuah kenyataan yaitu menjadi seorang guru. Sejak semester 3 hingga 8 ia bergelut di sebuah lembaga pendidikan luar sekolah sambil belajar menjadi seorang guru.
“Bang Abdal itu pinter dan gagah, walaupun lidahnya kalau ngomong masih nampak kampungnya” begitu kasak-kusuk gadis-gadis keren di kampusnya membicaralan ia manakala Abdal sedang perform untuk  sekedar pidato atau kegiatan kemahasiswaan lainnya.
Cita-cita Abdal mesti bermetamorfosis…… dari guru menjadi dosen. Sama-sama guru namun beda maknanya. Jika sosok guru akan mampu membuatnya berlari kembali ke Gampong untuk mengabdi di desa, es em pe atau es em a di Gampong atau kecamatan tempatnya tinggal. Namun sosok Dosen membuat kakinya mesti ia ikat di sebuah tambatan kuat yang bernama ‘Universitas’.
Sang Abu dan sang emak pada awalnya protes keras. Abdal , sejak kecil impianmu mau membangun pendidikan di desa kita dengan menjadi guru. Bagaimana bias kamu lakukan jika kamu menjadi ‘dosen’.  Namun hati kedua orang tua tersebut luluh manakala putra tercintanya mampu meyakinkan bahwa hakekat guru dan dosen adalah sama. “Selamat putraku, selamat menjadi dosen, selamat menjadi mahaguru dan mencetak guru-guru di seluruh negri” begitulah doa spontan sang Abu.

3
            Bagi otak secermelang, bagi langkah segemilang Abdal…. Tangga dosen mudah ia daki. Sesaat ia sudah mencapai gelar Doktor tamatan Luar Negri, sebuah gelar idaman setiap dosen. Entah gagah entah pongah, atau adukan keduanya. Abdal selalu tampil terlalu gagah untuk ukuran guru atau mahaguru di sebuah universitas.  Nafsunya tak lagi hanya ingin tampil di depan kelas, hasratnya tak hanya ingin berdiskusi dengan mahasiswa. Abdal ingin lebih, Abdal mau banyak, Abdal lari, Abdal ngebut, Abdal terbang, Abdal melayang. Beratus poin kredit ia kumpulkan hingga ia rebut gelar bergengsi, gelar professor bukti orgasmus keilmuan yang syah dengan kadi selembar surat pengesahan bertanda tangan presiden.  Mestinya professor itu seperti padi, makin berisi makin arif, makin berisi makin tunduk dan tawadhuk …..begitu harapan khalayak . Abdal adalah professor politik, bukan guru besar ilmu politik namun sang guru besar yang berpolitik.
            Politik yang dulu membuatnya alergi dan gatal seluruh jiwa dan raganya, tiba-tiba jadi asyik masyuk . Mulai dengan politik kelas lintingan rokok kelas kuli waktu mahasiswa, meningkat dengan politik kelas rokok kretek murahan ketika pangkatnya masih rendah. Abdal lari terus, hingga nafsunya berpolitik menjadi-jadi ketika ia tekad maju dan mematut diri jadi Rektor. Sebuah jabatan yang dulu mestinya diresonansikan sebagai pimpinan organisasi pendidikan. Sebuah jabatan yang diharap menjadi menara air penyejuk lingkungan, sebuah jabatan yang mestinya mendendangkan lagu merdu perjuangan. Rektor semestinya mampu mengaduk berbagai bumbu perilaku seluruh civitas akademika menjadi masakan karakter yang lezat. Karakter terpuji suri teladan seluruh negri.
            Abdal, telah khianati kepercayaan anak negri. Profesornya, rektornya dijadikan sebagai jembatan  untuk melakukan senggama politik paling binal. Ia pertaruhkan  setiap peluh yang menetes di bulir-bulir padi gampongnya, ia gadaikan lumpur yang mengotori baju seragam SD nya.  Ia gagal , ia kecewa namun ia maih bias tertawa. Bahkan ia tetap tertawa ketika fotonya terpampang  di tabloid kota “ Sang Profesor, Sang Koruptor”
Mahasiswanya ternganga, kecewa, berduka.  Universitas yang mestinya jadi menara air karakter yang menyejukkan negri, kini jadi menara api yang menyulut duka. Wallahu a’lam

                                                                 Pante riek,  Malam Jum’at , 3 Oktober 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar