Memasuki kota Newcastle di kawasan New
South Wales menebarkan aroma indah di jiwa. Pepohonan hijau di kiri kanan jalan
yang di kotaku sering jadi mangsa gergaji dengan alasan penataan kota, disini
bebas merdeka menjulang indah dengan suburnya. Awalnya kita akan disambut oleh
indahnya Mac Quarie Lake yang entah berapa luasnya. Aura air danau yang mampu
hadirkan nuansa damai ini bisa saja disetarakan dengan Toba atau Maninjau. Meskipun Mac Quarie tentu punya pesona dan
cerita sendiri.
Arsitektur kota
yang ramah dan humanis membuat kota Newcastle mengkomunikasikan karakter
penduduknya yang ramah dan bersahaja. Saat ini musim semi telah berakhir dan
musim panas baru dimulai, matahari Newcastle bagiku tetap saja terasa hangat di
kulit. Aku tak tahu persis apakah ini benar-benar hangat atau jiwaku yang
sebenarnya menyambut matahari dengan aroma yang berbeda.
Sang Khaliq begitu pemurahnya
memberikan negri ini sejuta burung, sama seperti di Sydney yang setiap pagi aku
selalu mendengar merdunya symphoni burung gagak
merpati atau burung lainnya. Disini kemurahan itu tetap kudapat berupa
symphoni nan alami parade orkestra burung. Ada satu pesona yang tak boleh dilewatkan di
kota ini yaitu Newcastle Memorial Walk. Kita tak usah bermimpi akan menjumpai
bangunan spektakuler disitu, karena Newcastle Memorial Walk benar-benar sebuah
area jalan kaki yang dibangun selayaknya jembatan memanjang di tepi pantai.
Bangunan memanjang 450 meter ini memang unik dan memiliki sejuta kisah
tersendiri. Bangunan ini dirancang untuk mengenang para tentara Australia yang
gugur di medan pertempuran. Beberapa prasasti dan tulisan kenangan yang sengaja
diabadikan akan dapat kita temui dengan mudah sehingga kita merasa lebih
menyatu dengan area ini.
Selagi menyimak pesona Newcastle
Memorial Walk dan kisahnya, pandangan mataku terhenti pada sepasang insan yang
tengah berjalan . Sang laki-laki tetap terlihat gagah dan tampan meski berjalan
dengan bantuan tongkat dan terseok-seok. Sementara sang perempuan berhijab dan
menampilkan sosok perempuan cantik, anggun, rapi serta terkesan perempuan
terdidik. Kutatap langkah mereka berdua sejak mereka memarkir mobil putih di Park yang tergelar indah sekitaran area
Memorial Walk.
Jika ditilik dari usianya, mereka berdua adalah
pasangan muda sekitar 30 an tahun, pengantin baru atau paling tidak baru
beberapa waktu menikah.
‘Sweetheart,
kau kecewa aku datang dengan kondisi seperti ini’ ujar sang lelaki
‘Aku
tak pernah kecewa tentang apapun penampilan fisikmu Sweetheart, aku bahkan siap
jika kau kemudian hadir di depanku tanpa ujud sekalipun’ jawab sang perempuan
‘Aku
harus penuhi panggilan tanah air, meskipun aku harus korbankan studiku. Aku
paham kalau perang itu pahit dan kejam, betapa aku harus membasuh kedua
tanganku dengan darah dan peluru. Jika aku harus memilih tentu aku lebih
memilih berkutat dengan buku dan pena di kampus, jika aku harus memilih tentu
aku lebih memilih memandang cantiknya wajahmu dan indahnya bunga-bunga di taman
kampus kita. Namun aku lelaki , lelaki sejati akan tersungkur jadi pecundang jika
ia tak mampu membela agamanya, bangsanya, tanah air nya’
‘Aku
kehilangan rasa percaya diriku ketika pulang dalam keadaan seperti ini, namun
aku bertekad melamarmu . Aku tak yakin, ragu, gundah, gelisah. Namun hanya
Allah swt lah yang menguatkan langkahku dan alhamdulillah kau menerimaku
sebagai suamimu’
‘Aku
tinggalkan perang untuk mengejar cintaku yang lebih dulu tiba di Newcastle ini,
aku kini menjadi sebenar-benarnya cintamu’
Sepasang pengantin baru ini ternyata warga sebuah
negri indah yang telah hancur oleh perang.
Duduk berdua di taman , mata mereka berdua menerawang jauh memandang
keindahan taman. Mereka membangun angan tentang keindahan negrinya yang telah
hancur oleh bom dan mesiu. Sesekali kulihat senyum mengulum di bibir mereka
berdua , barangkali bangunan angannya telah selesai. Bangunan keindahan sebuah
negri, masjid, sekolah, taman, gedung-gedung bahkan angan tentang tawa canda
penduduk sentero negri.
Tak kudengar
lagi suara keduanya, mata mereka masih fokus dengan aneka pemandangan yang ada.
Mata mereka berdua seperti hendak melahap semua warna, semua bentuk dan semua
keindahan. Mata mereka melahap semua itu bukan karena mereka tamak, namun
karena mereka adalah insan yang luka. Insan yang luka jiwa luka raga karena
polah penjajah yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Keduanya telah
menanggalkan mimpinya untuk bisa ber-ijab qabul di masjid indah kebanggaan
negrinya. Mereka telah bersyukur dan terus bersyukur bahwa mereka masih diberi
kesempatan hidup oleh sang Khaliq. Mereka berdua masih
diberi kesempatan berijab qabul di mesjid kecil di kota Newcastle ini. Mereka
berdua bersyukur .
‘Sweetheart,
kau masih bisa melihat Aleppo[1]
kita?’
‘Sweetheart,
kau masih bisa mencium wangi bunga kota Aleppo kita?’
‘Sweetheart,
masihkah kau bisa melihat indahnya masjid Umayyah[2]?’
Mata
perempuan itu berkaca-kaca, guliran perak mengucur di sudut bening
matanya. (New castle 30112016
dan Batoh 21032017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar