Sebuah Cerpen oleh Nur Janah Nitura
SANG PROFESOR
1
Sejak kecil cita-citanya memang jadi
pendidik, Abdal begitu yakin bersepeda menempuh hampir 9 kilometer perjalanan dari rumah gubuknya ke
sekolah demi merebut cita-citanya. Baginya pematang sawah dan lumpur adalah
suguhan lumrah dari sebuh perjuangan. Terpeleset di lumpur hingga baju dan
tasnya kotor adalah hal yang sangat biasa dan tak lagi ia anggap sebagai
masalah. Lumpur itu sahabatku, padi dan sawah adalah teman-temanku begitu ia
selalu yakinkan dirinya. Abdal kecil lulus SD sebagai juara umum SD Negeri 1
Kecamatan Semerbakwangi , senyum cerah merekah di wajah. Langkah gagah ia
ayunkan ke depan puluhan pasang mata orang tua siswa yang berdecak kagum
memandang prosesi yang paling bergengsi yaitu penganugerahan piagam dan piala
dari Ibu Kepala Sekolah SD Negeri 1 Kecamatan Semerbakwangi.
“Abdal,
perjuanganmu masih panjang”
“Abdal,
langkahmu masih lebar”
“Abdal,
tekadmu bulatkan”
“Abdal,
lenganmu singsingkan”
Bisikan
itu begitu menghentam gendangan telinganya, kekuatan nadanya serasa
mengoyak-ngoyak setiap lapis otot-otot tubuhnya
sehingga ia menyaksikan dengan
mata kepalanya sendiri seolah bayangan dirinya ingin maju dan lari menjemput
profesi idaman hatinya “seorang guru”.
Es
em pe, Es em a…………………bagi Afdal adalah sebuah perkelanaan jiwa dan raga yang
penuh peluh . Setiap peluh yang menetes dari tubuhnya terasa menciprati setiap
golakan nafsu yang menggebu. Setiap peluh yang mengalir di kulitnya terasa
membasahi kekeringan hasrat yang teramat sangat. Nafsu ingin segera terbang
tinggi di awan pendidikan, hasrat ingin segera melumat tiap sisi pembelajaran.
Abdal berpikir ia akan keren dan gagah disapa sebagai “Pak guru Abdal” .
“Abdal,
kamu cepatlah bangkit jika suatu hari terpuruk jatuh karena pelajaranmu turun
nilainya” , begitu sering masuk ke telinganya petitah petitih sang Abu yang
merupakan sosok Tengku di Gampong yang disegani.
“Abdal,
sebelum tercapai impianmu tahankan dulu jatuh cinta. Mak yakin kamu akan
bertemu jodoh pilihan Allah swt yang terbaik” begitu sering nasehat mak nya
yang juga sosok perempuan desa yang lugu.
Kalimat-kalimat
sakti dari kedua orang tua bagi Abdal jauh lebih berharga dari mutu manikam.
Oleh karena itu ketika ia lulus undangan sebagai mahasiswa FKIP
Universitas Lam Karuna, ia berjiwa besar
ketika sang abu hanya sanggup membayar ongkos bus sekali jalan plus uang makan
yang hanya cukup untuk keperluan 3 hari.
“Abdal,
kamu boleh bawa beras ke Kutaraya. Setidaknya dengan membawa beras kamu akan
lebih lama bertahan” sang abu menegaskan kembali bentuk lain dukungannya. Abdal pun melangkah ke Kutaraya, sebagai
mahasiswa, sebagai kernet bangunan membantu bang Lem tetangganya di Gampong
yang merantau ke Kutaraya sebagai tukang ahli. Abdal mengaduk semen, Abdal
mengikat bata, Abdal mengecat……. Apapun asal halal dan mampu menghasilkan
lembar-lembar rupiah untuk bertahan hidup. Beasiswa yang diterimanya adalah
beasiswa pendidikan saja, sedangkan makan, minum, buku, transport……………..Abdal
harus mandi peluh untuk meraihnya.
2
Cum Laude adalah predikat yang
diidamkan setiap mahasiswa ketika ia lulus. Tak mudah mendapatkannya, namun ada
yang mampu meraihnya. Abdal termasuk salah satunya, ia lulus dari program studi
bahasa Perancis dengan predikat Cum Laude. Sejak semester 3, Abdal telah mulai
merangkai bunga impiannya, di sebuah jambang bunga kehidupan yang indah. Rangkaian bunga yang suatu saat dia idamkan
sebagai sebuah kenyataan yaitu menjadi seorang guru. Sejak semester 3 hingga 8
ia bergelut di sebuah lembaga pendidikan luar sekolah sambil belajar menjadi
seorang guru.
“Bang
Abdal itu pinter dan gagah, walaupun lidahnya kalau ngomong masih nampak
kampungnya” begitu kasak-kusuk gadis-gadis keren di kampusnya membicaralan ia
manakala Abdal sedang perform untuk
sekedar pidato atau kegiatan kemahasiswaan lainnya.
Cita-cita
Abdal mesti bermetamorfosis…… dari guru menjadi dosen. Sama-sama guru namun beda
maknanya. Jika sosok guru akan mampu membuatnya berlari kembali ke Gampong
untuk mengabdi di desa, es em pe atau es em a di Gampong atau kecamatan
tempatnya tinggal. Namun sosok Dosen membuat kakinya mesti ia ikat di sebuah
tambatan kuat yang bernama ‘Universitas’.
Sang
Abu dan sang emak pada awalnya protes keras. Abdal , sejak kecil impianmu mau
membangun pendidikan di desa kita dengan menjadi guru. Bagaimana bias kamu
lakukan jika kamu menjadi ‘dosen’. Namun
hati kedua orang tua tersebut luluh manakala putra tercintanya mampu meyakinkan
bahwa hakekat guru dan dosen adalah sama. “Selamat putraku, selamat menjadi
dosen, selamat menjadi mahaguru dan mencetak guru-guru di seluruh negri”
begitulah doa spontan sang Abu.
3
Bagi otak secermelang, bagi langkah
segemilang Abdal…. Tangga dosen mudah ia daki. Sesaat ia sudah mencapai gelar
Doktor tamatan Luar Negri, sebuah gelar idaman setiap dosen. Entah gagah entah
pongah, atau adukan keduanya. Abdal selalu tampil terlalu gagah untuk ukuran
guru atau mahaguru di sebuah universitas.
Nafsunya tak lagi hanya ingin tampil di depan kelas, hasratnya tak hanya
ingin berdiskusi dengan mahasiswa. Abdal ingin lebih, Abdal mau banyak, Abdal
lari, Abdal ngebut, Abdal terbang, Abdal melayang. Beratus poin kredit ia
kumpulkan hingga ia rebut gelar bergengsi, gelar professor bukti orgasmus
keilmuan yang syah dengan kadi selembar surat pengesahan bertanda tangan
presiden. Mestinya professor itu seperti
padi, makin berisi makin arif, makin berisi makin tunduk dan tawadhuk …..begitu
harapan khalayak . Abdal adalah professor politik, bukan guru besar ilmu
politik namun sang guru besar yang berpolitik.
Politik yang dulu membuatnya alergi
dan gatal seluruh jiwa dan raganya, tiba-tiba jadi asyik masyuk . Mulai dengan
politik kelas lintingan rokok kelas kuli waktu mahasiswa, meningkat dengan
politik kelas rokok kretek murahan ketika pangkatnya masih rendah. Abdal lari
terus, hingga nafsunya berpolitik menjadi-jadi ketika ia tekad maju dan mematut
diri jadi Rektor. Sebuah jabatan yang dulu mestinya diresonansikan sebagai
pimpinan organisasi pendidikan. Sebuah jabatan yang diharap menjadi menara air
penyejuk lingkungan, sebuah jabatan yang mestinya mendendangkan lagu merdu
perjuangan. Rektor semestinya mampu mengaduk berbagai bumbu perilaku seluruh
civitas akademika menjadi masakan karakter yang lezat. Karakter terpuji suri
teladan seluruh negri.
Abdal, telah khianati kepercayaan
anak negri. Profesornya, rektornya dijadikan sebagai jembatan untuk melakukan senggama politik paling
binal. Ia pertaruhkan setiap peluh yang
menetes di bulir-bulir padi gampongnya, ia gadaikan lumpur yang mengotori baju
seragam SD nya. Ia gagal , ia kecewa
namun ia maih bias tertawa. Bahkan ia tetap tertawa ketika fotonya
terpampang di tabloid kota “ Sang
Profesor, Sang Koruptor”
Mahasiswanya
ternganga, kecewa, berduka. Universitas
yang mestinya jadi menara air karakter yang menyejukkan negri, kini jadi menara
api yang menyulut duka. Wallahu a’lam
Pante riek, Malam Jum’at , 3
Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar