Jaket kulit hitam dilengkapi dengan
kemeja dan celana jeans hitam adalah kemasan luar yang ditampilkan sosok ini
untuk membangun wibawanya. Bukankah warna hitam adalah warna gradasi lengkap
yang selalu dikonotasikan untuk mendongkrak citra si pemakainya ? Bisa jadi
iya, namun jelasnya memang itu yang dimaksud. Hitam adalah wibawa dan hitam
adalah kekuasaan. Sosok ini mendampingi beberapa orang yang sedang berjuang
untuk mendapatkan kesempatan kedua mengikuti sebuah kompetisi penting
memperebutkan posisi di negri Antara. Yang mana ya orang yang diperjuangkan itu
? iya mataku mesti cermat menganalisa karena jumlah rombongan yang dibawanya
cukup banyak, barangkali ada asisten, keluarga, pihak terkait bahkan mungkin
juga para pemburu berita.
‘Ibu
hadir atas nama siapa?’ tanyanya menyelidik.
‘Saya
hadir atas nama diri saya sebagai asesor yang ditugaskan untuk melakukan
pemeriksaan’
‘Mana
legalitas untuk dapat melakukan pemeriksaan hari ini?’
‘Ini
legalitas saya’
‘Coba
lihat, ini adalah SK yang dibuat oleh Presiden Negri Antara. SK ini telah
kadaluarsa karena berlaku hingga kemarin tanggal 31 Oktober 2016. Sementara
hari ini adalah tanggal 1 November 2016’
Nada
yang tinggi dan menyerang dengan lantang disuarakan oleh si jaket hitam. Ada
nada keras, marah dan menyerang pada kata-kata yang diucapkannya. Mengapa
kata-katanya begitu kasar? Apakah itu gayanya atau ia menjadi demikian karena
frustrasi ?[1]
Terus terang aku terpojok dengan pernyataannya. Akhirnya aku diam dan meminta
waktu sejenak untuk berkonsultasi dengan sekretariat kepresidenan negri Antara.
‘Ibu
mesti tetap lakukan pemeriksaan tersebut, karena ini adalah kesempatan terakhir
buat kandidat’
‘Namun
SK saya sudah kadaluarsa pak, apakah Bapak presiden dapat memberikan SK baru
buat saya hari ini?’
‘Ditunggu
ibu, SK akan segera diemail dalam beberapa saat’
Menunggu
yang paling tidak enak, adalah menunggu sesuatu sambil diadili oleh beberapa
pasang mata yang penuh selidik. Aku merasakan mata itu menghunus jati diriku
secara perih. Ada kombinasi cibiran bibir yang mengecilkan apakah aku mampu
meyakinkan sekretariat kepresidenan negri Antara untuk menerbitkan SK secara
ekstra kilat. Kulirik gadgetku dan ya.....email yang ditunggu telah kuterima.
‘ini
SK perpanjangan yang anda minta’
Si
jaket hitam membaca email tersebut dan
ekspresinya berubah total dari ekspresi bermusuhan menjadi netral.
‘Kalau
begitu saya ijinkan klien saya untuk diperiksa hari ini’
Lepas dari si jaket hitam , kini aku
berhadapan dengan sosok peserta kompetisi kandidat calon Kepala Distrik Area
Negri Antara. Sosok yang ini lagi, gumamku dalam hati. Seingatku sosok yang
sama telah kuhadapi sebulan yang lalu, pada kompetisi umum. Ia gagal total dan
dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi untuk melanjutkan kompetisi. Ia hadir
lagi semata-mata karena undang-undang negri memperbolehkan siapapun peserta
kompetisi yang gagal pada kompetisi umum boleh meminta pemeriksaan ulang
apabila dapat memperjuangkan surat ijin dari presiden. Kenyataannya ia ulet dan
ia mendapatkan surat itu. Tepok jidat
‘Ijinkan
saya menjelaskan lebih dahulu metode dan aspek pemeriksaan yang hendak
dilakukan’
‘silakan’
‘Pemeriksaan
ini meliputi pemeriksaan kompetensi bapak sebagai kandidat kepala Distrik Area.
Kompetensi yang akan diperiksa adalah kompetensi utama, kompetensi peran dan
kompetensi pendukung’
‘Metode
pemeriksaan multimethod sehingga Bapak akan dihadapkan pada soal tertulis,
wawancara, studi kasus, simulasi dan metode pendukung lainnya’
Aku
mencoba menyimak file pemriksaan awal yang bersangkutan. Kompetensinya jauh dari yang diharapkan.
Terjadi gap yang cukup jauh antara kompetensi yang dituntut dengan yang
ditampilkan. Yah...memang kadangkala seseorang tak mampu bercermin dengan
cermat. Merasa cantik atau tampan mungkin biasa, apalagi jika sudah dipoles
dengan sapuan make up dan dandanan yang mendongkrak. Namun merasa diri pintar
dan hebat, agak lebih sulit untuk diterima. Bukankah kepintaran itu mengalir
dai setiap kata dan tindak yang dipilih, dan bukankah kehebatan itu tercermin
dari setiap karya yang dihasilkan oleh
pikiran dan tangannya. Jika kemudian cermin diri semakin buram, akan lahir
sosok manusia nekad yang merasa diri paling oke dan hebat sehingga merasa mampu
menduduki singgasana yang puncak sekalipun.
‘Bu,
kasus yang harus saya pecahkan ini terlalu rumit. Saya tak bisa
menyelesaikannya meskipun ibu memberi waktu 60 menit’
‘Bapak
bisa mencobanya silakan’
‘Sudah
saya simak, baca dan coba’
‘ini
baru 10 menit berjalan pak, masih ada 50 menit lagi’
‘Saya
merasa terlalu memaksakan diri untuk minta dilakukan pemeriksaan ulang. Saya
mohon disudahi saja bu pemeriksaan ini’
Tanda
tanya besar tiba-tiba bertengger di otakku, apa gerangan yang membuatnya sadar
diri tiba-tiba. Meski hal itu bisa saja terjadi, bukankah aliran perubahan
pikiran manusia bisa saja berlangsung dengan sangat cepat[2]. Laki-laki itu tiba-tiba berubah wajahnya,
dari wajah yang tak bersahabat dan penuh curiga menjadi wajah yang ramah dan
tawadhuk. Ia gontai berjalan keluar ruangan menemui penasehatnya, sosok
berjaket hitam . Si jaket hitam terlihat marah-marah sambil mengangkat
tangannya. Sang kandidat diam saja, ia terlihat menunduk. Wajahnya makin sendu
dan tawadhuk. Dari kejauhan kulihat langkahnya yang ringan menuju mushola untuk
mengambil air wudhuk. Sebuah kesadaran diri yang besar telah terjadi, bisa jadi
ia disebut kalah karena dianggap tak memenuhi kualifikasi dalam kompetisi.
Namun sejujurnya ia kini telah bermetamorfosa menjadi hamba yang sejati, telah
menemukan dirinya sendiri. Wallahu a’lam
Batoh,
12 November 2016
[1] Berkowitz (1993)
mengatakan bahwa frustrasi menyebabkan sikap siaga untuk bertindak secara
agresif karena kehadiran kemarahan yangdisebabkan oleh frustrasi itu sendiri.
[2] William James (1890-1950) menggambarkan pikiran sebagai arus
kesadaran (stream of consciousness), aliran yang terus-menerus dari sensasi,
citra, pikiran, dan perasaan yang terus berubah. Pikiran kita terpacu dari
topik satu ke topik berikutnya: dari berpikir tentang segala sesuatu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar