Merasakan lembut dan kokohnya tangan mbok Sutinem membuat badanku merasa nyaman. Sejak awal tangannya memijit tubuhku aku bisa menebak bahwa mbok Sutinem adalah tukang pijit yang kaya pengalaman. Ia begitu hati-hati menyusuri satu demi satu otot-otot tubuh ‘pasien’nya dengan tak lupa diolesi minyak khusus.
“Mbok, minyak apa sih mbok kog baunya wangi dan anget’ tanyaku
“ini lho jeng, minyak kelapa ijo asli ditambah minyak gandapura dan minyak pala” jawabnya si mbok
Beberapa
tahun setelah aku pindah rumah, aku dikenalkan dengan mbok Sutinem.
Persis seperti asosiasiku terhadap sosok simbok ini begitu pula sikap
dan perilaku beliau. Simbok orangnya sederhana, lembut namun tegas
(hahaha….gimana ya lembut nmun tegas itu, artinya tutur katanya yang
masih ‘jawa’ banget halus dan lemah lembut apalagi kalau praktek bicara
kromo inggil kepadaku . Namun beliau terlihat tegas dan mempunyai
prinsip). Simbok tak hanya tukang pijit namun juga pintar membuat jamu,
lulur, tapel , pilis dan memahami adat istiadat daerah tempat beliau
dibesarkan yaitu Aceh. Simbok juga seorang ‘pakar
marketing” dan ‘konselor’ yang handal. Wah kog jadi banyak banget peran
simbok , memang demikianlah adanya. Meskipun simbok bersuku jawa namun
ia sangat menguasai adat Aceh khususnya adat istiadat perawatan ibu
melahirkan juga perawatan bayi. Berikut beberapa hal yang lebih rinci tentang simbok :
1.
Persoalan kepakarannya dalam membuat jamu dibuktikan dengan beberapa
produknya yang jauh lebih cespleng dan maknyus dibanding produk jamu
merek terkenal. Sebagai contoh adalah Jamu kunyit asam made in “madame
Sutinem” :D , botolnya jernih, kunyit asam plus gula merah/gula jawa
nya pas, kental dan maknyus. Belum lagi lulurnya wah luar biasa , bisa
mengalahkan produk lulur atau scrub merek terkenal sekalipun.
“Jeng,
saya membuat lulur ini bukan dengan cara menumbuk tepung beras, tapi
berasnya saya rendam dan tiris di kain paris yang halus jeng” ungkapnya
tulus meski bernada promosi. Aku dapat merasakan segala produk simbok
ketika aku melahirkan putri bungsuku sehingga aku memutuskan untuk
“menggudangkan” kotak jamu pabrikan yang telah kusiapkan sejak lama.
Dengan tutur kata keibuan ia menjelaskan kepadaku bagaimana perawatan
bagi ibu melahirkan . Adat Aceh untuk perawatan ibu melahirkan selama 44
hari dengan beberapa pantangan makan termasuk yang pedas. Ibu juga di
sale (tidur diatas bangku kayu dan dihangatkan dengan uap dari sebuah
panci yang diisi air dicampur dengan berbagai ramuan daun kayu. Beberapa kali ibu juga harus duduk diatas batu (toet batee) yang dibungkus kain. Rasa hangat Salee dan
toet Batee akan membakar lemak para ibu yang biasanya berat badannya
bertambah setelah melahirkan. Simbok juga mengemukakan tentang tradisi
2. Sekarang tentang spirit simbok sebagai seorang marketer. Iseng-iseng aku tanya ke simbok berapa omzetnya per hari.
“Jeng,
saya ini orang kecil jadi saya ndak pernah pasang tarif. Berapapun yang
diberikan pelanggan kepada saya saya syukuri karena itulah rejeki halal
dari Allah swt”
“Saya tidak jualan jeng, tapi saya ini membantu pelanggan. Supaya ibu-ibu pelanggan saya itu segar, sehat dan disayang suami”
“Saya bahagia jeng kalau ibu dan bayi yang saya tangani itu sehat dan bahagia”
Simbok
juga rajin mengunjungi pelanggan dengan menanyakan kondisi kesehatan
pelanggannya khususnya di hari-hari yang ia pastikan pelanggannya punya
waktu (misal : jika pelanggannya ibu yang bekerja, maka simbok akan
berkunjung pada hari libur). Subhanallah simbok ini benar-benar
menguasai “marketing dengan hati” yang memadukan antara solusi dan
silaturrahmi dengan tepat dosisnya. Wah…. para profesor punya teori
namun simbok adalah salah satu yang konsisten mempraktekkan.
3. Konselor, yang ini adalah peran tambahan simbok yang sangat-sangat spesialis. Simbok adalah seorang “good listener” yang luar biasa. Simbok mampu melakukan pharaprasing dengan sangat baik. Aku pada awalnya heran karena
setiap ia mendengar curhatanku , ia akan mengulas dulu apa yang
kusampaikan baru ia mengemukakan pendapatnya tanpa berusaha menggurui.
Tak lupa ia akan awali dengan kalimat “ Nyuwun sewu lho jeng”. Pribadi
langka seperti simbok ini tentunya tak membutuhkan berbagai
pelatihan konseling seperti yang biasa aku berikan buat para pegawai,
bidan, guru maupun masyarakat. Simbok konselor yang dilahirkan dan
memiliki anugerah Illahi menjadi pribadi yang berintegritas , mampu
menjaga rahasia dan bersikap “professional”. Mbok….mbok….bintang 10 buat dirimu. Aku yang psikolog ini sangat nyaman dan aman curhat kepadamu.
Pada
tahun-tahun pertama perkenalanku dengan sosok mbok Sutinem, aku sempat
beberapa kali dibuat berdecak-decak kagum terhadap fakta dirinya.
“Jeng, kenalkan ini Cut Mina putri bungsu
saya” kata beliau waktu memperkenalkan sosok gadis cantik berkulit
bersih, langsing, cantik yang berusia kira-kira 15 tahun. Gadis itu
menjemput simbok di rumahku.
Pada kedatangan bulan berikutnya, simbok aku tanya tentang putrinya yang cantik itu serta keluarganya.
“Aduh jeng, saya ini anak buruh kebun jeng” bukanya mengawali cerita. Mbok Sutinem adalah putri bungsu dari 3 bersaudara . Ayah dan ibunya adalah transmigran dari
salah satu desa di Jawa Tengah yang merantau ke Aceh sekitar tahun
30-an. Simbok lahir di awal tahun 50-an. Simbok tetap diberi nama jawa
asli dan diajarkan adat dan budaya jawa, maka tak heran kalau bahasa
jawanya halus (bahkan kromo inggil – bahasa jawa paling halus). Namun
karena hidup dan besar di Aceh, simbok juga menguasai bahasa Aceh,
pandai memasak kuliner Aceh dan memahami adat dan budaya Aceh khususnya
adat yang terkait dengan perawatan ibu setekah melahirkan termasuk
perawatan si bayi. Raut wajah simbok yang makin tua masih menyisakan gurat kecantikan khas jawa yang dimilikinya. Dahi lebar, kulit sawo matang, hidung agak pesek namun semua itu malah membuat wajah simbok mempesona.
“Ya itulah jeng, saya akhirnya bertemu dengan ayahnya Pocut di sebuah perhelatan perkawinan di Gampong” lanjut simbok
Akhirnya simbok bersedia dipersunting Teuku Banta, putra bangsawan Gampong sebelah yang jatuh cinta pada gadis Sutinem. Pak Marmin, ayahanda Sutinem tidak banyak minta mahar. Sutinem dinikahi Teuku Banta dengan
mahar 5 mayam emas (1 mayam = 3, 33 gram) dan seperangkat alat shalat.
Pada awalnya keluarga Teuku Banta kurang setuju dengan pernikahan antar
suku ini. Namun karena “Pon Ban” (begitu mbok Sutinem memanggil almarhum
suaminya dengan panggilan yang sangat mulia dan menghormat . Pon ban singkatan dari Ampon Banta,
Ampon = panggilan untuk para Teuku/keturunan bangsawan) gigih
memperjuangkan akhirnya keluarganya luluh. Sutinem, putrid seorang buruh
kebun masuk dalam keluarga bangsawan Aceh. “Pon Ban” sangat menyintai
Sutinem, dan ia sangat memahami perasaan Sutinem. “Pon Ban” akhirnya
memilih membawa Sutinem merantau ke Banda Aceh (Mereka semula tinggal di
salah satu kecamatan di kawasan Aceh Utara). Pasangan “Pon Ban” dan
Sutinem hidup bahagia dikaruniai 5 orang anak (2 putra dan 3 putri),
oleh karena ayahandanya adalah seorang Teuku maka putra dan putri
Sutinem juga bergelar Teuku dan Cut. Paduan kelembutan putri jawa dan ketegasan bangsawan Aceh tercermin dalam pribadi putra putri pasangan “Pon Ban” dan Sutinem. Yang sempat kukenal adalah 1 putra (yang dipanggil Pon Bit kaena anak lelaki terkecil ) dan 2 putri nya yaitu Cut Mina dan Cut Linda yang sering antar jemput mbok Sutinem.
Sewaktu
“Pon Ban” masih ada, Sutinem tidak diperkenankan untuk memijat ke
rumah-rumah. Namun “Pon Ban” tak bisa melarang jika ada pasien ibu-ibu
yang datang ke rumahnya. Saat itu Sutinem lebih memfokuskan diri dalam
produksi jamu dan perlengkapannya saja. Allah swt berkehendak lain, Pada saat Cut Mina berusia 4 tahun, ayahandanya wafat.
“Alhamdulillah
jeng, walaupun “Pon Ban” dipanggil begitu cepat namun beliau sudah
memberikan sebuah rumah dan pekarangannya yang luas buat saya dan
anak-anak” lanjut mbok Sutinem.
Simbok
akhirnya membesarkan kelima anaknya dengan penuh perjuangan melalui
ketrampilan memijat dan pengetahuan tentang obat tradisional Jawa dan
Aceh yang dimilikinya. Simbok benar-benar mengingatkanku akan sosok
perjuangan perempuan Aceh yang luar biasa. Jika Cut Nyak Dhien berjuang
dengan senjata dan strategi di medan perang maka mbok Sutinem berjuang
membesarkan putra-putrinya dan memberikan andil yang cukup besar bagi
kesehatan raga dan jiwa pasiennya (termasuk bayi) melalui jari-jari tangannya yang luwes dan kokoh dalam memijat juga melalui ilmu jejamuan yang diproduksinya.
Semoga Allah swt memberikanmu berkah dan panjang usia ya mbok, simbok benar-benar “pahlawan” .
(Catatan ini kutulis tentang salah satu sosok perempuan yang berjasa dalam hidupku, nama-nama tokoh telah kusamarkan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar