Berita
yang terpampang di negeri sendiri seringkali membuat kita menahan nafas karena
isi berita yang bertentangan dengan hati nurani kita. Berbagai borok moral
rasanya sudah menjadi menu berita yang lazim untuk dikonsumsi masyarakat. Borok
yang aslinya adalah luka di tubuh kita, biasanya akan berdarah dan bernanah
jika tak segera dimanajemeni dengan baik. Demikian pula borok karakter, akan
berdarah, bernanah bahkan mungkin berulat jika borok tersebut dibiarkan saja
bahkan diterima sebagai sebuah kelaziman.
Terus terang kita yang mestinya
bangga kadang dibuat malu hati menyandang nama besar sebuah negri. Negri yang
luas dan indah lengkap dengan kekayaan sumber daya alam plus kekayaan sumber
daya manusia, mestinya membuat kita penghuninya menjadi bangga. Namun
kenyataannya banyak borok yang membuat kita jadi malu hati dan kebanggaan itu
terkikis perlahan jika kita tidak mengobatinya dari sekarang.
Di negri orang saya menemukan jati
diri anak negri yang sebenarnya. Salah satunya saya lihat dari sosok Bang Anwar
dan kak Nafisah. Perantau asal Aceh yang mengadu peruntungan nasib di negri
Kanguru. Sejak awal berkenalan dengan keluarga ini, saya sudah merasakan aura
positif yang mengalir. Bahasa verbal yang akrab dan lugas, bahasa wajah yang
ramah dan tulus ditambah dengan bahasa tubuh yang apa adanya. Bang Anwar
bekerja sebagai tenaga kerja semi-skill
dengan gaji yang cukup memadai untuk kehidupan di Australia. Saya tak
tahu persis apa jenis pekerjaannya, yang menarik bagi saya adalah
kalimat-kalimat yang mengalir penuh dengan isi positif dan pembelajaran tentang
hidup dan kehidupan.
‘Disini
kita belajar bagaimana disiplin, ada seseorang yang parkir di lokasi parkir
difabel maka segera akan datang petugas untuk melakukan tilang’
‘Jangankan
tawar menawar, dialog pun secukupnya. Petugas melihat kesalahan dan segera
melakukan tugasnya untuk melakukan tilang’
‘Disini
kita belajar menyintai ciptaan Allah swt. Kita tak boleh sembarangan menebang
pohon, satu pohon kita tebang walaupun itu di depan rumah kita akan didatangi
petugas dan didenda’
‘Disini
kita belajar menyintai dan mengkonsumsi produk sendiri. Pemerintah tak akan
mengimpor apapun yang bisa dihasilkan di negri sendiri. Dengan cara ini, para
petani makmur, pengusaha lokal juga terlindungi’
‘Disini
kita belajar menyayangi anak kita sebagai manusia seutuhnya, saat usia anak
maka bermain pun menjadi porsi utama. Jarang sekali ada PR, kebahagiaan,
kerjasama, saling tolong menolong lebih diutamakan daripada sekedar nilai angka
dari PR’.
Bang
Anwar terus bercerita, kami semua terkesima mendengarnya. Terkesima bukan hanya
karena isi cerita itu, namun saya khususnya terkesima karena itu dari sosok
yang bersahaja. Sambil mencicipi
hidangan yang disuguhkan, azan pun bergema. Bang Anwar bersama Bang Bachtiar
(suamiku) & Thariq (anakku) bergegas menuju masjid, tinggallah aku, kak
Nafisah & putri semata wayangnya
‘Fatimah azzuhra’ di rumah itu. Setelah aku dan kak Nafisah shalat maghrib,
kak Nafisah menghidangkan makan malam. Sambil menunggu yang lainnya, ia
melanjutkan dialog tentang dirinya dan keluarganya.
‘Apa yang disampaikan abang tadi
sepenuhnya benar, coba kakak lihat bagaimana bentuk rumah disini. Sederhana
kan?’
‘Gedung
tinggi hanya apartemen, Mall, perkantoran, kampus dan sejenis.Rumah tinggal
bentuknya sederhana. Tidak ada yang berlebihan atau terlalu mewah. Meskipun
perlengkapan serba modern namun tetap saja
lebih ditekankan pada fungsi peraatan itu, bukan kemewahan tampilannya’
‘Demikian
juga pakaian, indah , rapi namun tetap bersahaja. Kakak silakan lihat mebel di
rumah saya, ini rata-rata adalah barang second atau hibah. Kita disini saling
membantu satu dengan yang lain, apalagi sesama perantau’
‘Jika
di Indonesia, anak seusia Fatima sudah bisa minta ini dan itu. Namun disini
tidak. Itu karena di sekolahnya para guru juga tampil bersahaja, anak-anak pun
fokus bermain dan belajar. Anak-anak tak diajarkan untuk bermewah-mewah’
Bang
Anwar, kak Nafisah, fatima dan banyak
keluarga perantau lainnya yang belajar
karakter positif di negri ini juga negri-negri lainnya tentu saja. Kak Nafisah, tipe perempuan gigih yang
menjadi ibu rumah tangga sekaligus melakukan kegiatan ekonomi produktif di
rumahnya. Menerima jahitan baju dan
masakan rantangan menjadi kegiatan yang mendatangkan income tambahan buat
keluarga mereka.
‘Berapa
kak, ongkos jahit sebuah gaun?’
’30
dolar saja’
Ternyata
justru lebih murah dari Banda Aceh. Jika di Banda Aceh, sehelai gaun
sederhana dibandrol 300 ribu (setara 30
dolar Australia) dan gaun renda bisa dibandrol dua kali lipat dari itu. Namun
ongkos jahit di tempat kak Nafisah memberlakukan harga sama, kain katun atau
renda tetap saja 30 dolar ongkosnya.
Apa kita harus buka bengkel karakter[1] di negri asing, kemudian
kita ekspor anak bangsa yang punya borok culas, iri dengki, korupsi, tamak,
pembohong dan segdang borok lain untuk masuk ke bengkel tersebut ? Berapa biayanya? Hehehe. Wah saya lupa, itu
semua kan salah satu muaranya adalah keteladanan. Jika pingin rakyat sederhana,
silakan sang pemimpin sederhana. Jika pingin rakyat cinta produk negri sendiri,
ya jangan sedikit-sedikit impor . Jika ingin rakyat disiplin, ya tetapkan
peraturan secara konsekuen dan konsisten.
Sambil melamun memimpikan indahnya negri tercinta lengkap dengan
manusia-manusianya yang bersahaja tiba-tiba tersentak mendengar ajakan kak
Nafisah untuk makan malam.
‘Silakan
makan, jangan malu-malu’ , meja makan penuh, pinggiran Sydney terasa di
Aceh.................ada tumis udang dan kerupuk muling disana.
Lakemba,
New South Wales, 22112016 Jam 02.00 Waktu Sydney
[1] Kemendiknas (2010) menjelaskan bahwa; Karakter adalah watak,
tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar