salam

selamat datang ke blog saya , tulisan-tulisan kecil seputar manusia dalam dunia kerja , pendidikan dan keluarga dapat anda ikuti di blog ini. semoga bermanfaat buat para pembaca

Minggu, 03 Juni 2012

SOPIR TAKSI & WIRAUSAHA

"Tigapuluh ribu kemarin.....hari ini belum tahu lagi , karena sampai jam 8 malam ini untuk setoran aja belum nutup ".begitu kata yang keluar dari mulut bu Teti ketika kutanya berapa penghasilannya per hari. Sopir Taksi perempuan seperti bu Teti sudah mulai banyak di Jakarta, dan kini tak sama lagi seperti beberapa tahun yang lalu dimana sopir Taksi perempuan selalu jadi pusat perhatian. Bu Teti adalah salah satu dari sekian banyak sopir taksi di Jakarta. Bu Teti dari Cilacap dan sudah 2 tahun mencoba peruntungan di Jakarta. Suaminya telah almarhum . Hidup di Jakarta dengan 2 orang putri (usia 17 dan 15 tahun) tentu saja amat susah jika hanya mengandalkan penghasilan dari seorang sopir taksi sepertinya. "Makanya bu, 2 putri saya sekarang juga kerja jahit kancing baju di tempat penjahit, lumayan bu sehari dapet dupuluh ribu" begitu katanya dengan semangat menuturkan kehidupan kedua putrinya.Kedua putrinya tak lagi melanjutkan studi karena keadaan ekonomi yang tak memungkinkan. Di Jakarta orang seperti bu Teti tak sendiri..berpuluh...beratus...bahkan beribu Teti yang lain bahkan banyak lagi yang nasibnya lebih apes dibanding Teti.
Setiap kali pemilu, wong cilik seperti Teti selalu jadi komoditi empuk kampanye....."Pilihlah aku, aku calon bupati...aku calon walikota....aku calon gubernur...aku calon presiden....aku calon wakil rakyat yang akan memperjuangkan nasib kalian" demikian kata-kata klise yang keluar dari para kandidat . Namun kata-kata tersebut pada akhirnya hanya janji-janji yang entah kapan realisasinya. "Barangkali terlalu banyak agenda besar yang tak pernah selesai ya bu, sehingga wong cilik seperti kami ini bagaikan layang-layang putus" , begitu bu Teti melanjutkan. Yah....orang seperti bu Teti tentu hanya bisa mengelus dada menyaksikan betapa banyaknya ketidakadilan di negeri ini. " ya bu........saya ngerti memang enak kita berwirausaha , namun sejak dulu saya gak terbiasa bu...takut gagal". Bu teti mengekspresikan kekhawatirannya untuk berwirausaha. Bu Teti, meski hanya tamat SMP ternyata cerdas terbukti ia bisa bilang begini "mestinya bu, pemerintah mendidik rakyatnya sejak dini agar punya mental berwirausaha....ya kan bu?" kata bu teti minta persetujuan.
Wirausaha sukses memang tak mungkin dibentuk secara sim salabim, lihat saja bagaimana kiat saudara kita Tionghoa menyiapkan kader bisnisnya. Sejak dini mereka cermat menyimak bakat dan minat anak-anaknya. Jika bakat dan minatnya ke bidang ilmu, tak segan mereka sekolahkan terus hingga ke tingkat pendidikan yang tinggi. Namun jika memang bakat dan minatnya di bisnis praktis, maka sejak dini mereka memang telah dilatih dan dibiasakan untuk berbisnis. Sikap mental yang luwes, suka bekerja keras,mandiri, percaya diri, suka tantangan, pantang menyarah, optimis, peka terhadap peluang baru,memiliki kecerdasan terhadap uang dan waktu (bukan diperbudak), kreatif dan masih banyak lagi sikap mental bisnis yang perlu dipupuk sejak dini.
Jika di tingkat Perguruan Tinggi ada mata kuliah Kewirausahaan, mengapa tidak ? jika di tingkat pendidikan yang lebih dini juga diberikan pendidikan semacam itu. Saya buka-buka artikel di sebuah
koran yang auw.....ini toh ternyata : "Pengusaha Ciputra mengatakan, akar musabab kemiskinan di Indonesia bukan semata akibat akses pendidikan, karena hal itu hanya sebagian, melainkan karena negara tidak menumbuhkembangkan entrepreneurship dan jiwa entrepreneur dengan baik pada masyarakatnya (Kompas, 2009). Dalam artikel yang sama, pengusaha di Indonesia hanyalah berjumlah 0,18 persen dari jumlah penduduknya. Bandingkan dengan AS 11,5 persen dan Singapura 7,2 persen (data tahun 2007). Untuk menjadi sebuah negara yang lebhi baik, ilmuwan AS mengatakan sebuah negara harus memiliki setidaknya 2 persen pengusaha dalam negaranya."
Pak Mendiknas....boleh usul bagaimana jika sejak TK anak-anak kita sudah diajari berdagang (saya jadi ingat waktu kecil disuruh bungkusin tembakau di plastik oleh ibu....per ons; mbakyu saya yang nimbang dan saya yang waktu itu masih TK dapat bagian menutup plastik dengan cara membakarnya dengan lilin.....Terima kasih ibunda). Memang jika kita tilik TK-TK bergengsi memiliki kegiatan seperti ini dengan topik bazar, market day dll dimana anak-anak berjualan dan memang mendapat uang dari hasil jerih payahnya. Namun hal ini dilakukan di sekolah tertentu dan untuk kalangan tertentu (baca : middle up). Bagaimana dengan di kampung, desa, udik, plosok yang justru amat butuh dengan hal seperti ini. Apalagi departemen pendidikan nasional adalah salah satu departemen berbujet sangat besar (20 persen dari total APBN), apa ada kemungkinan pak menteri negeri ini kelak memiliki generasi bermental wirausaha yang siap mendobrak kemiskinan?.....semoga (amin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar