Fiksi (Cerpen)
Sosok sahabat bagi Aura adalah sosok yang amat mahal harganya.
Bagaimana tidak ? berpuluh, beratus bahkan beribu teman yang selama ini
silih berganti dalam kehidupan Aura memang benar-benar hanya sebatas
teman. Apalagi di puncak karirnya sebagai seorang Politikus yang
mewakili Partai kecil namun amat bergengsi (khususnya buat kaum
Perempuan) dan kini menempatkan dirinya si tempat yang terhormat yaitu
di gedung DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten). Aura, perempuan
cantik, berusia jelang 40 tahun namun memilih hidup melajang, semakin
membuat khalayak gemas dan geram…………..”Apa yang kau cari ibu Aura?”
begitu judul ulasan di Tabloid Melati tentang dirinya, ketika ia
diumumkan sebagai salah satu wakil rakyat yang mendapat suara sangat
signifikan. Selain itu Aura juga sosok yang sangat dikenal, karena
sebelumnya ia adalah seorang dokter yang telah lama mengabdi dan tetap
memilih menjadi dokter Puskesmas, meskipun segudang peluang karir ada
di depan mata. Aura akhirnya memilih mundur sebagai PNS dan berkiprah
di politik melalui Partai Suara Perempuan (PSP) .
Hidup melajang hanya berdua dengan ibu kandungnya (ibu Maryam yang kini
usianya 60-an tahun) menghadirkan sebuah warna tersendiri.
“………Aura, bangun sayang sudah jelang subuh” begitu Bu Maryam
membangunkannya dengan bahasa, kata dan tekanan suara yang sama , sejak
Aura kecil hingga kini di usianya yang jelang 40 tahun pada tanggal 22
Desember yang akan datang. Biasanya jika Aura belum juga bangun, maka
sang ibu akan mendendangkan lagu yang khusus diciptakan buat Aura kecil
waktu itu………
”matahari hampir bersinar, anak-anak harus bangun….mandi pagi biar
segar….jangan suka melamun…dst”. Kini , jika lagu itu terpaksa
didendangkan lagi oleh sang ibu, karena Aura kelelahan dan agak lama
bangun dari tempat tidurnya, maka Aura akan mengatakan “…..Ibu, ingat
banget lagu aura kecil dulu”. Dan jika kata-kata itu meluncur dari
mulut Aura, maka ending-nya dapat dipastikan adalah kedua anak beranak
itu berpelukan dan sang ibu mengesun pipi Aura kiri kanan. Wauw…luar
biasa bahagia, inilah yang membuat Aura tak terpikir tentang calon
suami barangkali.
Sang Ibu, bagi aura adalah sosok yang paripurna. Ia tak hanya Ibu,
namun juga Ayah karena ayah Aura pergi meninggalkan mereka ketika usia
aura masih amat kecil . Sang ayah pergi tak ketahuan rimbanya, sebagai
anggota DI/TII sang ayah keluar masuk hutan untuk berjuang. Sebuah
perjuangan yang sangat absurd dan tak dimengerti sama sekali oleh Aura
kecil. Ia hanya tahu dari sang ibu bahwa ayah adalah pejuang dan aura
harus bangga terhadapnya. Ia Cuma dapat melihat sosok tampan wajah
ayahnya pada foto-foto yang disimpan rapi oleh ibundanya.
”….Aura, kau harus bisa jadi pejuang seperti ayahmu” begitu berkali-kali ibunya mengatakan.
Kata-kata itu bagi Aura seperti sebuah proses internalisasi sebuah
nilai, way of life dan entah apa namanya. Jelasnya di pikiran, di hati
dan di realisasi perilaku Aura baik sadar atau tidak amat diwarnai
oleh warna perjuangan. Hal ini pula yang membuatnya memutuskan untuk
studi di Fakultas Kedokteran.
”…..Aura, Apa yang membuatmu ingin jadi dokter?” pertanyaan seniornya
ketika Ospek waktu itu. Jawaban Aura mencengangkan telinga yang
mendengar karena sungguh beda dengan orang kebanyakan
”…….Saya mau berjuang untuk membuat masyarakat lebih sehat, dan
berjuang agar setiap orang dapat memperoleh hak-nya untuk sehat ”.
Jawaban ini membuat para seniornya heboh .
”………Kim, ini cewek cantik calon dokter kita, bukan Cuma calon dokter
tapi dia ini diam-diam juga berbakat jadi pejuang HAM”. Begitu celoteh
mereka kepada Hakim, ketua Senat mahasiswa Fakultas kedokteran yang
akhirnya giat mengejar cinta Aura, meski akhirnya gigit jari karena
Aura amat menikmati kesendiriannya.
”Assalamualaikum ibu Aura, nama saya Hisyam…saya rakyat Kota Kita juga
ingin memberikan beberapa input pada ibu selaku wakil rakyat, bolehkah
?” begitu bunyi pesan di account facebook Aura.
Dari seseorang yang mengaku bernama Hisyam dan meng-add dirinya sebagai
teman serta mengirim pesan khusus. Semula Aura menganggap laki-laki
ini sekedar orang iseng yang usil, namun beberapa pesan beruntun dengan
nada yang sama membuat ketidakpedulian Aura luluh dan ia mengkonfirm
laki-laki sebagai temannya di dunia maya. Hisyam El Sari ………..nama yang
cukup keren (barangkali pemuda ini dari Desa Sari, nama desa di pojok
Kota Kita yang dikenal subur dan adem ). Chating, saling berkirim
pesan bahkan berdiskusi seru tentang banyak hal kehidupan sosial dan
politik, membuat Aura merasakan Hisyam sebagai sosok ”sahabat” yang
dicarinya selama ini. Hisyam tak sama dengan laki-laki lain yang
dikenalnya, yang biasanya manis di awal namun kemudian mulai
menjalankan perannya secara dominan, cenderung otoriter, mendikte dan
terlalu possesif. Itu kesan Aura selama ini tentang laki-laki,
sehingga ia semacam menderita ”commitment phobia” akhirnya. Hisyam
sama sekali belum pernah minta Aura untuk ketemu secara langsung,
Hisyam begitu sabar menjalani persahabatannya dengan Aura tanpa pamrih
…begitulah kalau boleh dikatakan.
Hubungan ini meningkat setelah mereka berdua saling tukar nomor hp,
”…..Ibu Aura..bolehkah sesekali saya sms atau telpon Ibu”, begitu
pertanyaan Hisyam di chating setelah mereka bertikar nomor Hp.
”…..silakan, namun jika mau telpon sebaiknya sms dulu takutnya saya
lagi sibuk” jawab Aura.
Hal yang membuat Aura tersiksa adalah ketika ia harus dinas ke luar
kota, biasanya ia usahakan pergi bersama ibunya. Hal itu karena ada
kebiasaan kecilnya yang tak dapat dihilangkannya meskipun ia telah
dewasa. Setiap jelang tidur, sang ibu senantiasa mengelus rambutnya dan
bersenandung ……….sstsstsstssst…ststst….ststst…..begitu senandung desis
dari mulut sang ibu sambil mengelus rambutnya. Pada saat ia jadi
dokter Puskesmas, perjalanan dinas tak terlalu banyak.
Ia biasa mengatasinya dengan menelpon sang ibu menjelang tidur…”Ibu,
aku mau bobok” maka sang Ibu pun akan menyenandungkan suara yang sama
sejak aura kecil dulu. Nada, warna, tempo suara tak berubah meski usia
ibundanya kini telah 60-an lebih.
”Ibu Aura, ada telpon penting dari rumah” begitu pegawai sekretariat
DPRK menyampaikan meskipun saat itu ia tengah sidang dan pesan itu
disampaikan via secarik kertas.
HP Aura ia silent, dan ketika membaca pesan itu baru ia melihat
Hpnya….Miscall 5 kali (dari nomor telpon rumah). Ia pun ijin pada
pimpinan sidang untuk keluar. ”…Ibumu sakit keras Aura, cepat pulang
ya…ini tante dan sudara-saudara semua udah ngumpul disini” begitu suara
Tante Marta ketika ia menelpon rumah. Tancap gas dengan Honda Jazz
putihnya yang mulus, Aura meluncur menuju rumahnya.
“Yasiin…wal qur’anil hakim…dst”, suara lantunan ayat-ayat Illahi yang
nyaring ia dengar begitu ia memasuki rumahnya. Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un, ibu Maryam, ibunda tercinta dokter Aura telah pergi
meinggalkan dunia fana menuju kehidupan kekal di pangkuan Illahi Rabbi.
Aura tak sanggup lagi mengeluarkan air mata, “Ibu….Aura ikhlas Ibu,
pergilah dengan damai, cinta Aura pada Ibu senantiasa hidup,,,Aura akan
berjuang Ibu seperti pesan Ibu dan Ayah”.
“Hisyam..maafkan aku, aku sebenarnya malu untuk mengakui kebiasaan
infantilku , aku selalu dininabobokan ibuku jika aku menjelang tidur,
bagiku kehilangan Ibu bukan cuma kehilangan seorang Ibu, namun juga
kehilangan seorang sahabat yang aku cintai dan menyintaiku setulus
hati” . Tulis Aura di pesan facebook untuk Hisyam.
Dalam hitungan jam, Hisyam pun menjawab “ Aura, maafkan aku yang
lancang, meski kita belum pernah bertemu, ijinkan aku menjadi sahabatmu
seutuhnya ..aku bersedia meninabobokanmu dengan senandung seperti yang
dilantunkan ibumu, bolehkah kau bagi aku seperti apa senandungnya,
biar aku dapat memodel nada, warna suara, tempo suara dll agar terasa
pas di telingamu. Dengan tulus aku meminta Aura, ijinkan aku Aura”.
Membaca jawaban Hisyam Aura bimbang, namun kemudian “Ego Anak” nya
berontak dan menyetujui untuk menelpon Hisyam dan menceritakan
bagaimana almarhumah Ibunya bersenandung.
“Ya…begitu Hisyam bunyinya, coba kau ulang…persis tapi agak lambat
sedikit nadanya…ya Hisyam luar biasa kog bisa persis banget dengan
suara ibuku, aku yakin insyaAllah aku bisa tidur lelap mulai nanti
malam” suara Aura kegirangan mendengar kiat Hisyam memodel suara yang
luar biasa.
“Alhamdulillah Aura, aku bahagia jika aku dapat membantumu” demikian jawab Hisyam.
Sejak itu setiap jam 12 malam Hisyam menelpon atau ditelpon Aura ,
biasanya sekitar 10 menit dan isinya hanya “Assalammualaikum…udah
ngantuk Aura, bobok ya…stststst…stststst…stststst” . Hal ini
berlangsung hampir 5 bulan.
Hal ini bagi orang lain mungkin aneh, namun bagi mereka berdua
persahabatan mereka benar-benar tulus, ikhlas tanpa pamrih apapun.
Anehnya Aura tak pernah menanyakan status Hisyam , meskipun Hisyam tahu
persis Aura adalah lajang, karena Aura seorang public figure yang
sering diekspos.
Satu hari…2 hari….1 minggu, suara Hisyam tak pernah ia dengar lagi,
telpon tak pernah aktif…pesan di facebook tak pernah ia balas. Aura
hanya ingat bahwa Hisyam pernah cerita bahwa ia seorang seniman dan
aktif di Bengkel Budaya. Setelah semingu berlalu, Aura memberanikan
diri pergi ke Bengkel Budaya untuk melacak sosok Hisyam.
Kedatangannya ternyata tercium oleh beberapa seniman, wah mereka tentu
senang dan merasa terhormat kedatangan seorang wakil rakyat sekapasitas
Ibu Aura.
“ Luar biasa…ibu bersedia datang ke Bengkel Budaya tempat mangkal para seniman” begitu sambutan salah seorang seniman.
“Apalagi selama ini ibu lebih banyak aktif menyuarakan perjuangan ibu
untuk perempuan dan kesehatan, masalah seni agak kurang ibu suarakan
makanya kami surprise dengan kedatangan ibu” sambung mereka.
Aura pun sedikit salah tingkah meskipun akhirnya ia dapat
mengendalikan penampilannya. Dari bincang-bincang dengan para seniman,
Aura menyimak dengan khidmat. Setelah itu Aura membaca sebuah Chart
yang ditempel disitu…wauw itu ada nama Hisyam El Sari. Aura berusaha
menenangkan diri dan menanyakan nama-nama di Chart tsb satu persatu
Fardi Muhammad, sang ketua Bengkel Budaya memberi penjelasan …….”Anwar
Ibrahim, ini seniman teater pimpinan Sanggar Mercu Suar” .
“kalau Tarmizi Allano, beliau pelukis dan sekarang sedang pameran di Ibu Kota Negara. Dst….
Sampailah ke nama Hisyam El Sari, …”beliau ini penyair dan sudah
membukukan beberapa Kumpulan Puisi yang terbit dengan nama samaran
“Putroe Nanggroe”. Beliau wafat 7 hari yang lalu setelah menderita
penyakit Kanker Otak yang setahun ini menggerogotinya”.
Saat itu nyawa Aura terasa melayang….ia terasa tak sanggup berdiri,
hai…itu tak boleh terjadi “Aku seorang wakil rakyat, Aku seorang
pejuang, Aku harus Kuat” demikian suara batinnya.
Aura pun menyampaikan kepada Fardi Muhammad sang Ketua Bengkel Budaya. “Bolehkah saya takziah ke rumah Hisyam? “.
Honda Jazz putih itu meluncur menuju rumah Almarhum Hisyam, Aura
ditemani Fardi Muhammad, Leni Wardah seorang pelukis, Boy Samudra
seorang seniman biola …………berempat mereka menuju rumah almarhum Hisyam
El Sari. Tujuh hari wafatnya Hisyam, di rumah itu kini lengang seolah
tak ada kejadian apapun sebelumnya. Mereka berempat dipersilakan masuk,
dan setelah 5 menit duduk barulah ibunda Hisyam keluar.
“Nak Fardi …Alhamdulillah kalian datang lagi setelah hari pertama
kematian Hisyam kalian semua pada seharian repot disini” sapa Ibunda
Hisyam.
“ oh iya ibu, ini Leni, Boy…dan ini Ibu Aura seorang wakil rakyat,
dokter dan aktivis perempuan” demikian Fardi memperkenalkan
rekan-rekannya termasuk memperkenalkan Aura.
“Subhanallah………terima kasih, bahagia kalian mau datang, hati ibu terhibur” jawab Ibunda Hisyam.
“ Nak Fardi………ibu ingin menyerahkan 1 bundel karya Hisyam dan ada 1
lembar karton biru yang dia tulis puisi khusus nampaknya untuk
sesorang pujaan hatinya, sebentar ibu ambil ya” Ibunda Hisyam
mengungkapkan hal itu terus masuk ke kamar untuk mengambil bundelan dan
karton biru yang ia maksud.
“ Ini nak saya serahkan ke Bengkel Budaya sesuai pesan almarhum , dan
karton ini ia hanya berpesan untuk diserahkan kepada perempuan yang
mempunyai nama seperti di judul puisinya ini, bukalah nak Fardi agar
semua jelas…” pinta Ibunda Hisyam.
Dengan sedikit gemetar Fardi membuka gulungan karton biru itu, di bacanya judul puisi itu, ia pun bergumam …’ Aura…???” .
“ Maaf Ibu Aura, apakah anda pernah bertemu Hisyam ?” tanya Fardi pada
Aura. Aura pun dengan gagah menjawab “ Sama sekali belum pernah” .
Aura jujur, karena ia memang tak pernah bertemu Hisyam secara langsung,
hanya melalui foto. Dan dari foto yang dilihat di dinding rumah Hisyam
ternyata foto di face book pun terlalu samar karena hanya berupa foto
Hisyam yang diambil dari jauh dan lebih menampakkan pemandangan Desa
Sari yang permai.
“ Kebetulan yang luar biasa, nampaknya ibu Aura saja yang berhak
menerima puisi ini karena puisi ini berjudul AURA” kata Fardi dan sang
Ibu menganggukkan.
“ Bersediakan nak Aura membacakan puisi terakhir Hisyam buat Ibu?” pinta sang ibunda Hisyam .
“ InsyaAllah Ibu, akan saya bacakan buat Ibunda, buat almarhum juga
buat kawan-kawan , sekarang ? “ Mereka semua menganggukkan kepala
seperti koor saja. Puisi itu:……
AURA
Aura adalah bunga harum senandungkan nyanyian surga yang wangi
Motivasi langkah perempuan negeri ini dalam kisah perjuangan yang panjang
Warnai pelangi cita-cita perempuan kampung yang rindu kebebasan menanam padinya di ladang
Susuri halaman buku para bocah perempuan cilik yang belajar menulis dan membaca
Aduk bumbu masak para ibu yang sajikan menu demokrasi buat anak-anaknya
Aura adalah kerinduan yang segar
Meski ku tahu Aura adalah bagian jiwaku yang selalu lekat sejak pertama
kusapa mengisi hari-hari sendiriku digerogoti derita diatas kasur
Meski ku tahu Aura yang gagah juga bocah yang perlu kasih sayang dari ibundanya juga barangkali dariku
Aura bunga harum si nyanyian surgawi
Kepada Aura
Desa Sari – Kota Kita , 9 September 2009
“ Ibu Aura menangis??” tanya Fardi dkk,
“ Iya, saya terharu….semoga almarhum tenang disisi Allah Swt”.
Honda Jazz meluncur pulang………………..Puisi berkarton biru ia bingkai dan
pajang di kamarnya. Detik..menit…jam…hari…minggu…tahun..setiap membaca
bait-bait puisi tsb maka jiwa Aura terasa makin kuat. Persahabatan
abadi…………………………………………………………