KDRT atau Kekerasan dalam rumah tangga adalah dua dikotomi yang
bertentangan satu dengan yang lain namun dipaksakan untuk bersanding.
Persandingan yang sumir karena kekerasan yang berkonotasi destruktif, merusak yang satu menjadi
berkeping-keping disandingkan dengan istilah rumah tangga yang bermakna
harmoni, konstruktif dan menyatukan yang berkeping menjadi satu. Apa dan
bagaimana KDRT marilah kita cari jawabannya bersama .
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadapseseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraanatau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaranrumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkuprumah tangga
(Pasal 1 ayat 1, UU 23 PKDRT, 2004) . Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa
korban adalah perempuan, meskipun ada diantara korban tersebut adalah anak-anak
dan sedikit laki-laki.
Bentuk kekerasan dalam KDRT ada beberapa antara lain adalah kekerasan verbal
. Kekerasan verbal adalah peristiwa dimana pelaku menggunakan kata-kata
ditujukan untuk mendefinisikan seseorang secara negatif, dan hal ini
menimbulkan tekanan mental dan penderitaan emosional bagi korbannya (Evans,
2006). Dalam kekerasan verbal ini kata-kata yang meluncur dari mulut pelaku
dapat beruba bentakan, pelecehan, sindiran dan sebagainya. Hal itu digunakan
sebagai ekspresi kekuasaan yang dimilikinya untuk menekan korban. Pelaku
berusaha menguasai pikiran korban melalui sugesti verbal yang dilakukannya .
Kekerasan fisik
adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat seperti, dipukul/ditinju,
dicakar, diinjak, dibanting, ditampar, digigit,
dijambak, ditedang, didorong secara
kasar , disekap, disundut rokok, diikat, disiksa dengan senjata (senjata tajam,
senjata api, benda tumpul, api, setrika) dan sebagainya . Dalam kekerasan fisik , pelaku
memperlakukan korban sebagai objek seolah ‘benda mati’ yang dapat diperlakukan
sesuka hatinya. Penderitaan korban dalam kekerasan jenis ini benr-benar
merupakan penderitaan lahir batin sekaligus.
Bentuk kekerasan lainnya adalah Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang seperti : diancam akan dicerai, diancam akan ditinggal
pergi, dipisahkan dari anak serta tidak
boleh menemui keluarganya.
Kekerasan dan penelantaran
ekonomi adalah
tindakan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi, seperti pembatasan
dan/atau melarang bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga
korban di bawah kendalinya, tidak diberi nafkah, bekerja tidak dibayar, dibatasi secara ketat tidak boleh bekerja dan sebagainya. Pada bentuk kekerasan dan
penelantaran ekonomi, korban diposisikan sebagai sosok yang tergantung
sepenuhnya kepada pelaku bukan berdasarkan tanggung jawab atau kasih sayang
melainkan semata berdasarkan ego kekuasaan yang diekspresikan pelaku sebagai
bentuk penguasaan atau penjajahan terhadap korban. Kekerasan seksual adalah kekerasan yang
bernuansa seksual termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai
makna seksual dan berbagai bentuk pemaksaan hubungan seks yang tidak
dikehendaki salah satu pihak,
seperti pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, paksaan melakukan hubungan
seks dengan cara yang tidak disukai,
pemaksaan menggunakan alat bantu seks , menjual istri/anak sebagai
penjaja seks. Relasi seksual yang
dibangun oleh pelaku kepada korban merupakan relasi seksual yang sakit dan tak
seimbang. Hal ini karena istri sebagai korban diposisikan hanya sebagai objek
pemuas nafsu saja.
Demikian
bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya adalah perempuan
dan anak.
Kapal keluarga yang mengarungi lautan kehidupan mestinya berlayar secara
indah dan harmonis. Jika pun ada gelombang dan badai tentu akan disiasati
secara apik. Namun jika gelombang dan badai kehidupan disikapi dengan konflik ,
kemarahan, kekerasan tentu saja akan jatuh korban dari anggota keluarga itu
sendiri. KDRT terjadi melalui beberapa penyebab, penyebabnya oleh Murray (1999) diidentifikasi dalam beberapa hal antara lain
: a). Pembelaan atas kekuasaan
laki-laki, dimana laki-laki dianggap sumber daya superior yang mampu mengatur
dan mengendalikan perempuan , b). Diskriminasi & pembatasan bidang ekonomi,
dimana perempuan diposisikan tergantung pada suami sehingga
ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan, c).
Beban pengasuhan anak, Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap
anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah
tangga (bukankah anak tersebut adalah anak ayah & bunda ? ), d). Perempuan diposisikan sebagai ’anak-anak’
, konsep bahwa perempuan sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak
dan kewajiban perempuan. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan
kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar
menjadi tertib. Bahkan untuk mencapai ’tertib’ seringkali suami melakukan
kekerasan kepada istri.
Penyebab lainnya yang perlu dikaji lebih mendalam adalah media . Media
dalam hal ini adalah internet, televisi, audio bahkan media cetak (surat kabar,
majalah, buku-buku ) dan sebagainya. Posisi media dapat pada posisi traumatic event, conditioning event &
precipitating event[2] .
Ekspose kekerasan di media merupakan menu indera yang menstimulasi indera
pemirsanya baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu penyebab
meningkatnya karakter agresif pada manusia antara lain adalah konsumsi
agresivitas yang diperolehnya dari berbagai tayangan baik cetak maupun elektronik. Sajian agresif tidak
serta merta langsung berpengaruh pada pemirsanya, namun tergantung dari
frekuensi dan intensitasnya. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan adanya
kausalitas terbalik yang menyatakan bahwa tipe pemirsa agresif cenderung akan
mencari dan menikmati tayangan agresif. Meskipun demikian kita tak bisa
memandang sebelah mata bahwa ternyata anak-anak kita ’belajar agresif’ dari tokoh idolanya yang diambil dari film ,
kartun bahkan game yang dinikmatinya sehari-hari [3]
Jangan dibayangkan pelaku
KDRT itu sosok yang seram dan kejam membawa gada untuk memukul bahkan hingga membunuh. Bayangan anda
tersebut bisa jadi persis namun bisa jadi jauh bertolak belakang. Kita tak
habis pikir mengapa seorang laki-laki santun, alim, lembut, berpendidikan
tinggi (Doktor) dan berprofesi sebagai pendidik ternyata mampu menyakiti dan
membunuh istrinya sendiri (kasus pembunuhan pegawai BRI Padang , april 2015)
Saparinah
Sadli (dalam Panani, 2013) mengemukakan beberapa
tipologi pelaku KDRT , tipe tersebut adalah sebagai berikut : 1). Tipe
pencemburu yang posesif dan sangat
tergantung pada pasangan , 2). Tipe
agresif yang setiap bertengkar selalu diselesaikan dengan
kekerasan, 3). Tipe dominan dan tidak menyukai apabila istri terlihat independen, mandiri, karena dianggap tidak menghormati suami.
Pada tipe ini jika dominansinya terusik maka kekerasan akan mudah terjadi, 4). Tipe
yang dependen dan pasif menerima apa saja yang dilakukan
istri, suatu saat bisa berubah dengan tidak kekerasan pada istri,
5). Tipe depresi yang
inferior, berpikir negatif dan tertekan. Tipe ini awalnya menjalin relasi yang
baik dengan pasangan namun bisa saja tiba-tiba melakukan kekerasan. , 6). Tipe
temperamental yang merasa berhak untuk melakukan apa saja, termasuk hilang
kontrol melakukan kekerasan baik fisik maupun emosional. Ketika ia sadar ia
akan minta maaf menghibah-hibah pada istri. Sifat temperamental ini akan
berulang terus menerus.
Tipologi Pelaku KDRT oleh Holtzworth-Munroe
dan Stuart (dalam Margaretha, 2015), dimana dijelaskan ada 3 tipe pelaku: 1)
pelaku kekerasan hanya terbatas dalam keluarga (family only), biasanya memiliki kepribadian
pasif-tergantung , 2) pelaku kekerasan
disforia/ambang (dysphoric/borderline), tipe ini menunjukkan gejala depresi, frustrasi
dan sangat mudah terpancing emosinya, beberapa pelaku menunjukkan gangguan
kepribadian serta mengkonsumsi narkoba atau zak addiktif lainnya, dan 3)
Tipe antisocial, yang memiliki kepribadian antisocial, mereka melakukan
kekerasan di dalam maupun di luar rumah tangga. Topeng kewarasan (The
mask of sanity) yang digunakan
oleh pelaku memungkinkannya menampilkan
diri sebagai pribadi yang sehat, waras, sukses dan mempesona. Bahkan tak jarang
ia dapat dengan baik memerankan diri sebagai sosok yang alim dan ‘sholeh’. Topeng
yang ‘sempurna’ mampu menjungkirbalikkan fakta seorang ‘korban’ yang berubah
menjadi ‘pelaku’ Selain itu topeng ini
juga dapat mengecoh masyarakat bahkan polisi sekalipun sehingga membutuhkan
waktu yang cukup lama dan intens untuk dapat membuka topeng tersebut.
Metamorfosa : dari ’gada’ menjadi
’cinta’
Jika ulat yang gatal & menjijikkan dapat bermemorfosa
menjadi kupu-kupu yang indah & menarik, mengapa tidak sosok manusia pelaku
KDRT yang dimetaforakan sebagai ’gada’ (pemukul) bermetamorfosa menjadi sosok
yang penuh ’cinta’. Untuk mengubah ’ulat’ menjadi ’kupu-kupu’ , ’loyang’
menjadi ’emas’ , ’gada’ menjadi ’cinta’ , perlu perhatian khusus terhadap
beberapa hal berikut : 1). Pemrograman
kembali (re-programming) , pada
proses ini akan diuraikan ”sesuatu yang telah dicetak” (imprint) sejak lama (apalagi sejak dini) diuraikan kembali . Walaupun
imprint seolah tak dapat diubah,
namun ternyata oleh Timothy Leary dapat dilakukan pemrograman kembali (Wikipedia). Sehingga
perlu suatu optimisme untuk membumikan paradigma kesetaraan tersebut [4]. Pemrograman kembali pola
pikir, emosi dan perilaku korban maupun pelaku menjadi suatu keniscayaan jika
memang kita sepakat untuk menekan angka KDRT sekecil mungkin. Proses ini dapat
dilakukan dalam bentuk intervensi
individu , kelompok maupun massa, 2). Penguatan
keluarga , pada proses ini dilakukan
penguatan terhadap makna dan hakekat keluarga itu sendiri kepada para
anggotanya. Sehingga sinergi antar anggota keluarga terjalin untuk secara
bersama melangkah mencapai tujuan [5], 3). Membangun kesehatan raga & jiwa dalam rumah tangga sangatlah perlu untuk
mencegah terjadinya KDRT. Raga yang sehat dibangun dengan asupan kebiasaan raga
yang positif seperti makanan yang halal & thayib serta olah raga secara
teratur. Raga yang sehat akan mendukung
terjadinya sirkulasi energi yang lancar sehingga mudah mencapai kesehatan secara
utuh. Tidur nyenyak dan cukup juga salah satu kunci agar seseorang sehat [6]. Adapun kesehatan jiwa yang perlu dibangun
adalah karakter atau jati diri anggota keluarga yang meneladani karakter para
rasul utusan Allah swt khususnya Rasulullah Muhammad saw merupakan uswatun
hasanah kita dalam berkeluarga. Membangun karakter sehat mental yang islami
dapat berpola pada rukun islam
4). Membangun iklim
non agresif , secara jujur kita akui bahwa model perilaku non
agresif semakin langka di zaman ini. Penelitian Donnerstein & Donnerstein pada tahun 1976 (dalam Hanurawan,
2004) ditemukan bahwa individu yang mengamati perilaku model non agresif
menunjukkan tingkat agresi yang lebih rendah daripada individu yang tidak
mengamati perilaku model non agresif. Utuk itu orang tua dan masyarakat secara
luas dapat mensosialisasikan kembali pentingnya hidup tentram , damai dan non
agresif untuk mendukung hal ini , 5). Membangun ‘ Caring Society ‘ dengan iklim
Cerdas Emosi & Cerdas Spiritual (reeligĂ, agama) : Memasukkan
variabel kepedulian secara psikologis maupun sosial dalam pembangunan desa.
Memberdayakan institusi yang ada baik yang bersifat umum atau keagamaan untuk membangun masyarakat yang peduli.
Aparatur desa dan perangkatnya dapat lebih proaktif terhadap anggota
masyarakatnya sehingga dapat memotret lebih awal segala situasi dan kondisi
yang mungkin terjadi. Dialog yang cerdas emosi dan spiritual (keterpaduan
kesalehan individu & sosial), 6). Memahami
akses informasi & melakukan pelaporan
jika terjadi KDRT atau kekerasan lainnya.
…………………………………………………………………
Berkeluarga
itu mencari bahagia,
Sehingga sejak
awal benang & jarum yang kita pilih karena cinta
Memintal tenun
perjalanan kehidupan
Menebar karya
dan ceria
Untuk
selanjutnya menuju kesana
REFERENSI
Undang-undang
Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 95.
Save M.
Dagun, Psikologi Keluarga, Renika Cipta, Jakarta, 2002
Evans,
P. (2006). The Verbally
Abusive Man, Can He Change: A Guide for Women to Deciding to Stay or Go.
Adams Media: Massachusetts.
Menguak
sebab Laki-Laki melakukan KDRT, Sri Yulita Pramulia Panani, Rifka Annisa,
Februari 2013
Murray A. Straus .
(1999) Violence in Intimate Relationships. Saduran dari website
Nur Janah Yazid
Asyarafi, Face book
Hare,
Robert D. Dr. Robert Hare's Page for the Study of Psychopaths. January 29, 2002
(cited April 5, 2002.)
Tipologi
pelaku KDRT, Margaretha, 2015, psikologi forensic.com
Cahyadi
Takariawan, ", 10 ciri keluarga sakinah, Kompasiana , april 2015
Precipitating
event →
peristiwa pencetus yang munculnya simtom-simtom kritis
Conditioning event → pristiwa yang terus terjadi dalam kehidupan (yang
tidak diharapkan)
[3] Tokoh-tokoh
dalam film keras biasanya digambarkan sebagai orang yang kuat, agresif dalam
meraih kesuksesan dan memecahkan persoalan itu diperolehnya dengan jalan
kekerasan. Tokoh inilah yang dalam kehidupan anak & remaja dikagumi yang
kemudian dijadikan model identifikasi (Gunarsa, 1983)
[4] Imprint adalah kejadian
penting di masa lalu yang membentuk keyakinan seseorang. Istilah Imprinting
(membekas, menjejak, terprogram) dikenalkan oleh Konrad Lorenz ketika
mempelajari perilaku bebek ketika menetas. Anak bebek mengikuti kemana induknya bergerak. Dan
lucunya dalam eksperimen tersebut ia
mengikuti apa saja yang bergerak dan ia anggap seolah ”induknya” (fenomena
salah cetak yang jadi ”permanen”)
[5] Ciri keluarga sakinah :
1). Berdiri diatas fondasi keimanan yang kokoh, 2). Menunaikan misi ibadah
dalam kehidupan, 3). Mentaati ajaran agama , 4). Saling menyintai &
menyayangi, 5). Saling menjaga & menguatkan , 6). Saling memberikan yang
terbaik untuk pasangan , 7). Mudah menyelesaikan permasalahan, 8). Membagi peran
berkeadilan, 9). Kompak mendidik anak, 10). Berkontribusi untuk kebaikan
masyarakat, bangsa & negara
[6] Salah satu gangguan tidur
yang ditengarai menjadi pemicu agresivitas adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA ditandai
oleh dua gejala utama: mendengkur dan kantuk berlebihan (hipersomnia).
Penderitanya mengalami henti nafas berulang kali selama tidur akibat saluran
nafas yang melemas dan menyempit selama tidur. Hasilnya proses tidur akan
terpotong-potong. Gelombang otak tidur akan terbangun-bangun singkat berulang
kali, tanpa si penderita sadari (perubahan dari gelombang betha / sadar dan
gelombang delta/tidur secara berulang-ulang) .