salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Rabu, 22 Februari 2012

KEBAIKAN = BAIK HATI

( oleh  Nur Janah Nitura , 22 Februari 2012)
(catatan harian)
Terharu aku membaca pesan seorang sahabat  yang dengan panjangnya mengutip kata-kata seorang tokoh  sebagai berikut "Bila engkau baik hati, bisa saja orang menuduhmu punya pamrih.Tapi bagaimanapun berbaik hatilah"
"Bila engkau jujur dan terbuka, mungkin saja orang lain akan menipumu, tapi bagaimanapun jujur dan terbukalah"
"Bila engkau mendapat ketenangan dan kebahagiaan, mungkin orang lain jadi iri, tapi bagaimanapun berbahagialah"
"Bila engkau sukses, engkau akan mendapat beberapa teman palsu dan beberapa sahabat sejati, tapi bagaimanapun jadilah sukses"
"Apabila engkau bangun selama bertahun-tahun mungkin saja dihancurkan orang lain dalam semalam, tapi bagaimanapun bangunlah"
"Kebaikan yang engkau lakukan hari ini mungkin saja besok sudah dilupakan orang, tapi bagaimanapun berbuat baik  lah"
"Bagaimanapun berikan yang terbaik dari dirimu. Pada akhirnya , engkau akan tahu bahwa ini adalah urusan antara engkau dengan Tuhan-mu. Ini bukan urusan antara engkau dengan mereka " .
Kebaikan-baik hati-sebagai salah satu karakter positif di jaman ini menjadi baranglangka yang amat mahal harganya. Tanpa terasa beberapa dasa warsa terakhir manusia disibukkan dengan gerakan otak kiri yang sangat bertumpu pada kecerdasan intelektual  dan materi (benda-benda). Hal ini membuat manusia terjebak dengan kriteria yang dibuatnya sendiri seperti ranking di sekolah (ukur sukses berdasarkan angka saja), derajat/status yang dilihat dari benda-benda yang dimiliki , pangkat/jabatan yang disandang dan sejenisnya. Sehingga seolah tanpa asesoris angka, materi, jabatan , kemewahan manusia menjadi kehilangan kemanusiaannya. Dari sisi kesehatan mental hal ini tak dpat dipandang sebelah mata, karena dampak kriteria kebendaan ini menimbulkan beberapa gangguan psikologis seperti post power syndrome (akibat hilang kekuasaan) , depresi pada siswa (karena nilai di sekolah), rasa rendah diri / inferiority complex  pada ibu-ibu (karena tak memiliki benda-benda seperti yang dipakai atau dimiliki teman2nya) yang membuat manusia menderita. Tanpa disadari sejak dini anak manusia sudah dijejali dengan kriteria angka-angka dan stimulasi kebendaan yang menggiring anak manusia tumbuh berkembang menjadi sosok yang materi minded, kering dan menderita.Keangkuhan kriteria material terpaksa harus dibayar mahal oleh penderitaan manusia sendiri seperti konflik batin (internal), konflik dalam keluarga (berebut harta misalnya), konflik pada lingkungan sosial (persaingan penampilan, materi / kekayaan dll), konflik dalam organisasi (persaingan dalam pangkat, jabatan dll) , konflik level regional, nasional bahkan internasional (kriminalitas, peperangan  dll). Manusia bukan menjadi bahagia, namun justru manusia menjadi menderita. Menghambanya manusia pada materi membuat manusia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, lihat saja bagaimana fenomena yang ada saat ini dimana tanpa malu-malu lagi seseorang yang semestinya "terhormat" rela menanggalkan kemuliaan dirinya untuk terjun dalam lumpur korupsi (menjadi koruptor), meningkatnya kriminalitas,, maraknya kekerasan baik verbal maupun fisik    dan sebagainya.  Cerdas secara inteletual   dan cantik/tampan  saja ternyata tak cukup kuat untuk menjadi modal  kesuksesan dan kebahagiaan hidup.  Cerdas (para orang tua rela bekerja dan membelajakan uangnya agar  anak cerdas )  , demikian pula dengan cantik/tampan (seseorang rela membelanjakan uangnya untuk tampil cantik / tampan).      Manusia terjebak menjadi sosok yang 1) egosentris-- dunia yang luas ini seolah hanya berputar di sekitar dirinya, 2) mahatahu (omniscience)— berpikir bahwa mereka tahu segalanya, 3) mahakuasa (omnipotence) – berpikir bahwa mereka bisa bertindak apapun sesuai keinginannya, 4) invulnerability–berpikir bahwa mereka bisa mendapatkan apapun dengan segala cara (Sternberg, 2004).  Tentu saja sosok seperti ini akan mengganggu keharmonisan , sehingga kita membutuhkan sebungkus "tablet" untuk mengatasinya. "Tablet"  yang ditawarkan sebagai penawar racun materialisme adalah kebaikan, kearifan, akhlaqul karimah, karakter atau istilah lainnya yang sebenarnya terbersit makna bagaimana kita dapat membangun kembali kemanusiaan yang nyaris hilang. Dimana tempat kita menyemai kearifan tersebut? Bagaimana jika kita mulai dari diri kita sendiri ???!!!
- Diri pribadi : kita buat proyek tabungan dan  deposito kebaikan, yang insyaAllah kita tambah terus saldonya per hari. sebelum tidur ingatlah kembali berapa kebaikan yang telah kita semai hari ini ?
- Organisasi/perusahaan/instansi/lokasi kerja: Jika kita pimpinan tanyakan pada diri kita berapakah kebaikan yang telah kita semai di organisasi kerja kita hari ini ? (tersenyum pada satpam, membina anggota, memimpin rapat dengan baik dll) demikian pula jika kita anggota jawablah pertanyaan yang sama ! :)
- Lingkungan  : kebaikan apa sajakah yang telah kita semai untuk lingkungan sosial kita (keluarga, tetangga, masyarakat  , bangsa dan negara dan  bumi yang kita cintai
Kebaikan merupakan salah satu modal sosial yang berperan strategis bagi maju dan mundurnya bangsa ini, semakin sedikit kebaikan individual yang disemai makin sedikit pula kebaikan sosial yang akan dipanen hingga akhirnya bangsa ini akan mengalami krisis kebaikan yang akut. Namun jika kebaikan individual sejak dini terus disemai  maka akan makin banyak kebaikan sosial yang akan dipanen hingga karakter bangsa ini akan makin kokoh menjadi bangsa yang berkarater positif (semoga mimpi suatu saat jadi kenyataan, namun bagaimana mewujudkannya jika mimpi bangsa ini dibongkar pasang tiap ganti pemimpin ?? ) .Okelah jika demikian kembali ke laptop ---> pertanyaannya adalah berapa butir kebaikan yang kita semai hari ini ?  hanya kita dan Sang Khaliq yang tahu , wallahu'alam
( by nur janah nitura ; taman cibunut , 22 februari 2012)

Note : cerdas dalam tulisan diatas hanya sebatas pengertian harfiah yang sering dihubungkan dengan kecerdasan intelektal saja. Padahal dalam psikologi konsep kecerdasan sangatlah luas (misal konsep kecerdasan majemuk / multiple intelligence dari Howard Gardner)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar