salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Kamis, 24 November 2016

CATATAN DARI SYDNEY 2 ( UMI..... UMI GENERASI QUR’ANI)


            Hitam putih kota Sydney memang sangat nyata. Sepertinya para pencari jalan ke syurga yang berdiam di kota ini memang sudah teruji insyaa Allah. Hal ini karena jalan syurga dan neraka gamblang dan kasat mata. Saya tak hendak bercerita tentang jalan neraka, biasanya banyak sudah ditulis lewat laporan selayang pandang hiruk pikuk kehidupan malam kota kosmopolitan seperti ini. Saya jatuh hati pada sosok Umi, sebut saja Umi War (Nama telah saya samarkan). Umi War, sahabat lama yang hampir seperempat abad tak bertemu. Terjalin kembali silaturrahmi , itulah kehendak Allah swt.
Pelukan erat dan jamuan makan malam mengawali pertemuanku dengan beliau sekeluarga. Umi, demikian anak-anak memanggilnya tetap cantik dan gesit seperti waktu muda dulu. Tak banyak berubah penampilannya, satu hal yang berubah makin oke adalah kemampuan bahasa Inggrisnya yang bak native speaker plus kelincahannya menyusuri jalan-jalan kota Sydney dengan mengendarai mobil.
Setelah jelang seminggu saya di Sydney, saya berkesempatan untuk melihat langsung aktivitas Umi sehari-hari. ‘Insyaa Allah saya akan jempuk kakak Jam 16.45, kakak boleh berbagi ilmu dan pengalaman di depan orang tua dan anak-anak didik kami’. Perjalanan menuju tempat umi mengajar merupakan perjalanan yang cukup mengasyikkan, umi banyak bercerita tentang kondisi para orang tua siwa khususnya para ibu, juga kondisi siswa.
 ‘Banyak orang tua khususnya orang tua Indonesia yang khawatir dengan pendidikan anak-anaknya, apalagi kalau si anak sudah remaja. Makanya kegiatan agama menjadi sangat penting untuk fondasi anak-anak kita nanti’
Umi melanjutkan kisahnya tentang pengalamannya mengajarkan Islam di negri ini. Tak terasa sampailah kami di sebuah bangunan sederhana namun cukup asri dan disana saya lihat anak-anak serta para orang tua telah berkumpul. Oleh karena masukan dari Umi banyak ibu maupun anak yang sulit mengontrol emosinya maka sharing sore itu diisi dengan bagaimana melakukan manajemen emosi.
Saya kembali ke sosok Umi, sosok yang komplit insyaa Allah untuk dikategorikan perempuan muslimah modern yang tangguh dan kreatif.  Jika saya gunakan formula PERMA[i], sosok Umi bisa dicandrakan sebagai berikut :
Positive Emotion (Emosi Positif)
Selalu saja tersungging senyum di bibirnya, peduli pada para orang tua khususnya ibu, dan anak muridnya. Umi terlihat mengajarkan anak-anak bukan hanya dengan otak, namun mengajar dengan cinta. Umi merasa positif, ia memotret masa lalu dengan kesukaan , bahkan ia kadang menertawakan kejadian yang menurutnya sedikit konyol di masa lalunya. Ia juga mampu memotret masa depan dengan sejuta harapan (‘kakak, insyaa Allah ke depan dapat kita bangun tempat yang representatif buat anak-anak belajar Islam) . Dan tentunya sosok umi dapat menikmati dan menghargai masa kini. Emosi positif inilah membuatnya mampu 'terbang'  melampaui ruang yang menyekat. Bahkan ia juga dapat berjalan satu langkah di depan dibandingkan dengan yang lain.
Engagement (Keterlibatan)
Umi terlibat penuh dengan kehidupannya. Kehidupan pribadinya ia tampilkan secara apik dengan menyajikan kasih sayang utuh buat suami dan anak-anaknya. Dan wauw nya , si umi juga menyajikan kasih sayangnya buat generasi pelanjut negri. Anak-anak Indonesia di perantauan yang haus pendidikan agama dan akhlaqul karimah.
‘Saya tak bisa hanya duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Anak-anak itu juga anak saya, anak kita semua. Saya sedih jika mereka gagal, saya dan semua para orang tua tentu ingin anak-anaknya sukses duniawi dan ukhrowi’
Menjadi guru bagi jiwa generasi yang tengah mencari adalah panggilan jiwa umi. Oleh karena kegiatan ini panggilan jiwanya, ia merasa terbang tinggi menikmati profesinya sebagai guru generasi. Umi tetap terlibat secara penuh meskipun tak bergaji seperti layaknya orang kantoran. Jika jiwa terpanggil, rupiah atau dolar menjadi ukuran paling akhir.
Relationship (Hubungan)
Hubungan yang terjalin secara kat antara umi sekeluarga dengan para orang tua dan anak-anak membuat proses pendidikan menjadi lebih lancar. Jika di Indonesia sering terlihat hanya sopir atau pembantu yang mengantar jemput anak sekolah, namun di negri ini orang tua lah yang bertanggung jawab penuh. Komunikasi umi dengan para orang tua siswa menjadi intens. Kunci sebuah hubungan adalah keseimbangan, terlihat amatlah seimbang hubungan yang terjalin antara umi, para orang tua dan murid. Dukungan orang tua cukup baik bagi umi dkk serta sekolah tersebut.
Meaning (Makna)
Umi mengejar tujuan bersama, yaitu tujuan mendidik generasi penerus. Kebermaknaan dalam hidup akan lebih mudah diraih jika yang dikejar bukan hanya tujuan pribadi semata. Tujuan yang sifatnya kolektif dan melibatkan orang banyak seringkali justru mampu menghadirkan butir-butir bahagia di hati kita. Umi sudah , sedang dan insyaa Allah terus melakukan itu.
Accomplishment (Sukses meraih prestasi)
Jika kita masih sibuk dengan prestasi pribadi, umi sudah melampaui itu. Ia begitu menikmati proses untuk mencapai prestasi itu sendiri. Proses bagaimana ia dan tim nya menyusun kurikulum untuk anak-anak. Proses bagaimana anak-anak antusias dalam belajar. Proses bagaimana pasang surut motivasi anak-anak. Proses bagaimana tantangan internal maupun eksternal yang menghadang. Dan hasil yang diraih berupa prestasi anak didik yang insyaa Allah sholeh dan sholehah. Kesuksesan umi dan tim nya dalam mendidik anak-anak Indonesia, membuatnya juga dipercaya mengajarkan agama untuk anak-anak berkebangsaan lain.
Bahagia umi adalah salah satu representasi bahagia hakiki. Bahagia yang tak hanya diukur dengan materi, namun bahagia yang ditakar dengan bersih dan tulusnya hati. Sambil menyimaknya mengajar Al Qur’an terlihat disudut sana sekelompok anak Pakistan, India, Arab, Libanon, Palestina yang mengaji bersama umi. Ukhuwah islamiyah dirajut indah di tangan dingin seorang muslimah seperti umi, barakallah adindaku sayang. Semoga Allah swt senantiasa menjaga dan memudahkan segala urusan adinda sklg.
Note : Nama Umi War adalah nama samaran
Lakemba-New South Wales , 25112016  Jam: 03.21 waktu Lakemba (WIB :23.21 tgl 24112016)






[i] PERMA  (Positive Emotion, Engagement, Relationship, Meaning, Accomplishment) adalah Well Being Formula dari Martin Seligman

Senin, 21 November 2016

Catatan dari Sydney 1 (Belajar Karakter di Perantauan)



            Berita yang terpampang di negeri sendiri seringkali membuat kita menahan nafas karena isi berita yang bertentangan dengan hati nurani kita. Berbagai borok moral rasanya sudah menjadi menu berita yang lazim untuk dikonsumsi masyarakat. Borok yang aslinya adalah luka di tubuh kita, biasanya akan berdarah dan bernanah jika tak segera dimanajemeni dengan baik. Demikian pula borok karakter, akan berdarah, bernanah bahkan mungkin berulat jika borok tersebut dibiarkan saja bahkan diterima sebagai sebuah kelaziman.
            Terus terang kita yang mestinya bangga kadang dibuat malu hati menyandang nama besar sebuah negri. Negri yang luas dan indah lengkap dengan kekayaan sumber daya alam plus kekayaan sumber daya manusia, mestinya membuat kita penghuninya menjadi bangga. Namun kenyataannya banyak borok yang membuat kita jadi malu hati dan kebanggaan itu terkikis perlahan jika kita tidak mengobatinya dari sekarang.
            Di negri orang saya menemukan jati diri anak negri yang sebenarnya. Salah satunya saya lihat dari sosok Bang Anwar dan kak Nafisah. Perantau asal Aceh yang mengadu peruntungan nasib di negri Kanguru. Sejak awal berkenalan dengan keluarga ini, saya sudah merasakan aura positif yang mengalir. Bahasa verbal yang akrab dan lugas, bahasa wajah yang ramah dan tulus ditambah dengan bahasa tubuh yang apa adanya. Bang Anwar bekerja sebagai tenaga kerja semi-skill  dengan gaji yang cukup memadai untuk kehidupan di Australia. Saya tak tahu persis apa jenis pekerjaannya, yang menarik bagi saya adalah kalimat-kalimat yang mengalir penuh dengan isi positif dan pembelajaran tentang hidup dan kehidupan.
‘Disini kita belajar bagaimana disiplin, ada seseorang yang parkir di lokasi parkir difabel maka segera akan datang petugas untuk melakukan tilang’
‘Jangankan tawar menawar, dialog pun secukupnya. Petugas melihat kesalahan dan segera melakukan tugasnya untuk melakukan tilang’
‘Disini kita belajar menyintai ciptaan Allah swt. Kita tak boleh sembarangan menebang pohon, satu pohon kita tebang walaupun itu di depan rumah kita akan didatangi petugas dan didenda’
‘Disini kita belajar menyintai dan mengkonsumsi produk sendiri. Pemerintah tak akan mengimpor apapun yang bisa dihasilkan di negri sendiri. Dengan cara ini, para petani makmur, pengusaha lokal juga terlindungi’
‘Disini kita belajar menyayangi anak kita sebagai manusia seutuhnya, saat usia anak maka bermain pun menjadi porsi utama. Jarang sekali ada PR, kebahagiaan, kerjasama, saling tolong menolong lebih diutamakan daripada sekedar nilai angka dari  PR’.
Bang Anwar terus bercerita, kami semua terkesima mendengarnya. Terkesima bukan hanya karena isi cerita itu, namun saya khususnya terkesima karena itu dari sosok yang bersahaja.  Sambil mencicipi hidangan yang disuguhkan, azan pun bergema. Bang Anwar bersama Bang Bachtiar (suamiku) & Thariq (anakku) bergegas menuju masjid, tinggallah aku, kak Nafisah  & putri semata wayangnya ‘Fatimah azzuhra’  di rumah itu.  Setelah aku dan kak Nafisah shalat maghrib, kak Nafisah menghidangkan makan malam. Sambil menunggu yang lainnya, ia melanjutkan dialog tentang dirinya dan keluarganya.
            ‘Apa yang disampaikan abang tadi sepenuhnya benar, coba kakak lihat bagaimana bentuk rumah disini. Sederhana kan?’
‘Gedung tinggi hanya apartemen, Mall, perkantoran, kampus dan sejenis.Rumah tinggal bentuknya sederhana. Tidak ada yang berlebihan atau terlalu mewah. Meskipun perlengkapan serba modern namun tetap saja  lebih ditekankan pada fungsi peraatan itu, bukan kemewahan tampilannya’
‘Demikian juga pakaian, indah , rapi namun tetap bersahaja. Kakak silakan lihat mebel di rumah saya, ini rata-rata adalah barang second atau hibah. Kita disini saling membantu satu dengan yang lain, apalagi sesama perantau’
‘Jika di Indonesia, anak seusia Fatima sudah bisa minta ini dan itu. Namun disini tidak. Itu karena di sekolahnya para guru juga tampil bersahaja, anak-anak pun fokus bermain dan belajar. Anak-anak tak diajarkan untuk bermewah-mewah’
Bang Anwar, kak Nafisah, fatima  dan banyak keluarga perantau lainnya  yang belajar karakter positif di negri ini juga negri-negri lainnya tentu saja.  Kak Nafisah, tipe perempuan gigih yang menjadi ibu rumah tangga sekaligus melakukan kegiatan ekonomi produktif di rumahnya.  Menerima jahitan baju dan masakan rantangan menjadi kegiatan yang mendatangkan income tambahan buat keluarga mereka.
‘Berapa kak, ongkos jahit sebuah gaun?’
’30 dolar saja’
Ternyata justru lebih murah dari Banda Aceh. Jika di Banda Aceh, sehelai gaun sederhana  dibandrol 300 ribu (setara 30 dolar Australia) dan gaun renda bisa dibandrol dua kali lipat dari itu. Namun ongkos jahit di tempat kak Nafisah memberlakukan harga sama, kain katun atau renda tetap saja 30 dolar ongkosnya.
            Apa kita harus buka bengkel karakter[1] di negri asing, kemudian kita ekspor anak bangsa yang punya borok culas, iri dengki, korupsi, tamak, pembohong dan segdang borok lain untuk masuk ke bengkel tersebut ?  Berapa biayanya? Hehehe. Wah saya lupa, itu semua kan salah satu muaranya adalah keteladanan. Jika pingin rakyat sederhana, silakan sang pemimpin sederhana. Jika pingin rakyat cinta produk negri sendiri, ya jangan sedikit-sedikit impor . Jika ingin rakyat disiplin, ya tetapkan peraturan secara konsekuen dan konsisten.  Sambil melamun memimpikan indahnya negri tercinta lengkap dengan manusia-manusianya yang bersahaja tiba-tiba tersentak mendengar ajakan kak Nafisah untuk makan malam.
‘Silakan makan, jangan malu-malu’ , meja makan penuh, pinggiran Sydney terasa di Aceh.................ada tumis udang dan kerupuk muling disana.
Lakemba, New South Wales,  22112016  Jam 02.00 Waktu Sydney








[1] Kemendiknas (2010) menjelaskan bahwa; Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang  terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

Jumat, 11 November 2016

SANG KANDIDAT 1 (A Psycho-Story by Nur Janah AlSharafi)



            Jaket kulit hitam dilengkapi dengan kemeja dan celana jeans hitam adalah kemasan luar yang ditampilkan sosok ini untuk membangun wibawanya. Bukankah warna hitam adalah warna gradasi lengkap yang selalu dikonotasikan untuk mendongkrak citra si pemakainya ? Bisa jadi iya, namun jelasnya memang itu yang dimaksud. Hitam adalah wibawa dan hitam adalah kekuasaan. Sosok ini mendampingi beberapa orang yang sedang berjuang untuk mendapatkan kesempatan kedua mengikuti sebuah kompetisi penting memperebutkan posisi di negri Antara. Yang mana ya orang yang diperjuangkan itu ? iya mataku mesti cermat menganalisa karena jumlah rombongan yang dibawanya cukup banyak, barangkali ada asisten, keluarga, pihak terkait bahkan mungkin juga para pemburu berita.
‘Ibu hadir atas nama siapa?’ tanyanya menyelidik.
‘Saya hadir atas nama diri saya sebagai asesor yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan’
‘Mana legalitas untuk dapat melakukan pemeriksaan hari ini?’
‘Ini legalitas saya’
‘Coba lihat, ini adalah SK yang dibuat oleh Presiden Negri Antara. SK ini telah kadaluarsa karena berlaku hingga kemarin tanggal 31 Oktober 2016. Sementara hari ini adalah tanggal 1 November 2016’
Nada yang tinggi dan menyerang dengan lantang disuarakan oleh si jaket hitam. Ada nada keras, marah dan menyerang pada kata-kata yang diucapkannya. Mengapa kata-katanya begitu kasar? Apakah itu gayanya atau ia menjadi demikian karena frustrasi ?[1] Terus terang aku terpojok dengan pernyataannya. Akhirnya aku diam dan meminta waktu sejenak untuk berkonsultasi dengan sekretariat kepresidenan negri Antara.
‘Ibu mesti tetap lakukan pemeriksaan tersebut, karena ini adalah kesempatan terakhir buat kandidat’
‘Namun SK saya sudah kadaluarsa pak, apakah Bapak presiden dapat memberikan SK baru buat saya hari ini?’
‘Ditunggu ibu, SK akan segera diemail dalam beberapa saat’
Menunggu yang paling tidak enak, adalah menunggu sesuatu sambil diadili oleh beberapa pasang mata yang penuh selidik. Aku merasakan mata itu menghunus jati diriku secara perih. Ada kombinasi cibiran bibir yang mengecilkan apakah aku mampu meyakinkan sekretariat kepresidenan negri Antara untuk menerbitkan SK secara ekstra kilat. Kulirik gadgetku dan ya.....email yang ditunggu telah kuterima.
‘ini SK perpanjangan yang anda minta’
Si jaket hitam membaca email tersebut  dan ekspresinya berubah total dari ekspresi bermusuhan menjadi netral.
‘Kalau begitu saya ijinkan klien saya untuk diperiksa hari ini’
            Lepas dari si jaket hitam , kini aku berhadapan dengan sosok peserta kompetisi kandidat calon Kepala Distrik Area Negri Antara. Sosok yang ini lagi, gumamku dalam hati. Seingatku sosok yang sama telah kuhadapi sebulan yang lalu, pada kompetisi umum. Ia gagal total dan dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi untuk melanjutkan kompetisi. Ia hadir lagi semata-mata karena undang-undang negri memperbolehkan siapapun peserta kompetisi yang gagal pada kompetisi umum boleh meminta pemeriksaan ulang apabila dapat memperjuangkan surat ijin dari presiden. Kenyataannya ia ulet dan ia mendapatkan surat itu. Tepok jidat
‘Ijinkan saya menjelaskan lebih dahulu metode dan aspek pemeriksaan yang hendak dilakukan’
‘silakan’
‘Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan kompetensi bapak sebagai kandidat kepala Distrik Area. Kompetensi yang akan diperiksa adalah kompetensi utama, kompetensi peran dan kompetensi pendukung’
‘Metode pemeriksaan multimethod sehingga Bapak akan dihadapkan pada soal tertulis, wawancara, studi kasus, simulasi dan metode pendukung lainnya’
Aku mencoba menyimak file pemriksaan awal yang bersangkutan.  Kompetensinya jauh dari yang diharapkan. Terjadi gap yang cukup jauh antara kompetensi yang dituntut dengan yang ditampilkan. Yah...memang kadangkala seseorang tak mampu bercermin dengan cermat. Merasa cantik atau tampan mungkin biasa, apalagi jika sudah dipoles dengan sapuan make up dan dandanan yang mendongkrak. Namun merasa diri pintar dan hebat, agak lebih sulit untuk diterima. Bukankah kepintaran itu mengalir dai setiap kata dan tindak yang dipilih, dan bukankah kehebatan itu tercermin dari setiap karya yang  dihasilkan oleh pikiran dan tangannya. Jika kemudian cermin diri semakin buram, akan lahir sosok manusia nekad yang merasa diri paling oke dan hebat sehingga merasa mampu menduduki singgasana yang puncak sekalipun.
‘Bu, kasus yang harus saya pecahkan ini terlalu rumit. Saya tak bisa menyelesaikannya meskipun ibu memberi waktu 60 menit’
‘Bapak bisa mencobanya silakan’
‘Sudah saya simak, baca dan coba’
‘ini baru 10 menit berjalan pak, masih ada 50 menit lagi’
‘Saya merasa terlalu memaksakan diri untuk minta dilakukan pemeriksaan ulang. Saya mohon disudahi saja bu pemeriksaan ini’
Tanda tanya besar tiba-tiba bertengger di otakku, apa gerangan yang membuatnya sadar diri tiba-tiba. Meski hal itu bisa saja terjadi, bukankah aliran perubahan pikiran manusia bisa saja berlangsung dengan sangat cepat[2].  Laki-laki itu tiba-tiba berubah wajahnya, dari wajah yang tak bersahabat dan penuh curiga menjadi wajah yang ramah dan tawadhuk. Ia gontai berjalan keluar ruangan menemui penasehatnya, sosok berjaket hitam . Si jaket hitam terlihat marah-marah sambil mengangkat tangannya. Sang kandidat diam saja, ia terlihat menunduk. Wajahnya makin sendu dan tawadhuk. Dari kejauhan kulihat langkahnya yang ringan menuju mushola untuk mengambil air wudhuk. Sebuah kesadaran diri yang besar telah terjadi, bisa jadi ia disebut kalah karena dianggap tak memenuhi kualifikasi dalam kompetisi. Namun sejujurnya ia kini telah bermetamorfosa menjadi hamba yang sejati, telah menemukan dirinya sendiri. Wallahu a’lam
Batoh, 12 November 2016



[1] Berkowitz (1993) mengatakan bahwa frustrasi menyebabkan sikap siaga untuk bertindak secara agresif karena kehadiran kemarahan yangdisebabkan oleh frustrasi itu sendiri.
[2] William James (1890-1950) menggambarkan pikiran sebagai arus kesadaran (stream of consciousness), aliran yang terus-menerus dari sensasi, citra, pikiran, dan perasaan yang terus berubah. Pikiran kita terpacu dari topik satu ke topik berikutnya: dari berpikir tentang segala sesuatu

Jumat, 28 Oktober 2016

Sepucuk Surat buat Diaz (Sebuah Cerpen oleh Nur Janah Al-Sharafi)


 Diaz,
Memandang jiwamu seperti memandang sebentang sutra indah yang lembut dan hangat. Jiwamu senantiasa melahirkan segudang ide ide cerah dan mencerahkan. Ada saja cuilan makna pada setiap candamu, belum lagi cuilan satire cantik yang sama sekali tetap terasa sejuk. Aku tak tahu apakah kamu itu malaikat atau sosok limited edition yang diciptakan sang Khaliq untuk menyirami gersangnya kehidupan fana ini.
Mendengar suaramu seperti menggelar sejumlah nada indah yang dijejer halus dalam sebuah maha karya symphoni sang maestro. Selalu saja ada nada nada renyah di setiap tawamu, meski kadang tawamu bulat menggetar namun tetap saja indah menggelitik setiap rambut halus gendang telingaku. Aku benar-benar makin bertanda tanya, apakah dirimu adalah sang vokalis surga yang dikirim turba ke bumi yang makin sumbang ini.
Mencium baumu seperti mecium ekstrak kembang terwangi yang pernah aku cium aromanya sejak aku lahir. Wangimu penuh misteri paduan bunga meulu, jeumpa, seulanga atau setanggi yang semerbak. Wangimu benar-benar mampu menjejerkan selaksa aroma yang tertata rapi hasilkan aroma baru yang mampu menyihir pesona.
Mungkin menyentuh kulitmu juga akan mampu hasilkan sejumlah kata indah yang belum tentu mampu mewakili keindahan dan kelembutanmu. Meski itu hanya mimpiku, cukuplah kupandang potret masa lalumu yang akan mewakilimu.

Diaz,
Ini aku, pemuja sejatimu sejak dulu. Sejak kau bau kencur hingga mungkin aku mau masuk kubur. Aku tak pernah berpikir mencari penggantimu, karena bagiku kau adalah karya dan anugerah sang khaliq yang teristimewa dan yang pernah kutemui. Setiap mengingatmu selalu hadirkan epifani[1] dalam jiwaku.
Ini aku, laki-laki jalang yang tak pandai bersyukur pernah terpatri di pualam hatimu yang indah. Laki-laki tamak, yang dulu tak mengerti betapa dirimu adalah sejatinya bidadari.
Ini aku , yang kini Cuma bisa menghadirkan bayang masa lalu ketika kita tertawa bersama. Tahukah kau Diaz ? Aku telah membingkai bayang masa lalu itu dalam sebuah bingkai emas di hatiku. Bingkai itu tak pernah lapuk oleh hujan dan tak pernah lekang oleh panas. Bingkai masa lalu itu memang kupatri dengan kemurnian emas 24 karat.
Ini aku yang menyintaimu secara hakiki, cinta tanpa harus memiliki. Sejatinya cinta yang kurajut dengan benang ikhlas dan putihnya ketulusan.
Diaz,
Terima kasih kau telah bersedia meluangkan waktumu untuk membaca suratku. Aku pasrah entah kau tertawakan atau kau campakkan kertas surat ini. Itu semua kuserahkan padamu. Jelasnya aku telah puas , kau telah tahu dan paham isi hatiku
Terima kasih Diaz, kau makin tumbuh jadi sejatinya bidadari. Jujur Diaz, suatu saat di kehidupan kekal sana bolehkah aku bertetangga saja denganmu (agar setiap hari aku dapat memandang hijabmu, dan mendengar lantunan merdu tilawahmu dari sudut jendela rumahku).

Wassalam
Casablanca,  15 oktober 2016
Aku yang selalu menyintai & mengagumimu
(Mochammad Oktario)
..............................................................................................
Diaz menghela nafas membaca surat tersebut. Surat yang dikirim dari Casablanca Maroko 20 Oktober yang lalu via jasa Pos. Entah darimana Okta, sahabatnya semasa SMP dulu tahu alamatnya. Sedang asyik dalam ragu yang makin membumbung masuklah pesan WA bertubi-tubi. Diaz coba membukanya, WA Group SMP nya tertera 20 pesan yang belum dibaca
‘Telah berpulang ke rahmatullah, sahabat kita Mochamad Octario tadi pagi jam 09.00 Waktu Maroko. Jenazah akan dikebumikan di Casablanca sesuai pesan almarhum. Mohon doa segenap sahabat agar almarhum husnul khatimah dan diterima disisi Allah swt’
‘Ybs adalah salah satu Seniman Lukis yang sukses di negeri orang , tidak meninggalkan keluarga karena hingga saat terakhir hidupnya ybs berstatus lajang’
‘Inna lilahi wainna ilaihi raji’un, al fatihah buat almarhum’
‘Kami sekeluarga ikut berduka cita, semoga almarhum diterima disisi Allah swt’
Dan masih banyak pesan WA lain yang isinya senada. Diaz berwudhu, Diaz shalat dan berdoa untuk sahabat kecilnya dulu Almarhum Mochammad Oktario. Diaz tak menyangka kalau Okta menyimpan cinta, cinta sejati dibawa mati. Al Fatihah
Batoh, 28 Oktober 2016  (Jam 23.05)





[1] Epifani = peristiwa istimewa dalam kehidupan seseorang yang memiliki pengaruh yang biasanya positif

Minggu, 11 September 2016

QURBAN CINTA ( Sebuah Cerpen oleh Nur Janah AlSharafi)

  

Ù„َÙ†ْ ÙŠَÙ†َالَ اللَّÙ‡َ Ù„ُØ­ُومُÙ‡َا Ùˆَلا دِÙ…َاؤُÙ‡َا ÙˆَÙ„َÙƒِÙ†ْ ÙŠَÙ†َالُÙ‡ُ التَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ ÙƒَØ°َÙ„ِÙƒَ سَØ®َّرَÙ‡َا Ù„َÙƒُÙ…ْ Ù„ِتُÙƒَبِّرُوا اللَّÙ‡َ عَÙ„َÙ‰ Ù…َا Ù‡َدَاكُÙ…ْ ÙˆَبَØ´ِّرِ الْÙ…ُØ­ْسِÙ†ِينَ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik  (Surat Al Hajj Ayat 33)


Qurban bukan hanya urusan memotong hewan dan membagikannya pada yang berhak, namun bagi Nisfu ternyata Qurban adalah ikatan senyawa kimia yang erat yang terdiri dari berbagai elemen pengalaman hidup seperti Ibadah Qurban itu sendiri , politik, keikhlasan dan mungkin juga cinta . Nisfu adalah calon Bupati yang akan diusung oleh 3 partai besar yang memiliki jumlah kursi sangat signifikan di DPRK . Berita terakhir bahwa ia menempati urutan teratas Survey kandidat dengan prosentase spektakuler sebesar 67 %.
            Berbeda dengan kandidat lainnya , Nisfu adalah sosok politisi sejati. Sejak usia 19 tahun ia telah terjun di politik. Ayahnya merupakan tokoh penting di Partai UNGU sehingga Nisfu memang sejak kecil telah terbiasa dengan aroma dapur & pasar politik. Nisfu bahkan tahu persis bagaimana menggoreng, memanggang, mengukus hingga menghidangkan sepiring menu politik untuk konsumsi publik maupun konsumsi internal partai.
            “Ayah, ijinkan putramu ini menjadi seorang arsitek” demikian pinta Nisfu pada ayahnya ketika ia tamat SMA. Namun dengan tegas sanga ayah menolak permintaannya dan memintanya untuk masuk ke Fakultas Ilmu Sosial & Politik dan memilih jurusan Ilmu Politik.  Cita dan angan Nisfu memang kuat, namun cita & angan tersebut sepertinya langsung lumer mencair ketika berhadapan dengan api panas kekuatan impian sang ayah. “Nisfu, ayahmu itu terlalu wibawa & hebat sehingga kita kita yang muda ini memang langsung tiarap jika berhadapan dengannya” demikian Dedy sahabatnya mengomentari kejadian tersebut.
            Nisfu pun melangkah dengan sepatu politik yang kuat. Tak tangung tanggung, sepatu politiknya bahkan telah didisain paripurna oleh sang ayah beserta tim nya untuk dapat melangkah, berlari, menendang, menapaki setiap jejak politik selama 3 dasawarsa. “ Saat ini ayah masih diberi umur, ayahmu ini arsitek politik. Disainer kekuasan yang belum ada tandingan di kawasan kita ini” ungkap ayah Nisfu dengan bangga & sedikit sombong.  Ayahnya telah menyiapkan disain perjalanan politik Nisfu putra mahkotanya sejak ‘jabang bayi’ politik hingga 3 dasawarsa ke depan. Nisfu selalu berkonsultasi tentang perjalanan politiknya kepada sang maestro politik yaitu ayahandanya.
            Tahun ini adalah tahun yang khusus. Mengapa khusus ? Tahun ini Nisfu resmi dicalonkan oleh partainya & 2 partai besar lainnya untuk dicalonkan sebagai Bupati Kepala Daerah Kabupaten Mentimun. Tahun ini pula usianya genap 30 tahun. Ada yang mengganjal memang karena sang calon Bupati yang muda ini masih jomblo. Namun sudahlah urusan jomblo itu kan urusan jodoh yang mungkin belum diberi oleh yang Maha Kuasa. 11 tahun ia berkarir di politik, bahkan terakhir ia duduk sebagai anggota DPRK ia bahkan tak terpikir tentang jodoh . Tahun ini adalah tahun khusus karena bertemu Mirna, mahasiswi Ilmu Komunikasi yang sedang magang di DPRK. Mirna berbeda dengan banyak perempuan lainnya yang telah ia kenal. Mirna, gadis yang shalehah, pintar dan punya jiwa seni yang kuat.  Entah mengapa hati Nisfu merasa sejuk dan merinding begitu mendengar alunan qira’ah Mirna. Setiap dialog pun ia merasa nyambung dan hatinya tiba-tiba berwarna warni.
“Mirna, boleh Bapak tanya pendapatmu?” tanya Nisfu.  Dalog panjang dijuntai tentang pendapat Mirna jika ia terima amanah partai dan 2 partai lainnya untuk mencalonkan diri sebagai Bupati. Mirna membahas panjang lebar dari sisi agama maupun keilmuan. Bahkan Nisfu seperti disengat listrik ketika Mirna bertanya apakah ia sudah memohon petunjuk Allah swt dengan melakukan shalat istikharah. Terus terang  Nisfu memang rajin shalat, rajin puasa , rajin zakat infaq dan shodaqoh. Namun tentang shalat istikharah ia benar-benar lalai. Nisfu malu hati, selama ini ia terlalu pede dengan apa yang akan menjadi keputusannya. Bukankah skenario Allah swt tentang kehidupan sang hamba adalah skenario terbaik. Nisfu menunduk  di hadapan sang rabb, ia begitu mengagungkan skenario 3 dasawarsa yang dibuat sang maestro politik yaitu ayahandanya tercinta. Ia melupakan begitu saja skenario sang pemberi hidup & kehidupan. Mirna, adalah bidadari kecil yang dikirim sang Khaliq dari syurga untuk menjadi pencerah hidupnya.
“ Mirna, minggu depan Idul Adha menurutmu kemana sapi qurban Bapak sebaiknya disalurkan ?” tanya Wisnu layaknya bertanya pada seorang penasehat pribadi.  Mirna bercerita tentang desa binaannya  nun jauh di kecamatan terjauh kabupaten tersebut.  Awalnya Nisfu berkecamuk hendak menolak karena kecamatan itu bukanlah dapil nya. Sifat egoisme  versus altruisme nya berperang layaknya pandawa dan kurawa. Pandawa menang, altruisme[1] Nisfu menang sehingga ia memilih berQurban di desa Sari kecamatan Ujong Angin.
10 Dzulhijjah 1437 H, Qurban seekor Sapi di desa Sari kecamatan Ujong Angin. Biasanya Mirna dkk komunitasnya selama 2 tahun sebelumnya hanya mampu membawa seekor kambing kesana pada idul adha. Saat ini  masyarakat desa senyumnya lebih cerah. Rasa syukur pada Allah swt atas segala rahmat dan karunia yang didapatkan.  Suara takbir berkumandang, saling bersalaman dan memohon maaf. Qurban penuh cinta & keikhlasan dari seorang hamba . Ada senyum di bibir Mirna , ada senyum di bibir pak Nisfu. Sama-sama penuh doa & zikir dari mereka berdua, segenap rekan-rekan Mirna, segenap rombongan dan tentu seluruh penduduk desa. Desa sari semakin indah, ketika daging kurban mulai dibagikan dan di masak di belanga penduduk desa. Ada secercah harap di sudut hati Nisfu yang paling dalam..........diakah bidadariku ya Allah?

(10 Dzulhijjah 1437 H  , desa Batoh)






[1] Altruisme adalah lawan dari egoisme. Orang yang altruistis memiliki sifat peduli  dan mau menolong orang lain meskipun tidak ada keuntungan yang ditawarkan  atau tidak ada harapan bahwa ia akan mendapatkan suatu keuntungan (Myers, DG , 2010)

Kamis, 11 Agustus 2016

JUMPA TOKOH CERPENKU DI KOPI OEY


Tetap bersyukur  dengan setiap noktah langkah hidup kita , membuat jiwa kita indah menari  menyambut hari-hari yang kita lalui (Nur Janah Al-Sharafi)

  Sore itu jalan Sabang terasa lengang, entah karena bukan akhir pekan atau karena terbawa perasaanku yang lengang. Kuparkir mobil pas di depan salah satu kedai kopi favoritku ‘Kopi Oey’ dengan langkah santai aku masuk kedai kopi tersebut dan sengaja memilih duduk di kursi pojok bagian depan. Pilihan tempat duduk tersebut kulakukan dengan tujuan agar aku bisa cepat melihat kedatangan Witna sobatku. 32 Tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah perpisahan 2 orang sahabat yang pernah bersama selama 3 tahun dalam suka dan duka di SMA.
Witna dibesarkan oleh kedua orang tua yang sama-sama berpendidikan tinggi, sementara aku adalah anak bakul atau pedagang atau dengan bahasa kekiniannya anak seorang pengusaha atau enterpreneur. Witna yang sejak kecil sangat teratur hidupnya selepas SMA pun memilih melanjutkan pendidikan tinggi yang telah pasti. Pendidikan yang seolah sudah dirancang sebagai jembatan untuk mencapai masa depannya. Hal ini beda sekali denganku, yang masih meraba mau kemana dan hendak kemana selepas SMA. Namun itu semua bagi Witna benar-benar bagaikan sebuah kamus besar yang bertengger di lemari. Witna dengan segenap cerita manis kehidupan masa lalunya seolah memang hanya indah dipajang di lemari. Dan  lemari kehidupan indahnya tertutup rapat sementara kuncinya entah hilang kemana. Dan aku merasa terpukul mendengar hal itu . Aku  yang konon adalah salah satu sahabatnya tak bisa menolong apa-apa karena  benar-benar telah kehilangan jejak Witna . Baru 5 bulan yang lalu aku ketemu dengan Sri yang menceritakan tragedi yang dialami Witna.
Aku masih ingat betapa Sri terbata-bata menceritakan tragedi kehidupan Witna. Kata demi kata yang meluncur dari mulutnya benar-benar seperti kertas fotocopy yang nyangkut. Sri sepertinya ingin menguras kisah itu namun disisi lain seolah ada rem yang menahannya. Hal ini membuatku hanya memahami kisah Witna dari satu sisi.  Dan sisi tersebut adalah sisi hancur, sisi lebur, sisi nasi yang terpaksa jadi bubur. “Boleh aku minta nomor hp Witna, aku kangen Sri sama Witna sudah lama banget aku kehilangan jejaknya” pintaku pada Sri. Sri berbaik hati memberikan nomor hp Witna  dengan pesan bahwa Witna sering ganti nomor hp untuk alasan kenyamanan dirinya.
Aku Cuma diam, pasrah dan hanya berharap semoga pesan yang kukirim ke nomor tersebut sampai dan dibaca oleh Witna. Dan benar Witna akhirnya membalas hingga kemudian akupun menelponnya. “Aku sebenarnya mencarimu Nung, tapi aku kehilangan nomor kontakmu dan aku tahu kamu tinggal di Aceh sehingga bagiku sangat jauh dan tak  mungkin aku lari kesana ketika cobaan itu datang” jelas Witna. Witna yang sukses di karir, mendapat cobaan, kemudian jatuh terpuruk bahkan terusir dari rumahnya sendiri. “Witna, boleh aku tulis cerpen tentang dirimu? Tentu nama dan beberapa setting tempat akan aku samarkan” tanya dan pintaku pada Witna.  Witna bahkan merasa senang jika aku mau menulis cerpen tentangnya dengan pesan “ Kirim aku ya nung link-nya, aku ingin membaca  dan aku berharap lebih lega setelah curhat denganmu dan membaca kisahku sendiri di cerpen itu” sahut Witna. Aku jadi teringat hasil riset  James W. Pennebaker, guru besar psikologi University of Texas. Selama  15 tahun ia meneliti  dan menuangkannya dalam buku “Opening Up : The Healing Power of Expressing Emotions” . Di buku tersebut disebutkan  setidaknya ada tiga manfaat penting menulis, yakni :
1. Menulis  dapat meningkatkan kekebalan tubuh,
2. Bercerita, juga lewat tulisan, dapat menyelesaikan separuh masalah psikis,
3. Menulis sebagai katarsis (pelepasan emosi/ketegangan).
Witna akhirnya membaca cerpenku ‘ Mawar Kuning buat Dika’.  Witna akhirnya  tak tahan menelponku dan mengungkapkan : “ aku nangis nung tapi aku lega. Akhirnya aku jumpa dengan putriku Dika, meski ia diam, meski ia tak paham benar tentang taqdir ibunya namun aku bahagia banget telah melihat Dika, mencium wangi parfumnya dan memegang jari lembutnya “.  Telpon itu juga yang akhirnya membuat kami janjian untuk ketemu, 2 sahabat lama yang selama lebih 30 tahun memoles kanvas kehidupan dengan kuas dan warna cat pilihan masing-masing.
Masih duduk di kursi sudut bagian depan kedai Kopi Oey jalan Sabang sambil sesekali melirik layar WA : “ aku otw ke Kopi Oey ya nung” tulisnya.  Akhirnya Witna datang, perempuan ayu sebayaku dengan jilbab Syar’i hijau muda dan gaun panjang berbunga-bunga. Aku kehabisan kata, Witna kehabisan kata. Kami berdua berpelukan selayaknya saudara kandung yang lama tak bersua. “Jangan menangis nung, kita harus senyum bahagia dengan taqdir Allah swt yang mempertemukan kita kembali”  tegas Witna.  Aku memang menangis, lha aku ini dari dulu memang cengeng gambang banjir air mata. “Maaf ya Witna jika cerpen itu kurang berkenan buatmu” kataku. Witna sekali lagi mempertegas bahwa ia justru berterima kasih dengan cerpen itu, menurutnya cerpen itu menjadi salah satu semangat yang membuatnya kuat untuk benar-benar ketemu Dika putrinya. “Biarpun Dika hanya diam  dan senyum, bagiku diamnya putriku dan senyumnya putriku seperti selimut hangat yang menutup jiwaku yang menggigil” ujar Witna.  Aku pun tersenyum ikut merasakan aliran bahagianya Witna di hatiku. Kami berdua akhirnya sepakat untuk tidak ngopi, kami pesan Coklat Panas . Witna pesan Lumpia  dan aku pesan ubi rebus.  Azan maghrib bergema dari Asus-ku, kami berdua menyeberang dan bejalan menyusuri gang kecil untuk mencapai Masjid guna menunaikan sholat Maghrib. Berwudhu bersama, shalat maghrib bersama  dan melanjutkan sepenggal cerita  tawa atau lara.  Aku dan Witna bertukar cindera mata kecil sambil menikmati tarian ondel-ondel yang mulai beraksi di jalan Sabang ini.  Aku dan Witna akhirnya berpisah  dengan saling doa semoga Allah swt melindungi kami. Aku pulang bertemu suami dan anak-anakku, Witna pulang di rumah kontrakannya sendiri. Aku sedih melihat langkah kakinya, namun aku bangga karena Witna perempuan yang tangguh dan tetap tegar dengan apapun suratan taqdir untuknya.  Tetap bersyukur  dengan setiap noktah langkah hidup kita membuat jiwa kita indah menari  menyambut  hari-hari yang kita lalui. Witna, kamu masih punya sahabat-sahabat yang sayang padamu. Senyumlah sobatku, dendangkan doa dan tadarusmu, smoga Allah swt makin sayang padamu.
Jl. Sabang - Jakarta, 03082016

(Nama asli sahabatku ini telah kusamarkan demi kenyamanannya)

Jumat, 08 Juli 2016

MAWAR KUNING BUAT DIKA Sebuah Cerpen oleh Nur Janah Al Sharafi





Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui,“ (QS. Al-Baqarah: 216).
SATU
            Menyayangi  atau membenci hanya setipis kulit padi, itu baru kusadar setelah semua terjadi. Keluar  dengan paksa dari istana yang kubangun bersama mas Dan & dipisahkan dari ketiga buah hatiku sudah lebih dari penjara seumur hidup. Aku tak menyangka laki-laki yang menikahiku selama 15 tahun akhirnya menyerah seperti prajurit tak bersenjata, ketika aku istrinya dilanda badai dalam karir. Lima belas tahun yang lalu aku menerima lamarannya karena aku yakin ia adalah imam sejati yang kurindukan , bahunya tetap kuat untukku bersandar walau ada badai dan topan. Namun hatiku benar-benar hancur terpuruk ketika cobaan itu datang, mas Dan justru mengusirku dari rumah dan memisahkanku dengan ketiga buah hatiku.
            15 tahun aku meniti karir di perusahaan sekelas PT. Maju Internasional dengan karir yang berkibar ternyata tak menjamin perjalanan karirku akan semulus pipiku yang rajin ku facial. Aku terpeleset dengan tuduhan berat merugikan perusahan, meski demi Tuhan semua itu hanyalah kesalahan administratif namun tetaplah aku harus ambil tanggung jawab. Ketika semua rekan kerja dan sahabat berpaling dariku, membenciku yang sedang jatuh aku masih berharap mas Dan suamiku akan tangguh dan memberikanku energi untuk bangkit. Harapanku hanya seperti kapas terbang tak tentu arah, mas Dan dengan keras dan tegas mengusirku dari rumah. Aku hanya berjalan dengan pakaian yang melekat di badan, satu hal yang masih membuatku kuat adalah bahwa aku punya Allah swt, tempatku berkeluh dan mengaduh.
            Kapal hidupku berlabuh di pesantren Al Makmur, Pak Kyai dan bu Nyai menebar damai dan senyum pada siapa saja yang hadir. Aku berusaha menghapus memoriku tentang mas Dan dan ketiga anakku. Aku percaya Decay Theory ( teori Atropi) yang beranggapan bahwa memori menjadi semakin aus dengan berlalunya waktu bila tidak pernah diulang kembali (rehearsal).  Teori itu menganggap bahwa informasi yang disimpan dalam memori akan meninggalkan jejak (memory trace) dan jika dalam jangka waktu lama tidak dipanggil kembali ke alam kesadaran, akan rusak atau menghilang. Teori ini aku pegang erat dengan usaha yang keras bahwa aku harus menutup buku hidup pertamaku bersama mas Dan dan ketiga anakku ( Dika, Dall & Dell). Segenap ustadh, ustadhah , santri dan karyawan pesantren Al Makmur tak ada yang tahu persis latarbelakangku. Aku hanya menempatkan diri sebagai musafir kelana yang membutuhkan oase sejuk untuk rehat di kefanaan dunia. Aku datang juga membawa ketrampilanku dalam seni rupa, aku dipercaya oleh pak Kyai dan bu Nyai untuk menjadi salah satu ustadhah bidang seni rupa. Aku melukis, santriku melukis. Aku melukis kehidupan, santriku melukis kehidupan. Pak Kyai sudah memberikanku rambu-rambu agar tidak melukis binatang atau manusia dan aku menghormati itu. Lukisan alam, lukisan sawah ladang, lukisan kebun, lukisan hutan, lukisan bunga, lukisan buah dan lukisan abstrak spiritual mulai kurintis dan kuasah.
            Ini adalah tepat tahun  kelima belas aku di pesantren, aku bersyukur pada Allah swt yang telah menuntunku ke jalan putih. Ketika limbung jiwaku diarahkan dekat denganNya. Ketika limbung badanku diarahkan ke tempat suci ini yaitu masjid dan pesantren. Aku melangkah ke Galleri , aku simak lukisan santriku satu persatu. Lukisan yang indah dan berjiwa. Aku bahagia diberi karuniaNya untuk mengajarkan para santri melukis. Melukis tak sekedar menorehkan kuas diatas kanvas, namun aku diberi karuniaNya untuk mampu mengajarkan mereka menoreh ruh dalam kehidupan lukisan tersebut. Aku tersenyum, aku lega namun entah mengapa aku jadi limbung melihat lukisan mawar kuning itu.
“Siapa yang melukis mawar kuning itu” tanyaku
“Siti Aishah ustadhah” jawab salah satu santriku
Aku memintanya untuk memanggil Siti Aishah dan menanyakan padanya secara langsung. Sepuluh tahun ini tak satupun pernah ada dan aku berharap jangan ada lukisan mawar kuning. Selalu saja sebagai contoh akan kulukis mawar merah, merah jambu , putih atau biru.
DUA
Mawar kuning bagi Dika amatlah istimewa. Istimewa karena memiliki kisah tersendiri betapa bahagianya membucah ketika bocah gara-gara si mawar kuning tersebut. Mawar kuning adalah kisah bros indah hadiah sang ibu ketika Dika genap usia 5 tahun. Dika bangga mengenakan bros mawar kuning tersebut, selanjutnya Dika pun menunjuk pohon mawar di taman, selanjutnya ibu menanam mawar kuning di pot kembang teras belakang rumahnya. Mawar kuning mampu menghadirkan energi positif di benak Dika ketika ia penat dan jenuh. Melihat ujud mawar kuning tak hanya menenangkan kedua bola matanya, namun aura mawar kuning itu mampu menembus gelombang otaknya sejak gelombang betha , alpha  dan  tetha . Di tiap gelombang otaknya, aura sang mawar kuning mampu menancapkan kesan yang dalam dan rapi sehingga mengisi folder memory indahnya setiap jejak waktu.
Sejak ibu pergi 15 tahun yang lalu, hanya doa pada Allah swt dan mawar kuninglah yang membangkitkan energy hidup buatnya. Saat ibu pergi Dika masih 14  tahun, sebagai anak tertuapun ia tak paham apa yang terjadi. Ia hanya tahu kemudian ayahnya mengusir ibu, membakar seluruh foto ibu dan melarang Dika dan kedua adik laki-lakinya untuk sekedar bertanya tentang ibu apalagi bertemu. Ibu hilang seperti ditelan malam. Mawar kuninglah yang mampu menjadi mediasi menghadirkan wajah ibunya.  Di teras belakang rumah ada 10 pot mawar kuning, di teras depan rumah ada 10 pot mawar kuning. Di meja belajar hingga kini meja kerjanya juga ada setangkai mawar kuning imitasi yang wangi. Bagi Dika mawar kuning  adalah rajutan sel-sel hidup ibu yang menyembul dalam rona kuning yang indah. Sejak 4 tahun lalu Dika bekerja di sebuah lembaga pendidikan, Dika yang pintar dan kreatif cukup cepat dan sukses karirnya .
“Bu Dika, ini balasan dari pesantren Al Makmur. Mereka bersedia menerima kunjungan ibu dan  segenap staf Yayasan Al Fitri. Dan sesuai dengan list jenis lukisan di web Al Makmur, ibu mengisi dengan Mawar Kuning yang sebenarnya tidak tersedia. Tapia da 1 santri yang bersedia melukisnya buat ibu Dika. Nanti akan ada upacara penyerahan dana bantuan dari Yayasan Al Fitri dan disitu Bu Nyai akan menyerahkan lukisan Mawar Kuning sebagai cindera mata buat lembaga kita bu”  penjelasan Aziz staf Yayasan secara rinci.  Dika dan segenap manajemen Yayasan AlFitri memang memilih pesantren ini untuk studi banding, karena pendidikan di pesantren Al Makmur sangat memperhatikan keseimbangan otak kanan & kiri. Selain program unggulan berupa Hafizh Al Qur’an, agrobisnis, entrepreneur . Program unggulan seni rupa serta gallery lukisan merupakan nilai tambah tersendiri.
TIGA
“Aishah, mengapa kamu melukis mawar kuning” Tanyaku
“Aishah  melukis untuk rombongan Yayasan AlFitri yang insyaaAllah senin tanggal 11 Juli 2016 ini akan berkunjung ke pesantren kita ustadhah” jawab Aishah tegas
“Mengapa harus kuning ?” aku selidik sekali lagi
“Apa salahnya ustadhah, toh kuning juga warna ciptaan Allah swt, Spektrum warna yang sama-sama punya hak untuk eksis di kefanaan dunia. Iya kan ustadhah, ustadhah justru yang megajariku” tegas Aishah sekali lagi.
Aku tertohok dengan jawan Siti Aishah, hafizhah 20 juz yang cerdas dan punya jiwa seni yang kuat. Aku tertohok sekali lagi setelah membaca  surat dari yayasan Alfitri. Tertohok bukan karena kedatangan mereka, namun karena nama pemimpin rombongannya. Ibu Dika Nabila Dannuandri . Iya pemimpin rombongan itu adalah Dika, putri sulungku. Buah hatiku bersama mas Dan, mas Dannuandri mantan suamiku. Aku baru paham bahwa mawar kuning adalah pilihan bu Dika, mawar kuning adalah pilihan Dika putriku. Ternyata Dika tetap sayang dan cinta pada mawar kuning, aku berharap Dika tetap sayang dan cinta padaku sebagai ibunya. Aku deg-degan menunggu hari senin, hari bersejarah pertemuanku dengan Dika. Aku berdoa masih diber umur oleh Allah swt, agar bisa puas menatap wajahnya, jika boleh dan bisa menyalami tangannya yang tentu sangat lembut. Aku juga ingin mengintip ekspresinya ketika menerima bingkisan lukisan mawar kuning.  Entah sanggup atau tidak aku menemui Dika, namun mata, kuping dan tanganku akan  puas sekedar mengintip ruang cinta di matanya yang bening. Mengintip ruang cinta di matanya yang bening buat si mawar kuning atau mungkin buat aku ibunya ?
Angin semilir , 09072016