Perempuan tengah baya, berkebaya
encim, bersanggul cepol dan senantiasa tersenyum manis adalah sosok mamah Wa
tetangga sebelah rumahku. Beberapa tahun lalu aku masih mendengar kabarnya
melalui Cici Lis (salah satu putrinya bahwa mamah sehat dan kini tinggal di
kota Tegal dengan putra bungsunya Wawan). Suasana Imlek seringkali membuat
ingatanku berkelana jauh mengunjungi kotak memoriku tentang sosok mamah Wa dan
papah Cwan. Sosok keluarga mereka berbeda jauh dengan beberapa tetangga
Tionghoa di Apartemen yang lalu lalang di Lift namun sangat jarang tersenyum konon pula
bertegur sapa. Sosok mamah Wa dan papah Cwan , boleh dibilang mirip sosok papah
Afuk di film ‘Cek Toko Sebelah’ yang begitu akrab dan membaur dengan lingkungan
sosialnya.
Keluarga mamah Wa dan papah Cwan menyewa rumah orang tuaku yang
letaknya persis di sebelah rumah tempat tinggal keluargaku di kota Semarang.
Sebegitu terbukanya ibundaku (Allahuyarham Asiah binti Khusi Muhammad, beliau
adalah istri pertama abah dan merawatku sejak usiaku 8 tahun), hingga membuat
pintu khusus yang dapat menghubungkan rumah orang tuaku dengan rumah sewa
tempat mamah Wa sekeluarga tinggal. Papah Cwan menggunakan ruang tamu
keluarganya untuk membuka persewaan komik. Komik yang disewakan adalah
komik-komik yang mendidik seperti dongeng-dongeng kuno karya HC Andersen, komik
Mahabarata, komik Ramayana, komik silat
Kho Ping Ho, komik Indonesia seperti Gundala Putra Petir, Novel remaja
karya Barbara Cartland, novel karya Pearls Buck, novel NH Dini, Mira W dan
masih banyak lagi. Meskipun bisnisnya adalah menyewakan komik, namun papah
tetap mengutamakan pendidikan buat anak dan remaja yang menyewa buku di
tempatnya. Ketika Sekolah Dasar, aku dan teman sebayaku yang saat itu usia SD hanya
boleh membaca komik kategori anak-anak seperti dongeng HC Andersen.
Dongeng-dongeng khayalan seperti putri salju, rumah roti, sepatu merah, little
mermaid, gadis korek api dan masih banyak lagi. Jangan pernah bermimpi bisa
membaca buku-buku komik remaja, papah Cwan akan menegur dengan keras pelanggan
yang berusaha membujuk untuk menyalahi aturan ini. Papah dan mamah tak hanya
bisnis namun juga ikut mendidik anak dan remaja yang jadi pelanggan persewaan
komiknya.
Persewaan
komik ini buka mulai siang hari jam sepulang sekolah. Kecuali hari libur yaitu
Jum’at (beberapa anak penyewa komik bersekolah di sekolah Islam yang liburnya
hari Jum’at) atau Akhad , akan dibuka 1 hari full. Meskipun jika libur
anak-anak bisa seharian nongkrong di persewaan komik papah, namun karena
mayoritas adalah ana-anak muslim maka papah akan menegur seperti ini:
‘Nok...Nang....pulang ya, sudah azan Zuhur , shalat dan makan dulu ya ke rumah masing-masing’
‘Nok....Nang[1]....ayo pulang dulu nanti
dicari orang tuanya’
Mamah Wa juga punya kesibukan
bisnis. Mamah adalah pembuat kue basah
kelas satu di eranya. Tangan mamah begitu luwes mengaduk tepung dan bahan-bahan
lainnya hingga tersaji kue yang cantik dan maknyus. Beberapa kue produksi mamah
antara lain adalah : kue Ku, lapis, bika, onde-onde, bugis, ketan kelapa, cantik
manis, nagasari dan masih banyak lagi. Kue-kue cantik buatan mamah Wa ini tak
perlu dititip ke toko atau dijual langsung. Hal ini karena para pelanggan setia
akan datang ke rumah mamah untuk membeli
langsung atau untuk dijual lagi. Oleh karena keluargaku dan keluarga mamah dan
papah sangat dekat, aku pun kena berkahnya sehingga sering dapat kue gratis
dari mamah atau sewa komik gratis dari papah.
Mamah Wa bukan tetangga biasa, ia
bahkan kadang memperlakukanku seperti anaknya sendiri. ‘Nok, sini mamah kepang
rambutnya biar rapi’. Akupun mau dengan senang hati disisir dan dikepang rambut
sama mamah. Hal yang kukagumi dari mamah adalah penampilannya yang selalu rapi.
Rambut disisir rapi dengan cepol kecil asli sebagai sanggulnya. Berbedak tipis
dan berparfum lembut adalah ciri khas mamah Wa. Anak-anak termasuk diriku hafal
benar dengan bau parfum bunga yang dipakai mamah, sehingga aroma nilah yang
sering menyadarkan kehadiran mamah Wa di dekat kami. Pernah satu hari ibuku ke
luar kota dan simbok (mbok Sumirah) sakit sehingga di rumah belum masak. Oleh
karena sudah jam makan, mamah menawarkan
aku untuk makan siang.
‘Nok,
makan siang disini ya. Mamah masak sayur lodeh sama sambal goreng udang’
‘Tapi
mah, saya takut entar pancinya bekas babi’ dengan polosnya aku mengulang
kata-kata ibuku’
‘Nok,
mamah dan papah gak makan babi, sapi dan kambing. Mamah dan papah makan sayur,
buah, ikan, udang, telor dan ayam’
‘anak-anak
mamah dan papah kalu makan babi di restoran, bukan di rumah’
Di
usia belia itu, percaya saja aku dengan ketulusan orang tua ini sehingga dialog
itu diakhiri dengan jamuan makan siang yang kulahap dengan nikmat.
Mamah Wa senang jika aku mau makan
kue atau masakannya, keseimbangan hatinya terbalas karena ibuku juga sering
menyajikan makan, kue bahkan berbagai jenis es buat anak-anak yang main ke
rumah kami termasuk anak mamah Wa. Mamah
juga senang jika melihatku rajin shalat dan mengaji, jika melihatku bermain lebih awal ia sering bertanya apakah aku sudah mengaji.
Mamah dan papah selalu melarangku untuk menyewa komik untuk
dibawa ke rumah jika bukan hari libur. Namun begitu papah tetap dapat income, karena
hari biasa anak-anak tetap bisa membaca komik di tempat papah pada sore hari
sepulang mengaji . Mamah dan papah memang pebisnis, namun karakter anak-anak
termasuk anak-anak tetangga dan lingkungannya sangat mereka perhatikan.
Mamah, renda halus kebaya encim yang
dipakai mamah waktu imlek biasanya bernuansa putih dengan bordiran pink plus
biru muda. Sepertinya bordiran lembut itu sengaja dicipta untuk seorang
perempuan yang punya hati selembut mamah Wa. Mata kecilku waktu itu terkagum
dengan rangkaian bunga demi bunga di baju mamah. Baju halus ini seingatku jarang banget muncul.
Biasanya ketika imlek atau ketika mamah dan papah berkunjung ke rumah secara
resmi saat lebaran. Mamah dan papah
sekeluarga makan lontong opor, kue-kue dan berbagai jajanan lain buatan ibuku.
Mamah dengan baju renda halusnya dan papah pakai kemeja putih.
Ingatan kecilku tentang mereka
sekeluarga mengajarkanku makna sebuah perbedaan. Abah sering bilang bahwa meski bukan muslim keluarga papah Cwan
dan mamah Wa baik kepada kami dan tetangga muslim lainnya. Keluargaku dan Keluarga
mamah Wa mampu menyandingkan lontong opor plus kue keranjang secara apik dalam
sebuah keranjang kehidupan. Kehidupan anak bangsa entah itu pribumi seperti
teman-teman kecilku dulu, atau keturunan Arab seperti aku dan beberapa temanku,
atau keturunan Tionghoa seperti keluarga mamah Wa dan papah Cwan. Hidup
berdampingan tanpa curiga, tegur sapa canda ria jalani hari-hari penuh makna.
Mamah Wa .......terima kasih pernah ikut mendidikku dan terima kasih pernah
mengepang rambutku
Tanjung
Duren, 16 Januari 2017
[1] Nok
adalah panggilan untuk anak perempuan, Nang adalah panggilan untuk anak
laki-laki di kota Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar