salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Kamis, 08 Juni 2017

AYAH AYAH CINTA (Kisah kecil dari Sydney)



            Lelaki muda sekolahan, pernah menjadi CEO di beberapa corporate besar kemudian rela mengabdikan dirinya buat keluarganya adalah sebuah sisi unik kehidupan yang sayang untuk dilewatkan. Meninggalkan karir, teman-teman dan kehidupan lumayan mapan bagi seorang lelaki bisa disamakan dengan kenekatan seorang mahasiswa yang meninggalkan studi untuk ikut wajib militer demi membela tanah airnya. Terus terang jika dibedah dengan menggunakan rumus ilmiah yang digodog dengan kacamata kognitif , hal ini tak akan pernah terpecahkan. Kenekatan Zaldy (nama samaran versi saya) menutup sementara lembaran hidup yang penuh tawa canda, nikmatnya berkendara, empuknya kursi kantor, wanginya parfum dan flamboyannya penampilan patut diacungi sepuluh jempol. Zaldy jelas melakukan semua ini dengan rumus hati.
            Mendampingi seorang istri cantik dan cerdas yang menempuh studi S3 (program doktor) itu saja sudah merupakan keikhlasan yang luar biasa. Tanggung jawab seorang imam, tanggung jawab seorang mahram sepertinya sudah begitu terpatri di hatinya sehingga keputusan tersebut bergulir begitu saja. Kepahaman agama menjadikan Zaldy pasang badan menjaga istri tercintanya meraih impiannya. Tentu kalian akan  ada yang bertanya, apakah Zaldy tak punya impian ? Tentu punya. Laki-laki secerdas dia tak mungkin jika tak punya impian dalam hidupnya. Dalam posisi ini Zaldy mewakafkan diri dan impian egonya untuk sesaat disimpan di laci kehidupan. Atau Zaldy justru tengah merangkai impian keluarga melalui proses tersebut. Ia bersama Lina istrinya dan kedua putrinya yang cantik dan cerdas sedang melukis potret impian masa depan mereka. Boleh saja orang diluar sana melecehkan dan mencemooh keputusan Zaldy, bagi Zaldy itu sah sah saja. Yang terpenting baginya adalah mereka sekeluarga sudah berembug dan memutuskan mana yang terbaik.         Walaupun keputuan Zaldy telah menjungkir balikkan mitos tentang ayah, namun apa urusannya mitos jika itu menyesatkan.
            Mitos ayah biasanya masih berkutat pada beberapa hal berikut ini :
1.    Ayah adalah seseorang yang wibawa dan punya tugas menegakkan disiplin di rumah dengan segenap aturan dan larangannya.
2.    Ayah adalah seseorang yang sibuk dengan pekerjaannya di luar rumah sehingga waktu yang diluangkan untuk keluarga hanya sedikit atau bahkan sisa sisa waktu saja.
3.    Ayah adalah seseorang yang tak akan mau mengorbankan karir atau pekerjaannya demi keluarga
4.    Ayah adalah seseorang yang akan duduk manis menikmati hidangan yang dimasak dan/atau disediakan oleh istrinya
Daftar ini jika dilanjutkan bisa saja makin panjang, namun tetap saja isinya adalah segala hal yang maskulin. Segala hal yang berurusan dengan perilaku masif otak kiri yang ketat, kaku, terprogram serta terjebak dalam rangkaian mitos demi mitos yang memenjarakan jati diri hakiki kemanusiaan seorang laki-laki. Sosok ayah dibangun melalui  ‘tukang sosial dan budaya’  yang memilih ‘batu bata, semen, cat ,genteng ‘  dan sebagainya sehingga ‘bangunan’ sosok ayah menjadi demikian[1].
Zaldy berhasil lepas dari belenggu mitos-mitos tersebut, ia benar-benar menjadi dirinya sendiri menjadi sosok ‘ayah ayah cinta’ buat kedua putrinya dan tentu suami tercinta bagi istrinya. Kesan pertama yang saya tangkap adalah ketika saya dan suami berkunjung ke rumah keluarga Zaldy dan Lina untuk pertama kali. Diundang sarapan pagi dengan menu nasi gurih ala Aceh tentu merupakan sesuatu yang wow di negeri Kanguru. Nasi gurih, telor balado, daging empal pedas, tauco tahu plus cabe hijau, tumis uang plus kerupuk emping adalah menu mewah bagi musafir seperti kami waktu itu. “Kasihan Lina sedang menghadapi ujian proposal, jadi memang ini semua saya siapkan sendiri” dengan santai ia menjawab ketika deretan menu lengkap ini diusut oleh para tamu siapa juru masaknya. Padahal sebelumnya kacamata kuda kebodohan saya menebak bahwa itu semua buah karya Lina.  Lina tentu juga bisa memasak, bahkan konon kabarnya Lina cukup pakar membuat berbagai kudapan seperti kue basah, cake, pizza  dan sebagainya.


Mendampingi istri melanjutan studi tak membuat Zaldy hanya mengurus urusan domestik saja. Zaldy ternyata ayah dan suami yang piawai manajemen waktunya. Ia tetap bekerja meskipun pekerjaan yang ditekuni tentu beda dengan pekerjaannya dulu. Kerja skill yang ditekuninya di negri orang cukup membuktikan bahwa ia laki-laki yang bertanggung jawab memberikan nafkah untuk keluarga. Hehehe seneng lihatnya ketika putri bungsunya yang cantik selesai mandi dan berbedak wangi mengenakan T Shirt bertuliskan ‘Daddy’s Sweet Heart’.  Ketika kami tanyakan siapa sih yang ‘Daddy’s Sweet Heart’ itu , kakak atau adik ?  Dengan pede nya si adik menyampaikan bahwa dialah orangnya. Si kakak yang sedang membantu membersihkan meja hanya tersenyum mendengar jawaban adiknya. Saya yakin kedua belahan jiwa keluarga itu tentu sama dan sseimbang dicintai oleh ayah dan bundanya.
Zaldy telah menanggalkan sosok ayah tradisional[2] , ia sukses membangun sosoknya sendiri . Zaldy adalah ayah yang hadir di jiwa anak-anaknya, ayah yang senantiasa siap menyuapi kasih sayang dan perhatian buat kedua putrinya. Zaldy juga sosok suami yang dicintai dan menjadi kebanggaan istrinya. Boleh saja S3 diraih, namun sebagai istri  tentu saja Lina sangat menghormati dan menghargai keikhlasan sang suami untuk menjaga dan memperjuangkan keluarganya. Zaldy sang ayah ayah cinta ini berjalan mengikuti roller coaster kehidupan dengan jurus cinta, ikhlas dan bebas jaim.  Barakallah ayah Zaldy sekeluarga , beruntung kedua putri anda !

Ampang-Kuala Lumpur, 0501207  Jam 23.00




[1] Seward, Stevens dan Yeatts (2013)  menyatakan bahwa belief-belief tentang ayah dan tingkah laku laki-laki sebagai ayah sebagian besar ditentukan oleh budaya dimana mereka berasal
[2] Ayah tradisional dicirikan sebagai orang yang bekerja keras mencari nafkah (breadwinner), namun seringkali absen (tidak hadir) baik secara fisik maupun emosional dari anak-anaknya (McKeown, 2001)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar