Pohon pisang kepok itu ada sejak aku
lahir , kabarnya nenek buyutku yang hobi menanam pisang, kelapa, mangga, jambu
dan beberapa pohon lainnya yang hasilnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan
dapur. Pisang dan kelapa khususnya, serasa pohon wajib bagi nenek buyut yang
menurun ke nenek kemudian ke ibuku.
Ibuku juga tak tahu persis mengapa dan kapan dimulai, tapi jelasnya
tradisi memasak kolak pisang setiap ahad sore adalah tradisi turun temurun yang rasanya
haram untuk dilawan. Lebih haram lagi dilawan karena ini tidak hanya berurusan
dengan lidah dan perut, namun lebih berurusan dengan urusan sosial dan
spiritual. Kolak pisang, hanya kolak pisang yaitu pisang kepok ditambah santan
ditambah gula merah dan dicampur sedikit gula pasir serta pandan. Itu
saja ? ya memang itu saja. Tapi 20 rumah tetangga di kiri kanan depan belakang
rumah kami telah terbiasa menikmatinya setiap ahad sore. Kolak yang dimasak
oleh ibu sejak bakda zuhur, akan beredar di rumah tetangga di bakda ashar. Itulah silaturrahmi indah yang dirajut sejak
nenek buyutku hingga generasi ibu.
“Mar,
kamu adalah anak perempuan ibu satu-satunya. Ibu harap kamu melanjutkan tradisi
perempuan pendahulu di keluarga kita” tegas ibu di sore awal ramadhan ini.
Awalnya aku tidak terlalu serius mendengar petitah dan petitih ibu, namun
melihat tekanan suara dan nada yang diucapkannya mau tak mau aku harus rela
meletakkan novel yang tengah kubaca. Aku
jadi diam dan takzim melumat setiap kata yang meluncur dari mulut ibu. Persoalan
kolak, melanjutkan tradisi merajut silaturrahmi dan melanjutkan tradisi sedekah
menjadi bingkai pembahasan ibu tentang
makna semangkuk kolak.
Ibu
Hajjah Alfiah, begitu orang-orang memanggil ibu. Ibu seorang perempuan yang
tangguh. Sejak berpisah dengan ayah lebih kurang 20 tahun yang lalu, ibu
memilih hidup sendiri membesarkan kami bertiga putra putrinya. Aku , Maria anak
tertua , calon sarjana politik yang terperangkap dalam hobi dan pekerjaan seni
peran. Kedua adik laki-laki ku
Bagja dan Bahagia, si kembar
yang tengah kuliah di tahun pertama fakultas teknik elektro. Kadang aku
merasa khawatir apakah aku mampu meneruskan tradisi keluarga ini, meskipun
disisi lain aku begitu optimis akan mampu memegang amanah keluarga ini.
Optimismeku bukan tanpa alasan, karena sejak kecil aku melihat betapa pohon
pisang kepok di belakang rumah senantiasa berbuah silih berganti dengan pohon
pisang baru yang mudah sekali ditanam serta subur. Belum lagi beberapa batang
kelapa rasanya entah kapan yang tak ada buahnya, buah kelapa itu begitu hangat
bergerombol seperti tak sabar menunggu giliran dinikmati pemiliknya.
“Itulah
Mar, rezeki yang Allah swt berikan buat keluarga kita. Nikmat Allah swt berupa
tanaman yang senantiasa berbuah subur. Itu semua bukan kebetulan Mar, semua
sudah diatur Allah swt dan kita harus
berbagi buat sesama” tegas ibu sekali lagi.
“Ibu
memang orang tua tunggal Mar, namun ibu diberi rahmat oleh Allah swt punya
kalian anak-anak ibu yang baik dan sholeh. Ibu juga punya rumah warisan leluhur
yang kita jaga bersama. Ibu juga punya ketrampilan menjahit . Biarlah kita
alirkan rahmat Allah swt ini buat sekeliling kita” tutur ibu lebih dalam.
“Mar
, kiri kanan kita, depan belakang kita bukan semuanya orang mampu. Bahkan
beberapa anak yatim dan dhuafa juga ada disana. Biarlah semangkuk kolak resep
keluarga kita ikut dinikmati oleh mereka disamping hal lain yang bisa juga kita
bagikan” sekali lagi ibu menegaskan.
Penjelasan
ibu ini membuatku makin paham bahwa kolak ternyata tak hanya sekedar kolak. Aku
jadi lebih menghayati setiap episode pembuatan kolak sosial dan spiritual ini.
Mulai memetik buah pisang, memetik kelapa, memotong pisang, memarut kelapa,
memeras santan, menyisir gula merah, memotong pandan, menyendok gula pasir,
menjumput sedikit garam, mengaduk di panci hingga menjadi kolak. Aku merasa
setiap sel dari pisang kelapa gula pandan itu berbicara bernyanyi bersyukur
berzikir. Entah mengapa sejak penjelasan ibu kepadaku tentang kolak ini, aku
semakin semangat ketika ibu memutuskan untuk
menambah frekuensi pembagian kolak ini di bulan ramadhan. Kolak-kolak
ini akan berjalan mengetuk pintu silaturrahmi pada setiap hari jumat dan ahad.
“Kamu
mau kan mar membantu ibu memasak kolak 2
hari tiap pekan selama ramdhan ini ?” tanya ibu padaku. Aku mengangguk dan
kuberikan bonus senyum terindah pada ibuku.
Apalagi ramdhan ini ibu membeli mangkuk baru warna orange yang cetar
untuk wadah si kolak tercinta. Kabarnya mangkuk orange tersebut ibu dapatkan di
toko langganan ibu di pasar dengan harga khusus karena menyambut ramadhan. Dua lusin mangkuk orange bertutup indah
terkesan mewah, meski isi di dalamnya tetap saja kolak pisang.
“Mar,
mangkuk orange ini lebih terkesan rapi dan sopan untuk menghantarkan hasil
masakan kolak terbaik keluarga kita” jelas ibu sambil senyum. Sekali lagi aku jadi minat pandangi
berkali-kali si mangkuk orange, untuk berusaha menafsirkan kata rapi dan sopan
yang ibu sebutkan tadi. Iya benar juga kata ibu, si mangkuk orange ini memang
cantik, keren, rapi dan sopan.
Sudah
dua ahad dan dua jumat si mangkuk orange
dan kolak berjalan mengunjungi tetangga
sekeliling kami. Kami penduduk kampung
Bintang Barat mengunyah kolak dengan nikmat. Kami penduduk kampung Bintang
Barat bermunajat pada Allah swt di ramadhan ini dengan khusyuk dan tentram.
Namun tadi pagi, jikapun ada kolak tentu akan tumpah berserakan. Nenek, kakek, ibu, bapak, pemuda, pemudi,
anak anak yang sedang mengaji tersedak
diam. Ceria kampung berubah muram. Ibuku, Hajjah Alfiah ikut tercekat diam mencekam. Ada apa dengan
kolak ? Ada apa dengan kampung Bintang Barat ?
Penduduk
Kampung Bintang Barat yang telah lebih limapuluh tahun menghuni kampungnya,
tiba-tiba tadi pagi menerima sepucuk surat dari
Kantor Urusan Tanah. Kampung kita
2 pekan setelah Idul fitri harus dikosongkan, karena telah diterbitkan sertifikat
untuk sebuah perusahaan konglomerat yang akan membangun apartemen mewah di
lokasi ini. Kampung Bintang Barat dipandang kumuh untuk keindahan dan
pengembangan pariwisata kota.
“Mar,
kita tetap memasak kolak. Barangkali ini kolak terakhir ya Mar” kata ibu dengan
sendu. Saat ini aku hanya mampu usap bulir air matanya, meski tekadku harus
bersuara . Suara warga kampung Bintang Barat, suara kolak, suara anak anak,
suara perempuan, suara lelaki. Kolak dan keadilan bercengkrama dalam azan indah
bulan ramadhan di kampung Bintang Barat. “Laa
hawla wa laa quwwata illa billah “ .........Tiada daya dan tiada kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah semata-mata
Batoh, 14 Ramadhan 1438 H ( jam 02.46)
#kolakRTC #ramadhan #cerpen #korbangusuran #Allahswtmahaadil