salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Kamis, 08 Juni 2017

KOLAK TERAKHIR (Sebuah Cerpen di bulan Ramadhan oleh Nur Janah AlSharafi)


            Pohon pisang kepok itu ada sejak aku lahir , kabarnya nenek buyutku yang hobi menanam pisang, kelapa, mangga, jambu dan beberapa pohon lainnya yang hasilnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan dapur. Pisang dan kelapa khususnya, serasa pohon wajib bagi nenek buyut yang menurun ke nenek kemudian ke ibuku.  Ibuku juga tak tahu persis mengapa dan kapan dimulai, tapi jelasnya tradisi memasak kolak pisang setiap ahad sore  adalah tradisi turun temurun yang rasanya haram untuk dilawan. Lebih haram lagi dilawan karena ini tidak hanya berurusan dengan lidah dan perut, namun lebih berurusan dengan urusan sosial dan spiritual. Kolak pisang, hanya kolak pisang yaitu pisang kepok ditambah santan ditambah gula merah dan dicampur sedikit gula pasir serta pandan.    Itu saja ? ya memang itu saja. Tapi 20 rumah tetangga di kiri kanan depan belakang rumah kami telah terbiasa menikmatinya setiap ahad sore. Kolak yang dimasak oleh ibu sejak bakda zuhur, akan beredar di rumah tetangga di bakda ashar.  Itulah silaturrahmi indah yang dirajut sejak nenek buyutku hingga generasi ibu.
“Mar, kamu adalah anak perempuan ibu satu-satunya. Ibu harap kamu melanjutkan tradisi perempuan pendahulu di keluarga kita” tegas ibu di sore awal ramadhan ini. Awalnya aku tidak terlalu serius mendengar petitah dan petitih ibu, namun melihat tekanan suara dan nada yang diucapkannya mau tak mau aku harus rela meletakkan novel yang tengah kubaca.  Aku jadi diam dan takzim melumat setiap kata yang meluncur dari mulut ibu. Persoalan kolak, melanjutkan tradisi merajut silaturrahmi dan melanjutkan tradisi sedekah menjadi  bingkai pembahasan ibu tentang makna semangkuk kolak.
Ibu Hajjah Alfiah, begitu orang-orang memanggil ibu. Ibu seorang perempuan yang tangguh. Sejak berpisah dengan ayah lebih kurang 20 tahun yang lalu, ibu memilih hidup sendiri membesarkan kami bertiga putra putrinya. Aku , Maria anak tertua , calon sarjana politik yang terperangkap dalam hobi dan pekerjaan seni peran. Kedua adik laki-laki ku  Bagja  dan Bahagia,  si kembar  yang tengah kuliah di tahun pertama fakultas teknik elektro. Kadang aku merasa khawatir apakah aku mampu meneruskan tradisi keluarga ini, meskipun disisi lain aku begitu optimis akan mampu memegang amanah keluarga ini. Optimismeku bukan tanpa alasan, karena sejak kecil aku melihat betapa pohon pisang kepok di belakang rumah senantiasa berbuah silih berganti dengan pohon pisang baru yang mudah sekali ditanam serta subur. Belum lagi beberapa batang kelapa rasanya entah kapan yang tak ada buahnya, buah kelapa itu begitu hangat bergerombol seperti tak sabar menunggu giliran dinikmati pemiliknya.
“Itulah Mar, rezeki yang Allah swt berikan buat keluarga kita. Nikmat Allah swt berupa tanaman yang senantiasa berbuah subur. Itu semua bukan kebetulan Mar, semua sudah diatur Allah swt  dan kita harus berbagi buat sesama” tegas ibu sekali lagi.
“Ibu memang orang tua tunggal Mar, namun ibu diberi rahmat oleh Allah swt punya kalian anak-anak ibu yang baik dan sholeh. Ibu juga punya rumah warisan leluhur yang kita jaga bersama. Ibu juga punya ketrampilan menjahit . Biarlah kita alirkan rahmat Allah swt ini buat sekeliling kita” tutur ibu lebih dalam.
“Mar , kiri kanan kita, depan belakang kita bukan semuanya orang mampu. Bahkan beberapa anak yatim dan dhuafa juga ada disana. Biarlah semangkuk kolak resep keluarga kita ikut dinikmati oleh mereka disamping hal lain yang bisa juga kita bagikan” sekali lagi ibu menegaskan.
Penjelasan ibu ini membuatku makin paham bahwa kolak ternyata tak hanya sekedar kolak. Aku jadi lebih menghayati setiap episode pembuatan kolak sosial dan spiritual ini. Mulai memetik buah pisang, memetik kelapa, memotong pisang, memarut kelapa, memeras santan, menyisir gula merah, memotong pandan, menyendok gula pasir, menjumput sedikit garam, mengaduk di panci hingga menjadi kolak. Aku merasa setiap sel dari pisang kelapa gula pandan itu berbicara bernyanyi bersyukur berzikir. Entah mengapa sejak penjelasan ibu kepadaku tentang kolak ini, aku semakin semangat ketika ibu memutuskan untuk  menambah frekuensi pembagian kolak ini di bulan ramadhan. Kolak-kolak ini akan berjalan mengetuk pintu silaturrahmi pada setiap hari jumat dan ahad.
“Kamu mau kan mar membantu ibu memasak kolak  2 hari tiap pekan selama ramdhan ini ?” tanya ibu padaku. Aku mengangguk dan kuberikan bonus senyum terindah pada ibuku.  Apalagi ramdhan ini ibu membeli mangkuk baru warna orange yang cetar untuk wadah si kolak tercinta. Kabarnya mangkuk orange tersebut ibu dapatkan di toko langganan ibu di pasar dengan harga khusus karena menyambut ramadhan.  Dua lusin mangkuk orange bertutup indah terkesan mewah, meski isi di dalamnya tetap saja kolak pisang.
“Mar, mangkuk orange ini lebih terkesan rapi dan sopan untuk menghantarkan hasil masakan kolak terbaik keluarga kita” jelas ibu sambil senyum.  Sekali lagi aku jadi minat pandangi berkali-kali si mangkuk orange, untuk berusaha menafsirkan kata rapi dan sopan yang ibu sebutkan tadi. Iya benar juga kata ibu, si mangkuk orange ini memang cantik, keren, rapi dan sopan.
Sudah dua ahad dan dua jumat  si mangkuk orange dan kolak berjalan mengunjungi  tetangga sekeliling kami.  Kami penduduk kampung Bintang Barat mengunyah kolak dengan nikmat. Kami penduduk kampung Bintang Barat bermunajat pada Allah swt di ramadhan ini dengan khusyuk dan tentram. Namun tadi pagi, jikapun ada kolak tentu akan tumpah berserakan.  Nenek, kakek, ibu, bapak, pemuda, pemudi, anak anak  yang sedang mengaji tersedak diam. Ceria kampung berubah muram. Ibuku, Hajjah Alfiah  ikut tercekat diam mencekam. Ada apa dengan kolak ? Ada apa dengan kampung Bintang Barat ?
Penduduk Kampung Bintang Barat yang telah lebih limapuluh tahun menghuni kampungnya, tiba-tiba tadi pagi menerima sepucuk surat dari  Kantor Urusan Tanah.  Kampung kita 2 pekan setelah Idul fitri harus dikosongkan, karena telah diterbitkan sertifikat untuk sebuah perusahaan konglomerat yang akan membangun apartemen mewah di lokasi ini. Kampung Bintang Barat dipandang kumuh untuk keindahan dan pengembangan pariwisata kota.
“Mar, kita tetap memasak kolak. Barangkali ini kolak terakhir ya Mar” kata ibu dengan sendu. Saat ini aku hanya mampu usap bulir air matanya, meski tekadku harus bersuara . Suara warga kampung Bintang Barat, suara kolak, suara anak anak, suara perempuan, suara lelaki. Kolak dan keadilan bercengkrama dalam azan indah bulan ramadhan di kampung Bintang Barat.  “Laa hawla wa laa quwwata illa billah “ .........Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah semata-mata
Batoh, 14  Ramadhan 1438 H ( jam 02.46)

 #kolakRTC #ramadhan #cerpen #korbangusuran #Allahswtmahaadil

MERAJUT CINTA DI MEMORIAL WALK (Sebuah Cerpen dari Memorial Walk, Newcastle NSW)



          Memasuki kota Newcastle di kawasan New South Wales menebarkan aroma indah di jiwa. Pepohonan hijau di kiri kanan jalan yang di kotaku sering jadi mangsa gergaji dengan alasan penataan kota, disini bebas merdeka menjulang indah dengan suburnya. Awalnya kita akan disambut oleh indahnya Mac Quarie Lake yang entah berapa luasnya. Aura air danau yang mampu hadirkan nuansa damai ini bisa saja disetarakan dengan Toba atau Maninjau.  Meskipun Mac Quarie tentu punya pesona dan cerita sendiri.
 Arsitektur kota yang ramah dan humanis membuat kota Newcastle mengkomunikasikan karakter penduduknya yang ramah dan bersahaja. Saat ini musim semi telah berakhir dan musim panas baru dimulai, matahari Newcastle bagiku tetap saja terasa hangat di kulit. Aku tak tahu persis apakah ini benar-benar hangat atau jiwaku yang sebenarnya menyambut matahari dengan aroma yang berbeda.
          Sang Khaliq begitu pemurahnya memberikan negri ini sejuta burung, sama seperti di Sydney yang setiap pagi aku selalu mendengar merdunya symphoni burung gagak  merpati atau burung lainnya. Disini kemurahan itu tetap kudapat berupa symphoni nan alami parade orkestra burung.  Ada satu pesona yang tak boleh dilewatkan di kota ini yaitu Newcastle Memorial Walk. Kita tak usah bermimpi akan menjumpai bangunan spektakuler disitu, karena Newcastle Memorial Walk benar-benar sebuah area jalan kaki yang dibangun selayaknya jembatan memanjang di tepi pantai. Bangunan memanjang 450 meter ini memang unik dan memiliki sejuta kisah tersendiri. Bangunan ini dirancang untuk mengenang para tentara Australia yang gugur di medan pertempuran. Beberapa prasasti dan tulisan kenangan yang sengaja diabadikan akan dapat kita temui dengan mudah sehingga kita merasa lebih menyatu dengan area ini.
          Selagi menyimak pesona Newcastle Memorial Walk dan kisahnya, pandangan mataku terhenti pada sepasang insan yang tengah berjalan . Sang laki-laki tetap terlihat gagah dan tampan meski berjalan dengan bantuan tongkat dan terseok-seok. Sementara sang perempuan berhijab dan menampilkan sosok perempuan cantik, anggun, rapi serta terkesan perempuan terdidik. Kutatap langkah mereka berdua sejak mereka memarkir mobil putih di Park yang tergelar indah sekitaran area Memorial Walk.
Jika ditilik dari usianya, mereka berdua adalah pasangan muda sekitar 30 an tahun, pengantin baru atau paling tidak baru beberapa waktu menikah.
‘Sweetheart, kau kecewa aku datang dengan kondisi seperti ini’ ujar sang lelaki
‘Aku tak pernah kecewa tentang apapun penampilan fisikmu Sweetheart, aku bahkan siap jika kau kemudian hadir di depanku tanpa ujud sekalipun’ jawab sang perempuan
‘Aku harus penuhi panggilan tanah air, meskipun aku harus korbankan studiku. Aku paham kalau perang itu pahit dan kejam, betapa aku harus membasuh kedua tanganku dengan darah dan peluru. Jika aku harus memilih tentu aku lebih memilih berkutat dengan buku dan pena di kampus, jika aku harus memilih tentu aku lebih memilih memandang cantiknya wajahmu dan indahnya bunga-bunga di taman kampus kita. Namun aku lelaki , lelaki sejati akan tersungkur jadi pecundang jika ia tak mampu membela agamanya, bangsanya, tanah air nya’
‘Aku kehilangan rasa percaya diriku ketika pulang dalam keadaan seperti ini, namun aku bertekad melamarmu . Aku tak yakin, ragu, gundah, gelisah. Namun hanya Allah swt lah yang menguatkan langkahku dan alhamdulillah kau menerimaku sebagai suamimu’
‘Aku tinggalkan perang untuk mengejar cintaku yang lebih dulu tiba di Newcastle ini, aku kini menjadi sebenar-benarnya cintamu’
Sepasang pengantin baru ini ternyata warga sebuah negri indah yang telah hancur oleh perang.  Duduk berdua di taman , mata mereka berdua menerawang jauh memandang keindahan taman. Mereka membangun angan tentang keindahan negrinya yang telah hancur oleh bom dan mesiu. Sesekali kulihat senyum mengulum di bibir mereka berdua , barangkali bangunan angannya telah selesai. Bangunan keindahan sebuah negri, masjid, sekolah, taman, gedung-gedung bahkan angan tentang tawa canda penduduk sentero negri.
 Tak kudengar lagi suara keduanya, mata mereka masih fokus dengan aneka pemandangan yang ada. Mata mereka berdua seperti hendak melahap semua warna, semua bentuk dan semua keindahan. Mata mereka melahap semua itu bukan karena mereka tamak, namun karena mereka adalah insan yang luka. Insan yang luka jiwa luka raga karena polah penjajah yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Keduanya telah menanggalkan mimpinya untuk bisa ber-ijab qabul di masjid indah kebanggaan negrinya. Mereka telah bersyukur dan terus bersyukur bahwa mereka masih diberi kesempatan                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            hidup oleh sang Khaliq. Mereka berdua masih diberi kesempatan berijab qabul di mesjid kecil di kota Newcastle ini. Mereka berdua bersyukur .
‘Sweetheart, kau masih bisa melihat Aleppo[1] kita?’
‘Sweetheart, kau masih bisa mencium wangi bunga kota Aleppo kita?’
‘Sweetheart, masihkah kau bisa melihat indahnya masjid Umayyah[2]?’
Mata perempuan itu berkaca-kaca, guliran perak mengucur di sudut bening matanya.             (New castle 30112016 dan Batoh 21032017)





[1] Aleppo adalah sebuah kota yang indah di negri Suriah, yang kini telah hancur oleh peperangan
[2] Masjid Umayyah adalah masjid terbesar di kota Aleppo, Suriah. Masjid ini terletak di distrik al-Jalloum kota tua Aleppo.

MAMAH WA DAN IMLEK


            Perempuan tengah baya, berkebaya encim, bersanggul cepol dan senantiasa tersenyum manis adalah sosok mamah Wa tetangga sebelah rumahku. Beberapa tahun lalu aku masih mendengar kabarnya melalui Cici Lis (salah satu putrinya bahwa mamah sehat dan kini tinggal di kota Tegal dengan putra bungsunya Wawan). Suasana Imlek seringkali membuat ingatanku berkelana jauh mengunjungi kotak memoriku tentang sosok mamah Wa dan papah Cwan. Sosok keluarga mereka berbeda jauh dengan beberapa tetangga Tionghoa di Apartemen yang lalu lalang di Lift  namun sangat jarang tersenyum konon pula bertegur sapa. Sosok mamah Wa dan papah Cwan , boleh dibilang mirip sosok papah Afuk di film ‘Cek Toko Sebelah’ yang begitu akrab dan membaur dengan lingkungan sosialnya.
            Keluarga mamah Wa  dan papah Cwan menyewa rumah orang tuaku yang letaknya persis di sebelah rumah tempat tinggal keluargaku di kota Semarang. Sebegitu terbukanya ibundaku (Allahuyarham Asiah binti Khusi Muhammad, beliau adalah istri pertama abah dan merawatku sejak usiaku 8 tahun), hingga membuat pintu khusus yang dapat menghubungkan rumah orang tuaku dengan rumah sewa tempat mamah Wa sekeluarga tinggal. Papah Cwan menggunakan ruang tamu keluarganya untuk membuka persewaan komik. Komik yang disewakan adalah komik-komik yang mendidik seperti dongeng-dongeng kuno karya HC Andersen, komik Mahabarata, komik Ramayana, komik silat  Kho Ping Ho, komik Indonesia seperti Gundala Putra Petir, Novel remaja karya Barbara Cartland, novel karya Pearls Buck, novel NH Dini, Mira W dan masih banyak lagi. Meskipun bisnisnya adalah menyewakan komik, namun papah tetap mengutamakan pendidikan buat anak dan remaja yang menyewa buku di tempatnya. Ketika Sekolah Dasar, aku dan teman sebayaku yang saat itu usia SD hanya boleh membaca komik kategori anak-anak seperti dongeng HC Andersen. Dongeng-dongeng khayalan seperti putri salju, rumah roti, sepatu merah, little mermaid, gadis korek api dan masih banyak lagi. Jangan pernah bermimpi bisa membaca buku-buku komik remaja, papah Cwan akan menegur dengan keras pelanggan yang berusaha membujuk untuk menyalahi aturan ini. Papah dan mamah tak hanya bisnis namun juga ikut mendidik anak dan remaja yang jadi pelanggan persewaan komiknya.
Persewaan komik ini buka mulai siang hari jam sepulang sekolah. Kecuali hari libur yaitu Jum’at (beberapa anak penyewa komik bersekolah di sekolah Islam yang liburnya hari Jum’at) atau Akhad , akan dibuka 1 hari full. Meskipun jika libur anak-anak bisa seharian nongkrong di persewaan komik papah, namun karena mayoritas adalah ana-anak muslim maka papah akan menegur seperti ini: ‘Nok...Nang....pulang ya, sudah azan Zuhur , shalat dan makan dulu ya  ke rumah masing-masing’
‘Nok....Nang[1]....ayo pulang dulu nanti dicari orang tuanya’
            Mamah Wa juga punya kesibukan bisnis. Mamah adalah pembuat  kue basah kelas satu di eranya. Tangan mamah begitu luwes mengaduk tepung dan bahan-bahan lainnya hingga tersaji kue yang cantik dan maknyus. Beberapa kue produksi mamah antara lain adalah : kue Ku, lapis, bika, onde-onde, bugis, ketan kelapa, cantik manis, nagasari dan masih banyak lagi. Kue-kue cantik buatan mamah Wa ini tak perlu dititip ke toko atau dijual langsung. Hal ini karena para pelanggan setia akan datang ke rumah mamah  untuk membeli langsung atau untuk dijual lagi. Oleh karena keluargaku dan keluarga mamah dan papah sangat dekat, aku pun kena berkahnya sehingga sering dapat kue gratis dari mamah atau sewa komik gratis dari papah.
            Mamah Wa bukan tetangga biasa, ia bahkan kadang memperlakukanku seperti anaknya sendiri. ‘Nok, sini mamah kepang rambutnya biar rapi’. Akupun mau dengan senang hati disisir dan dikepang rambut sama mamah. Hal yang kukagumi dari mamah adalah penampilannya yang selalu rapi. Rambut disisir rapi dengan cepol kecil asli sebagai sanggulnya. Berbedak tipis dan berparfum lembut adalah ciri khas mamah Wa. Anak-anak termasuk diriku hafal benar dengan bau parfum bunga yang dipakai mamah, sehingga aroma nilah yang sering menyadarkan kehadiran mamah Wa di dekat kami. Pernah satu hari ibuku ke luar kota dan simbok (mbok Sumirah) sakit sehingga di rumah belum masak. Oleh karena  sudah jam makan, mamah menawarkan aku untuk makan siang.
‘Nok, makan siang disini ya. Mamah masak sayur lodeh sama sambal goreng udang’
‘Tapi mah, saya takut entar pancinya bekas babi’ dengan polosnya aku mengulang kata-kata ibuku’
‘Nok, mamah dan papah gak makan babi, sapi dan kambing. Mamah dan papah makan sayur, buah, ikan, udang, telor  dan ayam’
‘anak-anak mamah dan papah kalu makan babi di restoran, bukan di rumah’
Di usia belia itu, percaya saja aku dengan ketulusan orang tua ini sehingga dialog itu diakhiri dengan jamuan makan siang yang kulahap dengan nikmat.
            Mamah Wa senang jika aku mau makan kue atau masakannya, keseimbangan hatinya terbalas karena ibuku juga sering menyajikan makan, kue bahkan berbagai jenis es buat anak-anak yang main ke rumah kami termasuk anak mamah Wa.  Mamah juga senang jika melihatku rajin shalat dan mengaji,  jika melihatku bermain lebih awal  ia sering bertanya apakah aku sudah mengaji. Mamah dan papah   selalu melarangku untuk menyewa komik untuk dibawa ke rumah jika bukan hari libur.  Namun begitu papah tetap dapat income, karena hari biasa anak-anak tetap bisa membaca komik di tempat papah pada sore hari sepulang mengaji . Mamah dan papah memang pebisnis, namun karakter anak-anak termasuk anak-anak tetangga dan lingkungannya sangat mereka perhatikan.
            Mamah, renda halus kebaya encim yang dipakai mamah waktu imlek biasanya bernuansa putih dengan bordiran pink plus biru muda. Sepertinya bordiran lembut itu sengaja dicipta untuk seorang perempuan yang punya hati selembut mamah Wa. Mata kecilku waktu itu terkagum dengan rangkaian bunga demi bunga di baju mamah.  Baju halus ini seingatku jarang banget muncul. Biasanya ketika imlek atau ketika mamah dan papah berkunjung ke rumah secara resmi saat lebaran.  Mamah dan papah sekeluarga makan lontong opor, kue-kue dan berbagai jajanan lain buatan ibuku. Mamah dengan baju renda halusnya dan papah pakai kemeja putih.
            Ingatan kecilku tentang mereka sekeluarga mengajarkanku makna sebuah perbedaan. Abah sering bilang  bahwa meski bukan muslim keluarga papah Cwan dan mamah Wa baik kepada kami dan tetangga muslim lainnya. Keluargaku dan Keluarga mamah Wa mampu menyandingkan lontong opor plus kue keranjang secara apik dalam sebuah keranjang kehidupan. Kehidupan anak bangsa entah itu pribumi seperti teman-teman kecilku dulu, atau keturunan Arab seperti aku dan beberapa temanku, atau keturunan Tionghoa seperti keluarga mamah Wa dan papah Cwan. Hidup berdampingan tanpa curiga, tegur sapa canda ria jalani hari-hari penuh makna. Mamah Wa .......terima kasih pernah ikut mendidikku dan terima kasih pernah mengepang rambutku

Tanjung Duren,  16 Januari 2017



[1] Nok adalah panggilan untuk anak perempuan, Nang adalah panggilan untuk anak laki-laki di kota Semarang

AYAH AYAH CINTA (Kisah kecil dari Sydney)



            Lelaki muda sekolahan, pernah menjadi CEO di beberapa corporate besar kemudian rela mengabdikan dirinya buat keluarganya adalah sebuah sisi unik kehidupan yang sayang untuk dilewatkan. Meninggalkan karir, teman-teman dan kehidupan lumayan mapan bagi seorang lelaki bisa disamakan dengan kenekatan seorang mahasiswa yang meninggalkan studi untuk ikut wajib militer demi membela tanah airnya. Terus terang jika dibedah dengan menggunakan rumus ilmiah yang digodog dengan kacamata kognitif , hal ini tak akan pernah terpecahkan. Kenekatan Zaldy (nama samaran versi saya) menutup sementara lembaran hidup yang penuh tawa canda, nikmatnya berkendara, empuknya kursi kantor, wanginya parfum dan flamboyannya penampilan patut diacungi sepuluh jempol. Zaldy jelas melakukan semua ini dengan rumus hati.
            Mendampingi seorang istri cantik dan cerdas yang menempuh studi S3 (program doktor) itu saja sudah merupakan keikhlasan yang luar biasa. Tanggung jawab seorang imam, tanggung jawab seorang mahram sepertinya sudah begitu terpatri di hatinya sehingga keputusan tersebut bergulir begitu saja. Kepahaman agama menjadikan Zaldy pasang badan menjaga istri tercintanya meraih impiannya. Tentu kalian akan  ada yang bertanya, apakah Zaldy tak punya impian ? Tentu punya. Laki-laki secerdas dia tak mungkin jika tak punya impian dalam hidupnya. Dalam posisi ini Zaldy mewakafkan diri dan impian egonya untuk sesaat disimpan di laci kehidupan. Atau Zaldy justru tengah merangkai impian keluarga melalui proses tersebut. Ia bersama Lina istrinya dan kedua putrinya yang cantik dan cerdas sedang melukis potret impian masa depan mereka. Boleh saja orang diluar sana melecehkan dan mencemooh keputusan Zaldy, bagi Zaldy itu sah sah saja. Yang terpenting baginya adalah mereka sekeluarga sudah berembug dan memutuskan mana yang terbaik.         Walaupun keputuan Zaldy telah menjungkir balikkan mitos tentang ayah, namun apa urusannya mitos jika itu menyesatkan.
            Mitos ayah biasanya masih berkutat pada beberapa hal berikut ini :
1.    Ayah adalah seseorang yang wibawa dan punya tugas menegakkan disiplin di rumah dengan segenap aturan dan larangannya.
2.    Ayah adalah seseorang yang sibuk dengan pekerjaannya di luar rumah sehingga waktu yang diluangkan untuk keluarga hanya sedikit atau bahkan sisa sisa waktu saja.
3.    Ayah adalah seseorang yang tak akan mau mengorbankan karir atau pekerjaannya demi keluarga
4.    Ayah adalah seseorang yang akan duduk manis menikmati hidangan yang dimasak dan/atau disediakan oleh istrinya
Daftar ini jika dilanjutkan bisa saja makin panjang, namun tetap saja isinya adalah segala hal yang maskulin. Segala hal yang berurusan dengan perilaku masif otak kiri yang ketat, kaku, terprogram serta terjebak dalam rangkaian mitos demi mitos yang memenjarakan jati diri hakiki kemanusiaan seorang laki-laki. Sosok ayah dibangun melalui  ‘tukang sosial dan budaya’  yang memilih ‘batu bata, semen, cat ,genteng ‘  dan sebagainya sehingga ‘bangunan’ sosok ayah menjadi demikian[1].
Zaldy berhasil lepas dari belenggu mitos-mitos tersebut, ia benar-benar menjadi dirinya sendiri menjadi sosok ‘ayah ayah cinta’ buat kedua putrinya dan tentu suami tercinta bagi istrinya. Kesan pertama yang saya tangkap adalah ketika saya dan suami berkunjung ke rumah keluarga Zaldy dan Lina untuk pertama kali. Diundang sarapan pagi dengan menu nasi gurih ala Aceh tentu merupakan sesuatu yang wow di negeri Kanguru. Nasi gurih, telor balado, daging empal pedas, tauco tahu plus cabe hijau, tumis uang plus kerupuk emping adalah menu mewah bagi musafir seperti kami waktu itu. “Kasihan Lina sedang menghadapi ujian proposal, jadi memang ini semua saya siapkan sendiri” dengan santai ia menjawab ketika deretan menu lengkap ini diusut oleh para tamu siapa juru masaknya. Padahal sebelumnya kacamata kuda kebodohan saya menebak bahwa itu semua buah karya Lina.  Lina tentu juga bisa memasak, bahkan konon kabarnya Lina cukup pakar membuat berbagai kudapan seperti kue basah, cake, pizza  dan sebagainya.


Mendampingi istri melanjutan studi tak membuat Zaldy hanya mengurus urusan domestik saja. Zaldy ternyata ayah dan suami yang piawai manajemen waktunya. Ia tetap bekerja meskipun pekerjaan yang ditekuni tentu beda dengan pekerjaannya dulu. Kerja skill yang ditekuninya di negri orang cukup membuktikan bahwa ia laki-laki yang bertanggung jawab memberikan nafkah untuk keluarga. Hehehe seneng lihatnya ketika putri bungsunya yang cantik selesai mandi dan berbedak wangi mengenakan T Shirt bertuliskan ‘Daddy’s Sweet Heart’.  Ketika kami tanyakan siapa sih yang ‘Daddy’s Sweet Heart’ itu , kakak atau adik ?  Dengan pede nya si adik menyampaikan bahwa dialah orangnya. Si kakak yang sedang membantu membersihkan meja hanya tersenyum mendengar jawaban adiknya. Saya yakin kedua belahan jiwa keluarga itu tentu sama dan sseimbang dicintai oleh ayah dan bundanya.
Zaldy telah menanggalkan sosok ayah tradisional[2] , ia sukses membangun sosoknya sendiri . Zaldy adalah ayah yang hadir di jiwa anak-anaknya, ayah yang senantiasa siap menyuapi kasih sayang dan perhatian buat kedua putrinya. Zaldy juga sosok suami yang dicintai dan menjadi kebanggaan istrinya. Boleh saja S3 diraih, namun sebagai istri  tentu saja Lina sangat menghormati dan menghargai keikhlasan sang suami untuk menjaga dan memperjuangkan keluarganya. Zaldy sang ayah ayah cinta ini berjalan mengikuti roller coaster kehidupan dengan jurus cinta, ikhlas dan bebas jaim.  Barakallah ayah Zaldy sekeluarga , beruntung kedua putri anda !

Ampang-Kuala Lumpur, 0501207  Jam 23.00




[1] Seward, Stevens dan Yeatts (2013)  menyatakan bahwa belief-belief tentang ayah dan tingkah laku laki-laki sebagai ayah sebagian besar ditentukan oleh budaya dimana mereka berasal
[2] Ayah tradisional dicirikan sebagai orang yang bekerja keras mencari nafkah (breadwinner), namun seringkali absen (tidak hadir) baik secara fisik maupun emosional dari anak-anaknya (McKeown, 2001)