salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Kamis, 24 November 2016

CATATAN DARI SYDNEY 2 ( UMI..... UMI GENERASI QUR’ANI)


            Hitam putih kota Sydney memang sangat nyata. Sepertinya para pencari jalan ke syurga yang berdiam di kota ini memang sudah teruji insyaa Allah. Hal ini karena jalan syurga dan neraka gamblang dan kasat mata. Saya tak hendak bercerita tentang jalan neraka, biasanya banyak sudah ditulis lewat laporan selayang pandang hiruk pikuk kehidupan malam kota kosmopolitan seperti ini. Saya jatuh hati pada sosok Umi, sebut saja Umi War (Nama telah saya samarkan). Umi War, sahabat lama yang hampir seperempat abad tak bertemu. Terjalin kembali silaturrahmi , itulah kehendak Allah swt.
Pelukan erat dan jamuan makan malam mengawali pertemuanku dengan beliau sekeluarga. Umi, demikian anak-anak memanggilnya tetap cantik dan gesit seperti waktu muda dulu. Tak banyak berubah penampilannya, satu hal yang berubah makin oke adalah kemampuan bahasa Inggrisnya yang bak native speaker plus kelincahannya menyusuri jalan-jalan kota Sydney dengan mengendarai mobil.
Setelah jelang seminggu saya di Sydney, saya berkesempatan untuk melihat langsung aktivitas Umi sehari-hari. ‘Insyaa Allah saya akan jempuk kakak Jam 16.45, kakak boleh berbagi ilmu dan pengalaman di depan orang tua dan anak-anak didik kami’. Perjalanan menuju tempat umi mengajar merupakan perjalanan yang cukup mengasyikkan, umi banyak bercerita tentang kondisi para orang tua siwa khususnya para ibu, juga kondisi siswa.
 ‘Banyak orang tua khususnya orang tua Indonesia yang khawatir dengan pendidikan anak-anaknya, apalagi kalau si anak sudah remaja. Makanya kegiatan agama menjadi sangat penting untuk fondasi anak-anak kita nanti’
Umi melanjutkan kisahnya tentang pengalamannya mengajarkan Islam di negri ini. Tak terasa sampailah kami di sebuah bangunan sederhana namun cukup asri dan disana saya lihat anak-anak serta para orang tua telah berkumpul. Oleh karena masukan dari Umi banyak ibu maupun anak yang sulit mengontrol emosinya maka sharing sore itu diisi dengan bagaimana melakukan manajemen emosi.
Saya kembali ke sosok Umi, sosok yang komplit insyaa Allah untuk dikategorikan perempuan muslimah modern yang tangguh dan kreatif.  Jika saya gunakan formula PERMA[i], sosok Umi bisa dicandrakan sebagai berikut :
Positive Emotion (Emosi Positif)
Selalu saja tersungging senyum di bibirnya, peduli pada para orang tua khususnya ibu, dan anak muridnya. Umi terlihat mengajarkan anak-anak bukan hanya dengan otak, namun mengajar dengan cinta. Umi merasa positif, ia memotret masa lalu dengan kesukaan , bahkan ia kadang menertawakan kejadian yang menurutnya sedikit konyol di masa lalunya. Ia juga mampu memotret masa depan dengan sejuta harapan (‘kakak, insyaa Allah ke depan dapat kita bangun tempat yang representatif buat anak-anak belajar Islam) . Dan tentunya sosok umi dapat menikmati dan menghargai masa kini. Emosi positif inilah membuatnya mampu 'terbang'  melampaui ruang yang menyekat. Bahkan ia juga dapat berjalan satu langkah di depan dibandingkan dengan yang lain.
Engagement (Keterlibatan)
Umi terlibat penuh dengan kehidupannya. Kehidupan pribadinya ia tampilkan secara apik dengan menyajikan kasih sayang utuh buat suami dan anak-anaknya. Dan wauw nya , si umi juga menyajikan kasih sayangnya buat generasi pelanjut negri. Anak-anak Indonesia di perantauan yang haus pendidikan agama dan akhlaqul karimah.
‘Saya tak bisa hanya duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Anak-anak itu juga anak saya, anak kita semua. Saya sedih jika mereka gagal, saya dan semua para orang tua tentu ingin anak-anaknya sukses duniawi dan ukhrowi’
Menjadi guru bagi jiwa generasi yang tengah mencari adalah panggilan jiwa umi. Oleh karena kegiatan ini panggilan jiwanya, ia merasa terbang tinggi menikmati profesinya sebagai guru generasi. Umi tetap terlibat secara penuh meskipun tak bergaji seperti layaknya orang kantoran. Jika jiwa terpanggil, rupiah atau dolar menjadi ukuran paling akhir.
Relationship (Hubungan)
Hubungan yang terjalin secara kat antara umi sekeluarga dengan para orang tua dan anak-anak membuat proses pendidikan menjadi lebih lancar. Jika di Indonesia sering terlihat hanya sopir atau pembantu yang mengantar jemput anak sekolah, namun di negri ini orang tua lah yang bertanggung jawab penuh. Komunikasi umi dengan para orang tua siswa menjadi intens. Kunci sebuah hubungan adalah keseimbangan, terlihat amatlah seimbang hubungan yang terjalin antara umi, para orang tua dan murid. Dukungan orang tua cukup baik bagi umi dkk serta sekolah tersebut.
Meaning (Makna)
Umi mengejar tujuan bersama, yaitu tujuan mendidik generasi penerus. Kebermaknaan dalam hidup akan lebih mudah diraih jika yang dikejar bukan hanya tujuan pribadi semata. Tujuan yang sifatnya kolektif dan melibatkan orang banyak seringkali justru mampu menghadirkan butir-butir bahagia di hati kita. Umi sudah , sedang dan insyaa Allah terus melakukan itu.
Accomplishment (Sukses meraih prestasi)
Jika kita masih sibuk dengan prestasi pribadi, umi sudah melampaui itu. Ia begitu menikmati proses untuk mencapai prestasi itu sendiri. Proses bagaimana ia dan tim nya menyusun kurikulum untuk anak-anak. Proses bagaimana anak-anak antusias dalam belajar. Proses bagaimana pasang surut motivasi anak-anak. Proses bagaimana tantangan internal maupun eksternal yang menghadang. Dan hasil yang diraih berupa prestasi anak didik yang insyaa Allah sholeh dan sholehah. Kesuksesan umi dan tim nya dalam mendidik anak-anak Indonesia, membuatnya juga dipercaya mengajarkan agama untuk anak-anak berkebangsaan lain.
Bahagia umi adalah salah satu representasi bahagia hakiki. Bahagia yang tak hanya diukur dengan materi, namun bahagia yang ditakar dengan bersih dan tulusnya hati. Sambil menyimaknya mengajar Al Qur’an terlihat disudut sana sekelompok anak Pakistan, India, Arab, Libanon, Palestina yang mengaji bersama umi. Ukhuwah islamiyah dirajut indah di tangan dingin seorang muslimah seperti umi, barakallah adindaku sayang. Semoga Allah swt senantiasa menjaga dan memudahkan segala urusan adinda sklg.
Note : Nama Umi War adalah nama samaran
Lakemba-New South Wales , 25112016  Jam: 03.21 waktu Lakemba (WIB :23.21 tgl 24112016)






[i] PERMA  (Positive Emotion, Engagement, Relationship, Meaning, Accomplishment) adalah Well Being Formula dari Martin Seligman

Senin, 21 November 2016

Catatan dari Sydney 1 (Belajar Karakter di Perantauan)



            Berita yang terpampang di negeri sendiri seringkali membuat kita menahan nafas karena isi berita yang bertentangan dengan hati nurani kita. Berbagai borok moral rasanya sudah menjadi menu berita yang lazim untuk dikonsumsi masyarakat. Borok yang aslinya adalah luka di tubuh kita, biasanya akan berdarah dan bernanah jika tak segera dimanajemeni dengan baik. Demikian pula borok karakter, akan berdarah, bernanah bahkan mungkin berulat jika borok tersebut dibiarkan saja bahkan diterima sebagai sebuah kelaziman.
            Terus terang kita yang mestinya bangga kadang dibuat malu hati menyandang nama besar sebuah negri. Negri yang luas dan indah lengkap dengan kekayaan sumber daya alam plus kekayaan sumber daya manusia, mestinya membuat kita penghuninya menjadi bangga. Namun kenyataannya banyak borok yang membuat kita jadi malu hati dan kebanggaan itu terkikis perlahan jika kita tidak mengobatinya dari sekarang.
            Di negri orang saya menemukan jati diri anak negri yang sebenarnya. Salah satunya saya lihat dari sosok Bang Anwar dan kak Nafisah. Perantau asal Aceh yang mengadu peruntungan nasib di negri Kanguru. Sejak awal berkenalan dengan keluarga ini, saya sudah merasakan aura positif yang mengalir. Bahasa verbal yang akrab dan lugas, bahasa wajah yang ramah dan tulus ditambah dengan bahasa tubuh yang apa adanya. Bang Anwar bekerja sebagai tenaga kerja semi-skill  dengan gaji yang cukup memadai untuk kehidupan di Australia. Saya tak tahu persis apa jenis pekerjaannya, yang menarik bagi saya adalah kalimat-kalimat yang mengalir penuh dengan isi positif dan pembelajaran tentang hidup dan kehidupan.
‘Disini kita belajar bagaimana disiplin, ada seseorang yang parkir di lokasi parkir difabel maka segera akan datang petugas untuk melakukan tilang’
‘Jangankan tawar menawar, dialog pun secukupnya. Petugas melihat kesalahan dan segera melakukan tugasnya untuk melakukan tilang’
‘Disini kita belajar menyintai ciptaan Allah swt. Kita tak boleh sembarangan menebang pohon, satu pohon kita tebang walaupun itu di depan rumah kita akan didatangi petugas dan didenda’
‘Disini kita belajar menyintai dan mengkonsumsi produk sendiri. Pemerintah tak akan mengimpor apapun yang bisa dihasilkan di negri sendiri. Dengan cara ini, para petani makmur, pengusaha lokal juga terlindungi’
‘Disini kita belajar menyayangi anak kita sebagai manusia seutuhnya, saat usia anak maka bermain pun menjadi porsi utama. Jarang sekali ada PR, kebahagiaan, kerjasama, saling tolong menolong lebih diutamakan daripada sekedar nilai angka dari  PR’.
Bang Anwar terus bercerita, kami semua terkesima mendengarnya. Terkesima bukan hanya karena isi cerita itu, namun saya khususnya terkesima karena itu dari sosok yang bersahaja.  Sambil mencicipi hidangan yang disuguhkan, azan pun bergema. Bang Anwar bersama Bang Bachtiar (suamiku) & Thariq (anakku) bergegas menuju masjid, tinggallah aku, kak Nafisah  & putri semata wayangnya ‘Fatimah azzuhra’  di rumah itu.  Setelah aku dan kak Nafisah shalat maghrib, kak Nafisah menghidangkan makan malam. Sambil menunggu yang lainnya, ia melanjutkan dialog tentang dirinya dan keluarganya.
            ‘Apa yang disampaikan abang tadi sepenuhnya benar, coba kakak lihat bagaimana bentuk rumah disini. Sederhana kan?’
‘Gedung tinggi hanya apartemen, Mall, perkantoran, kampus dan sejenis.Rumah tinggal bentuknya sederhana. Tidak ada yang berlebihan atau terlalu mewah. Meskipun perlengkapan serba modern namun tetap saja  lebih ditekankan pada fungsi peraatan itu, bukan kemewahan tampilannya’
‘Demikian juga pakaian, indah , rapi namun tetap bersahaja. Kakak silakan lihat mebel di rumah saya, ini rata-rata adalah barang second atau hibah. Kita disini saling membantu satu dengan yang lain, apalagi sesama perantau’
‘Jika di Indonesia, anak seusia Fatima sudah bisa minta ini dan itu. Namun disini tidak. Itu karena di sekolahnya para guru juga tampil bersahaja, anak-anak pun fokus bermain dan belajar. Anak-anak tak diajarkan untuk bermewah-mewah’
Bang Anwar, kak Nafisah, fatima  dan banyak keluarga perantau lainnya  yang belajar karakter positif di negri ini juga negri-negri lainnya tentu saja.  Kak Nafisah, tipe perempuan gigih yang menjadi ibu rumah tangga sekaligus melakukan kegiatan ekonomi produktif di rumahnya.  Menerima jahitan baju dan masakan rantangan menjadi kegiatan yang mendatangkan income tambahan buat keluarga mereka.
‘Berapa kak, ongkos jahit sebuah gaun?’
’30 dolar saja’
Ternyata justru lebih murah dari Banda Aceh. Jika di Banda Aceh, sehelai gaun sederhana  dibandrol 300 ribu (setara 30 dolar Australia) dan gaun renda bisa dibandrol dua kali lipat dari itu. Namun ongkos jahit di tempat kak Nafisah memberlakukan harga sama, kain katun atau renda tetap saja 30 dolar ongkosnya.
            Apa kita harus buka bengkel karakter[1] di negri asing, kemudian kita ekspor anak bangsa yang punya borok culas, iri dengki, korupsi, tamak, pembohong dan segdang borok lain untuk masuk ke bengkel tersebut ?  Berapa biayanya? Hehehe. Wah saya lupa, itu semua kan salah satu muaranya adalah keteladanan. Jika pingin rakyat sederhana, silakan sang pemimpin sederhana. Jika pingin rakyat cinta produk negri sendiri, ya jangan sedikit-sedikit impor . Jika ingin rakyat disiplin, ya tetapkan peraturan secara konsekuen dan konsisten.  Sambil melamun memimpikan indahnya negri tercinta lengkap dengan manusia-manusianya yang bersahaja tiba-tiba tersentak mendengar ajakan kak Nafisah untuk makan malam.
‘Silakan makan, jangan malu-malu’ , meja makan penuh, pinggiran Sydney terasa di Aceh.................ada tumis udang dan kerupuk muling disana.
Lakemba, New South Wales,  22112016  Jam 02.00 Waktu Sydney








[1] Kemendiknas (2010) menjelaskan bahwa; Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang  terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

Jumat, 11 November 2016

SANG KANDIDAT 1 (A Psycho-Story by Nur Janah AlSharafi)



            Jaket kulit hitam dilengkapi dengan kemeja dan celana jeans hitam adalah kemasan luar yang ditampilkan sosok ini untuk membangun wibawanya. Bukankah warna hitam adalah warna gradasi lengkap yang selalu dikonotasikan untuk mendongkrak citra si pemakainya ? Bisa jadi iya, namun jelasnya memang itu yang dimaksud. Hitam adalah wibawa dan hitam adalah kekuasaan. Sosok ini mendampingi beberapa orang yang sedang berjuang untuk mendapatkan kesempatan kedua mengikuti sebuah kompetisi penting memperebutkan posisi di negri Antara. Yang mana ya orang yang diperjuangkan itu ? iya mataku mesti cermat menganalisa karena jumlah rombongan yang dibawanya cukup banyak, barangkali ada asisten, keluarga, pihak terkait bahkan mungkin juga para pemburu berita.
‘Ibu hadir atas nama siapa?’ tanyanya menyelidik.
‘Saya hadir atas nama diri saya sebagai asesor yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan’
‘Mana legalitas untuk dapat melakukan pemeriksaan hari ini?’
‘Ini legalitas saya’
‘Coba lihat, ini adalah SK yang dibuat oleh Presiden Negri Antara. SK ini telah kadaluarsa karena berlaku hingga kemarin tanggal 31 Oktober 2016. Sementara hari ini adalah tanggal 1 November 2016’
Nada yang tinggi dan menyerang dengan lantang disuarakan oleh si jaket hitam. Ada nada keras, marah dan menyerang pada kata-kata yang diucapkannya. Mengapa kata-katanya begitu kasar? Apakah itu gayanya atau ia menjadi demikian karena frustrasi ?[1] Terus terang aku terpojok dengan pernyataannya. Akhirnya aku diam dan meminta waktu sejenak untuk berkonsultasi dengan sekretariat kepresidenan negri Antara.
‘Ibu mesti tetap lakukan pemeriksaan tersebut, karena ini adalah kesempatan terakhir buat kandidat’
‘Namun SK saya sudah kadaluarsa pak, apakah Bapak presiden dapat memberikan SK baru buat saya hari ini?’
‘Ditunggu ibu, SK akan segera diemail dalam beberapa saat’
Menunggu yang paling tidak enak, adalah menunggu sesuatu sambil diadili oleh beberapa pasang mata yang penuh selidik. Aku merasakan mata itu menghunus jati diriku secara perih. Ada kombinasi cibiran bibir yang mengecilkan apakah aku mampu meyakinkan sekretariat kepresidenan negri Antara untuk menerbitkan SK secara ekstra kilat. Kulirik gadgetku dan ya.....email yang ditunggu telah kuterima.
‘ini SK perpanjangan yang anda minta’
Si jaket hitam membaca email tersebut  dan ekspresinya berubah total dari ekspresi bermusuhan menjadi netral.
‘Kalau begitu saya ijinkan klien saya untuk diperiksa hari ini’
            Lepas dari si jaket hitam , kini aku berhadapan dengan sosok peserta kompetisi kandidat calon Kepala Distrik Area Negri Antara. Sosok yang ini lagi, gumamku dalam hati. Seingatku sosok yang sama telah kuhadapi sebulan yang lalu, pada kompetisi umum. Ia gagal total dan dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi untuk melanjutkan kompetisi. Ia hadir lagi semata-mata karena undang-undang negri memperbolehkan siapapun peserta kompetisi yang gagal pada kompetisi umum boleh meminta pemeriksaan ulang apabila dapat memperjuangkan surat ijin dari presiden. Kenyataannya ia ulet dan ia mendapatkan surat itu. Tepok jidat
‘Ijinkan saya menjelaskan lebih dahulu metode dan aspek pemeriksaan yang hendak dilakukan’
‘silakan’
‘Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan kompetensi bapak sebagai kandidat kepala Distrik Area. Kompetensi yang akan diperiksa adalah kompetensi utama, kompetensi peran dan kompetensi pendukung’
‘Metode pemeriksaan multimethod sehingga Bapak akan dihadapkan pada soal tertulis, wawancara, studi kasus, simulasi dan metode pendukung lainnya’
Aku mencoba menyimak file pemriksaan awal yang bersangkutan.  Kompetensinya jauh dari yang diharapkan. Terjadi gap yang cukup jauh antara kompetensi yang dituntut dengan yang ditampilkan. Yah...memang kadangkala seseorang tak mampu bercermin dengan cermat. Merasa cantik atau tampan mungkin biasa, apalagi jika sudah dipoles dengan sapuan make up dan dandanan yang mendongkrak. Namun merasa diri pintar dan hebat, agak lebih sulit untuk diterima. Bukankah kepintaran itu mengalir dai setiap kata dan tindak yang dipilih, dan bukankah kehebatan itu tercermin dari setiap karya yang  dihasilkan oleh pikiran dan tangannya. Jika kemudian cermin diri semakin buram, akan lahir sosok manusia nekad yang merasa diri paling oke dan hebat sehingga merasa mampu menduduki singgasana yang puncak sekalipun.
‘Bu, kasus yang harus saya pecahkan ini terlalu rumit. Saya tak bisa menyelesaikannya meskipun ibu memberi waktu 60 menit’
‘Bapak bisa mencobanya silakan’
‘Sudah saya simak, baca dan coba’
‘ini baru 10 menit berjalan pak, masih ada 50 menit lagi’
‘Saya merasa terlalu memaksakan diri untuk minta dilakukan pemeriksaan ulang. Saya mohon disudahi saja bu pemeriksaan ini’
Tanda tanya besar tiba-tiba bertengger di otakku, apa gerangan yang membuatnya sadar diri tiba-tiba. Meski hal itu bisa saja terjadi, bukankah aliran perubahan pikiran manusia bisa saja berlangsung dengan sangat cepat[2].  Laki-laki itu tiba-tiba berubah wajahnya, dari wajah yang tak bersahabat dan penuh curiga menjadi wajah yang ramah dan tawadhuk. Ia gontai berjalan keluar ruangan menemui penasehatnya, sosok berjaket hitam . Si jaket hitam terlihat marah-marah sambil mengangkat tangannya. Sang kandidat diam saja, ia terlihat menunduk. Wajahnya makin sendu dan tawadhuk. Dari kejauhan kulihat langkahnya yang ringan menuju mushola untuk mengambil air wudhuk. Sebuah kesadaran diri yang besar telah terjadi, bisa jadi ia disebut kalah karena dianggap tak memenuhi kualifikasi dalam kompetisi. Namun sejujurnya ia kini telah bermetamorfosa menjadi hamba yang sejati, telah menemukan dirinya sendiri. Wallahu a’lam
Batoh, 12 November 2016



[1] Berkowitz (1993) mengatakan bahwa frustrasi menyebabkan sikap siaga untuk bertindak secara agresif karena kehadiran kemarahan yangdisebabkan oleh frustrasi itu sendiri.
[2] William James (1890-1950) menggambarkan pikiran sebagai arus kesadaran (stream of consciousness), aliran yang terus-menerus dari sensasi, citra, pikiran, dan perasaan yang terus berubah. Pikiran kita terpacu dari topik satu ke topik berikutnya: dari berpikir tentang segala sesuatu